Jumat, 11 Juni 2010

KONSEP HULUL

Ajaran Hulul dikembangkan oleh Husain bin Mansur al-Hallaj (244-309 H). Beliau adalah tokoh yang paling kontriversial di dalam sejarah tasawuf yang akhirnya menemui ajalnya di tiang gantungan . Doktrin Hulul adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan lanjut dari al-ittihad. Keduanya memiliki persamaan, yaitu bahwa segala sesuatu pada hakekatnya adalah satu, Yang Hakiki. Adapun perbedaanya, jika dalam Ittihad manusia naik menyatu dengan Ilahi, maka dalam Hulul ini Tuhan turun dan mengambil tempat dalam diri manusia.
Al-Hulul memiliki pengertian bahwa Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat kemanusiaannya melalui fana dan ekstase . Menurut al-Hallaj, manusia memiliki sifat ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut), demikian juga dengan Allah. Hal ini didasarkan kepada peristiwa yang digambarkan dalam al-Qur’an tentang proses penciptaan Adam as, dimana Malaikat dan Iblis disuruh Allah untuk bersujud kepada Adam (Q.S. Al-Baqarah 34). Al-Hallaj berpendapat bahwa sebab keduanya disuruh bersujud adalah karena pada diri Adam as terdapat bentuk yang disebut lahut, artinya Adam as adalah Allah SWT . Pemahaman ini juga didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim dan Ibnu Hanbal yang berarti “Sesungguhnya Allah SWT menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya” .
Diungkapkan oleh Harun Nasution, sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri ( ). Dalam kesendirian-Nya itu, terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dialog yang didalamnya tak terdapat kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian Dzat-Nya ( ). Allah melihat Dzat-Nya dan Ia-pun cinta pada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tidak bisa disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab yang banyak ini. Ia-pun mengeluarkan dari yang tiada (ex nihilo) bentuk (kopi) dari diri-Nya ( ) yang mempunyai segala sifat dan nama-Nya. Bentuk (kopi) itu adalah Adam (melalui proses emanasi dalam berbagai tahap/tingkatan yang akan diuraikan lebih lanjut – pen.). Setelah menjadikan Adam dengan cara ini, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam ( ). Pada diri Adamlah Allah muncul dalam bentuknya ( ). .
Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat ketuhanan (lahut), demikian sebaliknya, pada diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Adam pada kenyataannya adalah Dia. Teori ini memberikan asumsi bahwa al-Hallaj telah terpengaruh oleh dogma Kristen tentang inkarnasi, semakin terbukti ketika al-Hallaj menggunakan istilah lahut “devine nature” dan nasut “human nature”, walaupun teori al-Hallaj ini nampak lebih kompleks untuk dikatakan sama .
Konsep lain, yang merupakan perincian dari konsep pemaparan tentang kejadian Adam di atas, sebagaimana diungkapkan oleh Simuh adalah bahwa dalam persoalan terjadinya alam semesta melalui proses emanasi atau faidl (memancar, melimpah). Dalam hal ini, Abdul Hakim Hassan dalam kitab-Nya al-Tasawwuf fi al-Syi’ri al-‘arabi menyatakan sebagai berikut:
Al-Hallaj adalah orang yang mula-mula mengajarkan adanya Nur Muhammad, yaitu suatu konsep yang kemudian kadang disamakan dengan logos dan kadang pula disebut Insan Kamil (manusia sempurna). Al-Hallaj mengajarkan bahwa mula pertama yang diciptakan Allah SWT adalah Nur Muhammad, terciptanya segala apa yang ada (dalam alam semesta) ini. Dan Nur Muhammad ini bersifat Azali dan Qadim. Adanya mendahului segala maujud (alam semesta) ini. Maka Muhammad itu (dalam bentuk hakikinya) adalah Nur Allah, bersifat Azali dan Qadim mendahului setiap makhluk. Sedang kedudukannya sebagai Rosul Allah adalah manusia bersifat baharu, menjadi penutup segala Nabi. Diantara segala nur, tidak ada nurnya segala nur yang amat terang dan qadim selain Nur nya Muhammad yang adanya mendahului Adam dan namanya mendahului Kalam, lantaran wujud sebelum adanya segala makhluk.

Menurut al-Hallaj, sebagaimana diungkapkan oleh Hamka dalam buku Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, kejadian manusia terbentuk dari dua rupa. Pertama, rupanya yang Qadim dan Azali, yaitu dia telah terjadi sebelum terjadinya segala yang ada. Ke dua, ialah rupanya sebagai manusia, sebagai seorang nabi dan Rosul yang diutus Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan mengalami maut, tetapi rupanya yang Qadim akan tetap ada meliputi alam . Paham tentang Nur Muhammad ini berpangkal dari hadits yang sangat popular di kalangan sufi yaitu: Aku berasal dari cahaya Tuhan dan seluruh dunia berasal dari cahayaku
Dari uraian di atas, maka jelas bahwa paham al-Hallaj menjelaskan adanya immanensi Tuhan dalam diri manusia. Teori ini identik dengan emanasi untuk menjelaskan adanya pancaran Nur Ilahi yang berwujud alam semesta. Pada dasarnya manusia memiliki anasir keilahian yang immanen dalam dirinya., Dan orangyang mampu mengungkapkan sifat keilahian dari tabiat kemanusiaannya (nasutnya) berarti mencapai tingkat Insan Kamil atau Jadi Waliyullah yang suci.
Ajaran ini semakin tergambar jelas melalui sya’irnya:
Maha suci dzat yang sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang,
Kemudian kelihatan pada bentuk lahiriahnya pada wujud manusia yang makan dan minum

Agar manusia memahami kesadaran ini dan dapat bersatu dengan Tuhan, ia harus lebih dahulu menghilangkan sifat kemanusiaannya melalui fana’. Kala sifat-sifat kemanusiaan itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat ketuhanan dalam dirinya, disitulah Tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya, dan ketika itu keadaan adalah bahwa yang ada pada diri manusia adalah sifat-sifat ketuhanan. Sehingga dalam kesadarnnya manusia itu adalah Tuhan itu sendiri. Hal ini nyata dalam sya’irnya:
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci.
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.
Berikutnya ia berkata pula:
Aku adlah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh.
Jika engkau lihat aku engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami .

Dari ungkapan di atas jelas bahwa masih ada wujud manusia dan sama sekali tidak sirna atau hancur. Jadi hulul hanyalah sebuah figurative (penggambaran keadaan) bukan riil, karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam keadaan fana’dan dalam iradah Allah SWT . Atau dengan kata lain, sesuai dengan terminology yang dipergunakannya, hululnya lahut dengan nasut. Lebih lanjut digambarkan oleh al-Hallaj bahwa pada hulul terkandung kefana’an total, kehendak manusia dalam kehendak Ilahi, sehingga setiap tindakan manusia berasal dari kehendak Allah SWT. Manusia, menurutnya, “sebagaimana dia tidak memiliki asal tindakannya, begitu juga dia tidak memiliki tindakannya” . Karena segala sesuatu adalah dari Allah semata. Konsep bertasawuf Hulul ini secara lebih jelas bisa dilihat pada Skema II.
Tidak adanya penyatuan dalam arti riil ini lebih jelas sebagaimana dinyatakannya dalam sya’irnya:
Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, aku satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami .

Dengan demikian, sebagaimana halnya dengan Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj ketika menyatakan an al-haqq ( ) bukanlah ruh al-Hallaj yang mengucapkan hal itu, tetapi ruh Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya. Dalam suatu kesempatan, sebagaimana diungkapkan oleh at-Taftazani dalam buku Madkhal Ila al-Tasawwuf al-Islamy, al-Hallaj menyatakan:
Barangsiapa mengira bahwa lahut (ketuhanan) berpadu jadi satu dengan nasut (kemanusiaan) ataupun nasut berpadu dengan lahut, maka kafirlah dia. Sebab Allah mandiri dalam Dzat maupun Sifat-Sifat-Nya, berbeda dengan dzat dan sifat makhluk-Nya; dan merekapun sama sekali tidak menyerupai-Nya.
Dan katanya pula …
Seperti halnya nasutku lebur dalam lahut-Mu, tanpa berpadu dengan-Nya, Lahut-Mu menguasai nasutku, tanpa berpadu dengannya .

Di sini al-Hallaj secara tegas meniadakan segala macam bentuk dan unsur anthropomor-phisme, walaupun pada awalnya seolah ada kontradiksi pada pernyataan tentang hulul, di satu kesempatan seolah ada pernyataan tentang penyatuan tapi pada sisi lain dia menegasikan penyatuan itu. Akhirnya, adalah sangat tidak logis apabila seorang sufi yang sepanjang hidupnya merindukan dan mencari Tuhan, mengaku dirinya Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar