Jumat, 11 Juni 2010

ANTARA FANA' DAN BAQA'

Secara bahasa, Fana’berarti hilang, hancur; disappear, annihilate, extinction. Sedangkan Baqa’ berarti tetap, terus hidup; subsistence, duration, to remain, persevere. Arti tersebut bisa dilihat dari beberapa paham-paham sufistik berikut:
- Jika kejahilan (ignorance) dari seseorang hilang, yang akan tinggal ialah pengetahuan
- Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan tinggal ialah takwanya
- Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak) yang buruk, tinggal baginya sifat-sifat yang baik
- Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya mempunyai sifat-sifat Tuhan.

Paham tersebut terdapat juga dalam At-Takhallaq bi akhlaq Allah (mempunyai akhlak Allah) .
Yang pertama kali menimbulkan faham Fana’ dan Baqa’ dalam tasawuf adalah Abu Yazid Al-Busthami (814 M –875 M). Pada perkembangannya yang awal, ada dua aliran Fana’, moderat yang diwakili Al-Junaid Al-Baghdadi (meninggal 910 M), disebut Fana’ Fi at-Tauhid. Yaitu kalau seseorang telah larut dalam ma’rifatullah dan ia tidak menyadari segala sesuatu selain Allah, maka ia telah fana’ dalam tauhid. Aliran ke dua, dipelopori oleh Abu Yazid Al-Busthami sendiri yang mengartikan Fana’ sebagai penyatuan dirinya dengan Tuhan .
Lebih jelas dikatakan oleh Abu Yazid, Fana’ adalah sirnanya segala sesuatu selain Allah dari pandangannya, dimana seorang sufi, tidak lagi menyaksikan kecuali hakekat yang satu, yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang disaksikannya . Fana’ dan Baqa’ ini merupakan stage untuk mencapai Ittihad dengan Tuhan. Dengan Fana’; ia meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, sedangkan dengan Baqa’; ia tetap bersama Tuhan . Gambaran ini semakin jelas melalui ungkapannya;
Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku Fana’
Kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup…

Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati;
Kemudian ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup…..
Aku berkata: gila pada diriku adalah kehancuran
dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup

Ibnu Arabi mendefinisikan Fana’ kepada dua pengertian, yakni:
a. Fana’ dalam pengertian mistis, yaitu “hilangnya” ketidaktahuan dan tinggallah pengetahuan sejati yang diperoleh melalui intuisi tentang kesatuan esensial keseluruhan itu.
b. Fana’ dalam pengertian metafisika, yang berarti “hilangnya’ bentuk-bentuk dunia fenomena dan berlangsungnya substansi universal yang satu, pada saat Tuhan memanifestasikan (tajalli) dirinya dalam bentuk lain
Di sisi lain, Al-Junaid mendefinisikan Fana’ sebagai berikut:
Hilangnya daya kesadaran Qalb dan hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indera

Sedangkan al-Qusyairi mendefinisikan sebagai berikut:
Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya terjadi karena hilangnya kesadaran seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya itu. Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya .

Bagaimanakah seorang sufi ketika dalam kondisi Fana’? Reynold A. Nicholson dalam The Mystic of Islam, mengatakan tentang tiga tingkat Fana’, yaitu:
1. A moral transformation of the soul through the extinction of all its passions and desires.
2. A mental abstraction or passing-away of the mind from all objects of perception, thought, actions, and feelings through its concentration upon the thought of God. Here the thought of God signifies contemplation of the divine attributes.
3. The cessation of all conscious thought. The highest stage of fana’ is reached when even the consciousness of having attained fana’ disappears. This is what the Sufis call “the passing-away of passing-away” (fana al-fana). The mystic is now raptin contemplation of the divine essence .

Secara kejiwaan (mental abstraction), dalam kondisi Fana’ dijelaskan sebagqai berikut:
Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifat pribadinya lantaran telah mengahayati sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah mulai menyaksikan keindahan Zat Allah; kemudian akhirnya lenyap kesadaran akan kefana’annya itu sendiri lantaran telah merasa lebur menyatu dalam wujud Allah .

Ibnu Arabi dalam Kitab Fushush al-Hikam, menggambarkan tingkatan Fana’ dalam tujuh proses pentahapan, yaitu:
a. Fana’an ma’ashi, meninggalkan dosa,
b. menjauhkan diri dari perbuatan apapun,
c. menjauhkan diri dari sifat-sifat dan kualitas-kualitas dari wujud-wujud kontingen, segala macam bentuk adalah kepunyaan Tuhan,
d. menyingkirkan personalitas dirinya sendiri,
e. mengabaikan dan menghentikan penglihatan terhadap aspek fenomena dunia, yang riil adalah hakekat fenomena,
f. kesadaran bahwa Tuhan itu sendiri yang melihat dan dilihat, dirinya bukan pelihat atau pemirsa,
g. kesadaran akan penghayatan esensi, semua adalah satu esensi
Lebih lanjut digambarkan oleh Ibrahim Basyuni, dalam proses Fana’ ada empat situasi getaran psikis yang dialami seorang sufi, secara singkat bisa dipaparkan disini, yaitu: al-sakr, yaitu situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya. Sathohat, yaitu dipahami sebagai suatu ucapan yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan sakr. Kemudian al-zawal al-hijab, diartikan sebagai kondisi bebas dari alam materi dan telah berada dalam alam ilahiyat sehingga getar jiwanya mampu menangkap cahaya dan suara Tuhan. Selanjutnya diikuti dengan ghalab al-syuhud, yang merupakan tingkatan kesempurnaan musyahadah, pada tingkatan mana ia lupa pada alam sekitarnya, yang ada dan dirasakan serta diingat hanya Allah semata . Inilah proses yang terjadi secara bertingkat sebagai wujud pencapaian pada Yang Hakiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar