Kamis, 03 Januari 2013

INDUSTRIALISASI DAN RELIGIUSITAS REMAJA

INDUSTRIALISASI DAN RELIGIUSITAS REMAJA (Ikhtiar Membangun Religiusitas Remaja Kontemporer) Oleh: Nashruddin Hilmi PENDAHULUAN Munculnya era industrialisasi sebagai suatu proses evolusi peradaban manusia, merupakan pengaruh gabungan antara rasa ingin tahu, permainan, dan moralitas, yang kesemuanya menyatu dengan dorongan untuk berkuasa. Kondisi ini diawali oleh suatu semangat kehidupan dengan dengan dukungan ilmu pengetahuan dalam memanfaatkan segenap sumber daya alam yang ada. Francois Bacon pernah menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan adalah kekuasaan, sedangkan kekuasaan menurut Hubber adalah sarana dari seluruh kegiatan manusia. Peradaban industri, sebenarnya hanya merupakan instrumen, semata-mata untuk meningkatkan kekuasaan manusia terhadap lingkungan alamnya dan terhadap manusia lainnya. Dengan demikian, isdustrialisasi merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Dengan modal dan semangat di atas, maka dilakukanlah suatu upaya teknologisasi dan mekanisasi, terutama dalam aspek ekonomis, yang kemudian melahirkan apa yang dinamakan industrialisasi. Kemajuan ilmu pengetahuan melahirkan modernisasi yang salah satunya adalah dalam bentuk industrialisasi dengan segala eksesnya. Dengan demikian, maka industrialisasi bukanlah suatu perjalanan sejarah yang unilineal, dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, masyarakat tradisional ke masyarakat modern, tapi suatu evolusi yang multilinieal. Industrialisasi bisa merupakan proses perubahan yang bisa bersamaan dengan modernisasi, namun juga tidak. Usaha-usaha industri ini, jika dilihat dari pengelolaannya, bisa berupa pemilikan alat-alat industri dan pengelolaan perorangan, bisa juga berupa pemilikan alat-alat produksi dan pengelolaan negara, sebagaimana dalam sistem sosialis. Namun, kedua sistem ini mempunyai kesamaan semangat, yaitu munculnya suatu peradaban yang memperlakukan alam semata-mata selaku obyek eksploitasi untuk pemuasan hawa nafsu manusia, secara individualistik . Karena hakekatnya dalam industri, menggunakan konsepsi pengembangan yang sama, yaitu, sentralisasi, standardisasi, dan seleksi di tengah-tengah sistem ekonomi yang ada. Transisi masyarakat industri, pada dasarnya merupakan transisi menuju ekonomi dunia kapitalis, dimana industrialisasi ini memang berawal dan meluas pada masyarakat kapitalis yang paling kaya dan maju secara ekonomis. Konsekuensinya, kapitalisme industri memunculkan kelas-kelas sosial, yaitu: borjuis, proletariat, dan petty borjuis. Stratifikasi model inilah yang mendorong persaingan dalam perekonomian kapitalis. Sistem sosial bersifat terbka, menghendaki stratifikasi sosial yang diduduki tidak mesti oleh faktor keturunan, misalnya, seperti yang pernah ada pada masyarakat feodal, akan tetapi sangat terbuka bagi siapapun untuk bisa menduduki stratifikasi dalam jenjang tertinggi, tergantung kemampuannya dalam sistem ekonomi tersebut dengan mengandalkan kemampuannya sebagai pemilik modal, pemegang kekuasaan dalam sebuah sistem produksi. Perjuangan bangsa, melalui proses industrialisasi berupaya untuk meningkatkan derajat kehidupan bangsa menuju tercapainya cita-cita pembangunan yang ideal, yaitu manusia-manusia Pancasila yang mempunyai sikap berkeadilan sosial, memiliki kehidupan yang makmur dan sejahera, memiliki keseimbangan antara aspek materiil maupun aspek spirituilnya. Dengan demikian pembangunan yang dilaksanakan tidak saja berorientasi pada sisi materiil semata, akan tetapi aspek spirituil juga menjadi prioritas yang tidak bisa diabaikan. Tuntutan tersebut menjadi semakin mutlak ketika dipahami, bahwa dalam perkembangan kehidupan manusia yang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak akan lepas dari dampak yang mengikutinya, baik yang positiof maupun yang negatif terhadap tatanan kehidupan, kepribadian, dan budaya bangsa. Oleh karena itu, perhatian terhadap aspek spirituil juga sangat diperlukan, karena kesejahteraan masyarakat tidaklah bisa dilepaskan dari kesetiaan masyarakat itu sendiri kepada kaidah-kaidah susila dan hukum-hukum yang berpengaruh terhadap masyarakat, dalam arti aspek spirituil atau agama. Dan kegagalan meraih idealisme ini, karena mengabaikan agama dalam kaitannya dengan pengaturan sistem sosialnya. . Hal ini karena agama merupakan kekuatan pengarah, pengendali, dan pendorong menuju kehidupan yang dinamis dan positif. Dengan demikian, eksistensi pendidikan agama Islam menjadi semakin urgen di tengah-tengah pembangunan yang saat ini semakin gencar dilakukan (industrialisasi). Apalagi jika dikaitkan dengan pendidikan agama pada remaja sebagai generasi pilar penerus perjuangan bangsa, karena pemuda adalah aset bangsa, calon pemimpin, pemilik masa depan, sekaligus merupakan pribadi yang uni sebagai "man in between", generasi yang tengah berada pada masa transisi menuju kedewasaannya. Sehingga pengkajian terhadap upaya mempersiapkan generasi muda dalam menyambut era industrialisasi merupakan hal yang urgen untuk dilakukan. Dari pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka pembahasan guna mencari hubungan antara industrialisasi dan pendidikan agama menjadi sangat urgen karena bobot misi keduanya sama besar, yaitu berupaya untuk menciptakan kondisi masyarakat yang berkualitas dan mandiri sekaligus memerkuat rasa keberagamaan bangsa. Beberapa permasalahan yang diangkat sebagai landasan pembahasan adalah: 1. Bagaimana pengaruh industrialisasi terhadap tatanan sosial dan religiusitas masyarakat? 2. Bagaimana konsep pendidikan islami di era industrialisasi, terutama pada remaja saat ini? PENGARUH INDUSTRIALISASI TERHADAP TATANAN SOSIAL DAN RELIGIUSITAS MASYARAKAT; SEBUAH AGENDA PERMASALAHAN Industrialisasi mempunyai pengaruh kuat pada segala aspek kehidupan manusia. Riset-riset sosiologi menemukan dampak industrialisasi terhadap kehidupan manusia, baik yang bersifat sisiologi-kultural, fisiologis maupun psikologis. Pertama, industrialisasi mempengaruhi wawasan pendidikan. Perubahan sosial yang terjadi karena industrialisasi dan sistem yang ada di dalamnya menyebabkan perubahan pandangan terhadap pendidikan. Seseorang akan berpikir dua kali untuk meluangkan waktunya bagi pendidikannya, karena selama mengikuti pendidikan, berarti ia telah kehilangan dua hal, yaitu hilangnya waktu yang sebenarnya bisa digunakan untuk menghasilkan uang, dan hilangnya dana untuk biaya pendidikan itu sendiri. Namun demikian, industrialisasi juga berpengaruh terhadap kesempatan untuk belajar atau mengikuti pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi, akibat peningkatan penghasilan. Wills dan Cottich dalam bukunya The Foundation of Modern Education menggambarkan perubahan ini dengan jelas: konsepsi manusia tentang kehidupan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sosial yang kemudian merubah konsepsinya tentang pendidikan. Konsepsi tentang pendidikan merubah tentang tujuan pendidikan yang sleanjutnya merubah konsepsi tentang materi, struktur, organisasi, jenis, dan metodologi pendidikan. Perubahan semacam ini, di era industrialisasi, sebagaimana dikemukakan oleh Philips H.M. dalam Education and Development, biasanya menjadikan pendidikan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja industri dengan menafikan nilai-nilai sosial, demokrasi, kultural, dan sebagainya. Kedua, industrialisasi mempengaruhi mentalitas masyarakat. Jock Young menyimpulkan adanya tujug ciri mentalitas masyarakat industri, meliputi: kesenangan yang tertunda; fokus pada kerja kekinian; tunduk pada aturan-aturan birokratis; pengawasan yang ketat; rutinitas; sikap instrumental; dan produktifitas menjadi ukuran keberhasilan. Kuntowijoyo juga mengemukakan hal yang serupa, bahwa sikap masyarakat didominasi kondisi sistem dalam pabrik dan diorganisir secara efisien dan mirip sebuah mesin, mental yang rasional-ekonomis terhadap segala aktifitas. Proses rasionalisasi yang sedemikian rupa kemudian mengakibatkan melonggarnya ikatan-ikatan tradisi yang digantikan peranannya oleh hubungan-hubungan yang bersifat rasional, legal dan kontraktual, memunculkan moralitas yang menekankan pada rasionalisme ekonomi, pencapaian perorangan dan kesamaan, sangat memperhatikan bahkan obsesi terhadap maksimalisasi produksi dan ekspansi, dan tenaga kerja yang terspesialisasikan. . Ahirnya, menurut Immanuel Wallerstein, hal ini memunculkan kelas proletariat dimana sebagian besar pekerjaan dinilai dengan upah. Artinya, manusia telah terjebak pada kondisi kinerja yang terorganisir secara ketat, tidak lagi memperhatikan keinginannya akibat tekanan dalam upaya pencapaian produksi yang maksimal, terjebak pada rutinitas yang monoton, sehingga dikatakan oleh Marx Weber, bahwa ketika keinginan individual lenyap dan orang sudah terjebak pada rutinitas kerja yang monoton, manusia telah berada pada sikap yang frustasi, pada alienasi yang bersifat patologis, kondisi kekosongan. Dikatakan pula oleh Herbert Marcuse, bahwa nilai-nilai yang dimiliki masyarakat industri telah mengalami pergeseran, dari kebebasan pada keterpaksaan. Pengaruh serupa, dikatakan oleh Persons yaitu affectivity ke affectivity neutrality: Particularisme ke Universalisme; ascription ke achievement: dan diffusiness ke specifity. Ketiga, industrialisasi juga menyebabkan sikap-sikap a-sosial, di mana pada masyarakat industri, penghargaan terhadap waktu sangat besar. Waktu adalah uang, kerja produktif, tidak ada lagi waktu luang untuk hal-hal yang bersifat kemasyarakatan, dan memunculkan sifat hedonistis, individualistis dan sangat sibuk, yang mendorong manusia teralienasi dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan bahkan Tuhannya. Hal ini juga dikemukakan leh Wilbert, bahwa kondisi dalam industri telah menyebabkan munculnya persoalan seperti community organization, acap kali orang perorang akan menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan dengan cara langsung maupun tidak langsung. Habermas dalam tulisannya "Technology and Scizne as Ideology" mengingatkan, bahwa pemujaan yang berlebihan terhadap hukum saitifikasi yang mampu membuktikan kemampuannya sebagai dinamisator kemajuan dan menciptakan segala kemudahan hidup, telah membangun sejumlah kesadaran palsu di tengah-tengah umat manusia, seolah-olah bisa, seolah-olah mampu, seolah-olah kuasa, seolah-olah kaya. Sementara Hannah Arendt mengatakan bahwa perasaan manusia yang seolah-olah serba bisa (Omnipotence), justru telah mendorong timbulnya nafsu penundukan, bukan saja atas alam yang melahirkan keserakahan, tapi juga nafsu penundukan peradaban, menggerogoti akar-akar peradaban itu sendiri. Keempat, industrialisasi mempengaruhi sistem keluarga. Biasanya, ayahlah yang berkewajiban mencari nafkah, namun jika penghasilan keluarga kurang, seorang ibu bisa mencari tambahan penghasilan. Mobilitas wanita karir semakin tinggi sehingga pendidikan anak-anaknya bisa terabaikan, atau sepenuhnya diserahkan kepada lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah. Senada dengan itu, Muhammad Quthb mengatakan, bahwa dengan adanya industrialisasi telah memberikan kesempatan kepada wanita untuk turut serta beraktifitas dalam produksi, menumbuhkan sifat kemandirian kepadanya, mengarah pada adanya degradasi sikap terhadap keberadaan suami. Demikian juga pada anak-anak yang dengan mudah bisa pula turut dalam proses produksi tersebut, sehingga memunculkan individualitasnya, kemandiriannya, terpengaruh pula pada uang yang diterimanya dari upah produksi. Sebuah temuan dikemukakan oleh Thomas dan Znaneicki yang menggambarkan betapa para petani Polandia yang pindah dari Eropa ke Amerika mengalami disorganisasi. Dari tempat mereka yang tradisional dengan sistem keluarga batih, misalnya, harus beradaptasi dengan sistem keluarga modern di Amerika. Terjadi reorganisasi keluarga, ayah yang dahulunya memiliki peranan penting dalam keluarga berubah menjadi hubungan orang tua-anak yang sesuai dengan kehidupan modern di Amerika. Sistem hubungan antara orang tua-anak mengalami perubahan drastis dan memerlukan reorganisasi. Kelima, industrialisasi juga menyebabkan kehidupan bebas dari nilai agama dan menjadi sekuler. Dalam masyarakat industri, posisi kehidupan ditentukan seberapa besar kekuatan dan usaha yang dimiliki mampu dimanfaatkan guna sebesar-besar hasil produksi. Peter L. Berger mengatakan bahwa ekonomi "industrial-capitalistic" merupakan daerah yang sudah "dibebaskan" dari agama, merupakan sektor sekuler. Definisi agama tentang realitas tidak akan mendapat tempat lagi, sehingga agama berhenti sebagai kekuatan sejarah, sebagai sebuah variabel yang bebas dan merdeka. Penelitian di Inggris tahun 1951 menemukan bahwa aktifitas pengamalan agama masih dilakukan oleh hampir separo penduduk di seluruh pelosok negara, namun di kota-kota besar dengan ciri industrialisasinya ternyata hanya sepertiganya saja. Sementara penelitian berikutnya menemukan hal sama yaitu makin ditinggalkannya ajaran-ajaran agama. Hal ini berarti, penduduk lebih cenderung untuk hanya mempunyai keyakinan dan kepercayaan, tapi enggan untuk melaksanakan ajarannya. Riset di Jepang tahun 1961 menemukan bahwa hanya 35 persen yang memeluk agama diantara seluruh penduduk dewasa di Jepang. Temuan ini menunjukkan bahwa industrialisasi memiliki pengaruh terhadap sekularisasi yang sangat besar. Namun demikian, industrialisasi bukan merupakan satu-satunya penyebab sekularisasi. Penelitian tauhn 1950-an di Eropa oleh Fogarti menyimpulkan bahwa industrialisasi dan urbanisasi bukan satu-satunya penyebab melemahnya aktifitas keagamaan, tetapi karena posisi minoritas. Sementara penelitian di Malang yang dilakukan oleh Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang menemukan hasil serupa, bahwa industrialisasi di suatu daerah berdampak positif dengan meningkatnya jumlah sarana ibadah. Singkatnya, dengan ukuran tertentu "modernisasi identik dengan industrialisasi", memiliki pengaruh terhadap segala sektor kehidupan manusia. Pendidikan menjadi ajang transaksi kemanusiaan yang keberhasilannya diukur secara ekonomis berdasarkan efektifitas dan efisiensi. Struktur keluargapun berubah. Hubungan fungsional suami isteri berubah. Pencarian nafkah keluarga menjadi beban keduanya, keluarga menjadi atomik. Akhirnya nilai kehidupan masyarakat bergeser dari nilai kebersamaan menuju industrialistik dan selalu memperhitungkan untung rugi. Akibatnya, kompetisi, frustasi, dan alienasi mewarnai kehidupan modern. Meskipun industrialisasi bukan penyebab kemerosotan moral, nilai-nilai agama menjadi lemah dalam industri, karena orang tidak lagi atau kurang mengejar nilai intrinsik ini. Di sini, urgen dilakukan kajian lebih lanjut guna memperoleh sebuah paradigma yang sosio-edukatif dan religius terhadap upaya antisipatif dalam rangka menyambut era industrialisasi yang memiliki konsekuensi sedemikian rupa di atas guna mewujudkan sosio-industrial yang religius, terutama remaja sebagai pilar kehidupan di masa depan. Karena dampak industrialisasi dengan sistem kerja yang sedemikian rupa bukan saja muncul pada masyarakat ekonomis-kapitalistik, tapi juga pada segenap masyarakat yang telah masuk pada era industrialisasi pada umumnya. Di katakan oleh Kuntowijoyo, bahwa dalam menghadapi era industrialisasi yang sedemikian rupa diperlukan adanya reorganisasi dalam cara pandang dan tatanan kehidupan sosialnya, karena kesadaran tidak selalu sama dengan perubahan institusional. Dan dikatakan oleh Stephen K. sanderson, bahwa seringkali permasalahan muncul adalah pada masyarakat yang sedang mengalami masa transisi menuju masyarakat modern dan kompleks, yang disebabkan keterlambatan untuk menyesuaikan diri dengan situasi sosial ekonomi baru. Kalau demikian, maka yang mendesak dilakukan adalah upaya internalisasi paradigma yang islami dalam menyambut era industrialisasi agar mentalitas masyarakat benar-benar siap menghadapi segala dampak yang menyertainya. Dus, dilakukan pula pembinaan kehidupan secara intens melalui berbagai kegiatan yang edukatif-religius. Terlebih kepada pemuda sebagai fokus pembahasan dalam makalah ini. MEMBANGUN PARADIGMA SOSIO-INDUSTRIAL YANG RELIGIUS (Upaya Internalisasi Paradigma Islami tentang Industrialisasi) Industrialisasi sebagai sebuah perubahan sosial harus disikapi secara arif, karena bagaimanapun merupakan konsekuensi logis akibat kemajuan jaman yang tak terelakkan. Oleh karena itu diperlukan adanya internalisasi terhadap kesadaran masyarakat dalam menyikapi era industrialisasi. Perubahan di era industri harus dibarengi dengan adanya suatu kesadaran sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Jundi, yaitu: a. bahwa Islam menanamkan kesadaran bahwa manusia harus terbebas dari segala pemujaan terhadap yang lain selain Allah SWT, b. bahwa Islam mengakui adanya kecenderungan-kecenderungan dan perasaan-perasaan manusiawi yang naluriah dan alami, c. bahwa Islam tidak pernah menganjurkan kerahiban, bahkan sebaliknya, “Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rizki yang baik bagimu” (Q.S. Al-A’raf: 32) d. bahwa Islam tidak menerima teori yang mengatakan bahwa perubahan akhlak disesuaikan dengan lingkungan dan waktu, justru akhlaklah yang membedakan secara mendasar terhadap teori-teori yang didasarkan pada filsafat materialisme, akhlak adalah factor embeda dalam kehidupan ini, mana yang baik dan mana yang buruk, e. bahwa dalam Islam, manusia tidak mutlak buruk, ia mampu, berkat kecerdasannya, untuk mengurangi dan mengubah segala kesalahan, kekurangan dan cirri keturunannya, f. bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan antara yang duniawi dan ukhrowi g. bahwa semangat Islam tidak bertentangan dengan kemajuan yang ada, h. bahwa Islam tidak akan condong kemanapun, dalam arti islam mendukung kolektifitas sekaligus menghargai individualitas, menghubungkan spiritualisme dan materialisme dan memadukan sepenuhnya jiwa dan nalar manusia, i. bahwa kebabasan menurut Islam berarti tidak tinggal diam diperbudak oleh hawa nafsu, apalagi materialisme, ataupun “tuhan” selain Allah SWT., j. bahwa cirri Islam adalah mampu untuk hidup bersama dengan berbagai peradaban dan kebudayaan, kemampuan untuk membuka diri, memperluas cakrawalanya dalam keseimbangan sikap analitis-adaptif, senantiasa memasuki wilayah-wilayah baru di dunia ini untuk menyebar-luaskan ajarannya . Konsep tersebut secara lebih jelas adalah sebagai berikut: Pertama, dalam bekerja dan mencari harta Islam memberikan kebebasan sepenuhnya bagi setiap individu, dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup, sebagai Firman Allah SWT: “Katakanlah: Hai kaumku bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja pula, maka kelak kamu akan mengetahui (Q.S. Az-Zumar: 39) Hal senada juga dikemukakan oleh Rasulullah SAW: “Dari Miqdam r.a. dari Rosulullah SAW, beliau bersabda: Tiadalah makanan yang telah dimakan seseorang, itu yang lebih baik kecuali adalah makanan yang merupakan hasil usaha tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Daud as makan dari usaha tangannya sendiri”(H.R. Bukhori). Kedua, dalam bekerja perlu adanya keseimbangan kepentingan dan orientasi, dimana ketika Allah SWT telah memberikan kebebasan individu, maka diperlukan adanya kesadaran sosial dan keagamaan, bekerja yang memiliki makna dan harus bermakna. Weber mengatakan, bahwa dalam bekerja harus dibarengi dengan usaha mengisi kerja dan hasilnya dengan sesuatu yang bermakna serta memperoleh makna dari aktifitas kerjanya . Dalam keseimbangan ini, Allah SWT telah mengisyaratkan dalam al-Qur’an melalui firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila telah diserukan kepadamu untuk menunaikan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengingat kepada Allah, dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Dan apabila telah selesai ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (Q.S. Al-Jumu’ah: 9-10) Dari ayat tersebut jelas sekali bagaimana Allah menganjurkan adanya keseimbangan, bahwa dalam bekerja jika diperintah untuk beribadah maka harus segera, dan jika telah ditunaikan kewajiban juga bersegera mencari penghidupan dengan senantiasa diiringi dzikir kepada Allah SWT. Ketiga, dengan demikian maka harus ada konsep kerja yang baik, terjadwal dan terencana dengan baik. Karena jika manusia mengabaikan waktunya maka ia akan rugi sebagaimana Allah telah menjelaskan dalam surat al-Ashr, bahwa manusia akan merugi jika mengabaikan waktu. Keempat, adalah suatu keharusan bagi manusia, bahwa ketika memperoleh kenikmatan maka harus bersyukur. Syukur ini tidak hanya di mulut, tapi juga harus diwujudkan dalam bentuk amaliah yang baik serta menggunakan segenap kemampuan fisik maupun psikisnya dalam kebaikan . Berarti dalam kehidupan masyarakat industri, ketika kenikmatan telah diperoleh, maka harus ada perwujudan rasa syukurnya dengan aktifitas yang bermanfaat bagi kebaikan, baik berupa aktifitas fisik maupun materi. Kelima, rasa syukur itu, sebagaimana dikemukakan di atas, dimanifestasikan dengan jalan membelanjakan sebagian hartanya di jalan Allah demi syi’ar agama-Nya. Sebagaimana Firman Allah SWT: “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkakahkanlah dari harta kamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya”(Q.S. Al-Hadid: 7) Disini Allah memberikan penyadaran bahwa segala yang telah dimiliki dan dikuasai oleh manusia tidak lepas dari ke-Maha Pemurahan Allah SWT, sehingga harus ada sikap syukur ketika memperolehnya. Di dalam Islam telah dikonsepsikan bahwa umat Islam wajib mengeluarkan hartanya minimal dua setengah persen dari hartanya (zakat mal), dan sebanyak-banyaknya sesuai dengan kehendaknya, melalui shadaqah, infaq, maupun hibah. Baik untuk menunjang kehidupan keberagamaan (fi sabili Allah) maupun untuk kehidupan sosial (fakir miskin, ibnu sabil, ghorim, membebaskan perbudakan, dan sebagainya). Keenam, jika semua konsep tersebut telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka segala aktifitas yang dilakukan manusia adalah ibadah, dikarenakan adanya nilai-nilai religius yang terkandung di dalamnya. Ada proses kerja yang baik dengan dilandasi niatan yang baik pula serta suatu kesadaran untuk menjadikan semuanya kembali kepada Allah SWT semata. Dengan paradigma yang sedemikian rupa, maka diharapkan masyarakat menyadari bahwa industrialisasi merupakan sunnatu Allah yang tidak bisa dihindari sebagai konsekuensi logis dari kemajuan ilmu pengetahuan, dan upaya manusia untuk menciptakan suatu dinamika kehidupan sebagai khalifah dan makhluk hidup yang harus memenuhi kebutuhannya. Sehingga, selanjutnya mampu menyeimbangkan antara kegiatan industrial sebagai aktifitas yang duniawiyah secara fisik, dibarengi dengan gerakan nurani yang senantiasa berhiaskan nilai-nilai Ilahiyah. Sehingga mampu menciptakan tatanan kehidupan sosio-industrial yang religius sesuai cita-cita ajaran Islam yang menghendaki adanya keselamatan di dunia dan di akhirat. INTERNALISASI NILAI-NILAI RELIGIUS PADA REMAJA DI ERA INDUSTRIALISASI Sebelum membahas lebih lanjut tentang upaya tersebut, maka pemahaman terhadap remaja dengan segenap karakteristiknya merupakan keharusan sebagai landasan pijakan. Dalam pembahasan ini, secara umum istilah "remaja" dan "pemuda" dijadikan satu menjadi istilah "remaja". Hal ini disesuaikan dengan karakteristik era industrialisasi yang dalam aktifitasnya melibatkan segenap potensi tenaga manusiawi, dan dalam kenyataannya, baik "remaja" maupun "pemuda" yang dikarenakan potensi fisiknya telah bisa dipergunakan dalam proses produksi dan mengikuti aktifitas industri. Karakteristik Remaja dan Pemuda Remaja dan pemuda merupakan fase lanjutan dari masa kakan-kanak. Keduanya berada pada tahapan dari kanak-kanak menuju dewasa. Hill dan Monks berpendapat, bahwa secara global ada pembedaan istilah "remaja" dan "pemuda" yang ditentukan pada usia 12 - 24 tahun dengan pembedaan: 12 - 18 tahun sebagai masa adolescence; dan 19 - 24 sebagai masa pemuda. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere yang berarti "tumbuh" atau "tumbuh menjadi dewasa". Jadi adolescence adalah suatu masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Dari posisinya yang sedemikian rupa, remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Ia tidak termasuk golongan anak-anak, tapi tidak pula termasuk golongan orang dewasa. Hal ini dikarenakan secara fisik perkembangannya telah sesuai dengan proporsi orang dewasa, akan tetapi secara psikis ia belum mampu menguasai fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya tersebut. Masa remaja merupakan masa yang unik, keberadaannya antara dunia dewasa dengan kanak-kanak menjadikannya sebagai manusia yang belum matang. Adapun karakteristik remaja, sebagaimana dikemukakan oleh Tri Dayakisni, adalah sebagai berikut: 1. Dalam masa remaja fisik anak tumbuh menjadi dewasa. Karena kondisi yang demikian ini, pandangan masyarakat terhadap remaja berbeda pula jika dibandingkan dengan masa kanak-kanak. Diharapkan mereka telah mampu melaksanakan tugas-tugas sebagaimana orang dewasa. Terbukti dalam era industrialisasi, tenaga anak-anak telah pula difungsikan dalam proses produksi. Akan tetapi pada kenyataannya dalam diri mereka masih ada jarak antara perkembangan psikis dan pertumbuhan fisik, maka sering timbul rasa frustasi dan konflik-konflik batin pada remaja, antara memenuhi tuntutan orang dewasa dengan keinginannya sebagai seorang anak. 2. Masa remaja merupakan periode peralihan. Peralihan di sini adalah antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada masa peralihan ini timbul ketidakjelasan identitas dan status. Jika ia bertindak sebagaimana anak-anak, maka ia akan segera diajari untuk berperilaku dewasa, sebaliknya jika ia berperilaku dewasa, ia dikatakan terlalu kecil untuk bersikap demikian. 3. Dalam psikososialnya timbul dua gerak, yaitu memisahkan diri dari orang tua dan yang lainnya menuju ke arah teman-teman sebayanya. Hal ini dikarenakan adanya kesadaran yang ambivalen, di satu sisi mereka menyadari bahwa mereka bukan anak-anak lagi, akan tetapi ketika bersikap dewasa seringkali merasa salah atau disalahkan, sehingga mereka menjauh dari orang tuanya dan yang lainnya. Sebaliknya jika terlalu diacuhkan, mereka berharap adanya dukungan dari orang tua dalam bersikap dan bertindak. Sedangkan mendekati teman sebayanya adalah sebagai wujud kesadaran sebagai sesama dan senasib. Upaya pencarian identitas seringkali menjadikan remaja mencoba-coba berbagai peran dan meraba-raba keberadaan diri dan fungsinya bersama teman-temannya. Lepasnya keterikatan emosional pada orang tua menjadikan remaja lebih terikat pada solidaritas teman sebaya. Penilaian teman sebaya lebih dipentingkan dari pada orang tua. Dengan demikian kelompok memiliki kegunaan bagi perkembangan sikap seorang remaja, sehingga kontrol orang tua terhadap teman dekat si remaja sangat dibutuhkan. 4. Emosi remaja seringkali tidak terkendali. Kondisi kejiwaan remaja yang masih labil dan dalam taraf mencari identitas seringkali memicu munculnya perilaku emosional. Kebingungan dalam menempatkan diri seringkali merupakan masalah yang menjenuhkan remaja, sehingga permasalahan yang muncul ditanggapi dengan kebingungan, memunculkan kemarahan, menangis, dan sebagainya. Dari uraian tersebut, maka problema yang dihadapi remaja meliputi hambatan dalam aspek fisik, aspek emosional, serta aspek sosialnya. Ketiganya saling mempengaruhi dan bisa menimbulkan masalah dan menghambat pencarian identitas remaja. Dengan kondisi yang demikian, penanganan terhadap remaja harus bijaksana, sehingga tidak menimbulkan frustasi pada remaja. Keadaan frustasi sering menimbulkan kesalahan konsep sosial. Jika anak tidak diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk bertindak maka kemandiriannya akan lamban berkembang. Melalui kemandiriannya, anak akan tahu hal-hal yang membahayakan dan tahu kapan harus berkonsultasi dengan orang tua yang lebih memahaminya. Kontrol orang tua harus dilakukan dengan tanpa mengekang kebebasan remaja. Remaja tidak akan mengalami masalah jika diketahui faktor penyebabnya. Faktor-faktor penyebab kebingungan remaja misalnya adalah: harapan masyarakat/lingkungan yang berlebihan, penyesuaian terhadap sekse, masalah sekolah, pekerjaan, kurang pengertian dari orang tua, dan sebagainya. Disamping keluarga, peranan sekolah dan lingkungan masyarakat yang ada di sekitarnya sangat mempengaruhi perkembangan remaja. Dengan kondisi keluarga yang mampu memahami remaja, kerja sama dengan sekolah sebagai lingkungan lain yang di alami remaja, serta lingkungan masyarakat sebagai lahan bersosialnya yang memberikan penyikapan yang baik, diharapkan remaja berada pada suasana kehidupan yang mendukung perkembangannya sekaligus memahami kondisi dan keberadaannya. Oleh karena itu menciptakan suasana di tiga lingkungan tersebut sangat penting bagi perkembangan dan pertumbuhan remaja. Bagaimana dengan remaja jika dikaitkan dengan pekerjaan? Banyak ditemukan fakta bahwa remaja, karena beberapa faktor menghendakinya untuk memasuki dunia kerja dari pada bersekolah, apalagi di dunia industrial. Beberapa faktor menjadi penyebab hal ini, yaitu: 1) alasan ekonomi, dimana anak harus membantu ekonomi keluarga; 2) alasan psikologis, dimana remaja ingin mewujudkan dirinya, mempunyai nafkah sendiri, ingin merdeka dan ingin menentukan nasibnya sendiri; dan 3) alasan sosiologis, dimana lingkungan menghendaki anak untuk bekerja, baik karena pandangan lingkungan terhadap dunia pendidikan maupun karena lingkungan memang sudah terkondisi bahwa remaja memang harus bekerja. Meskipun sudah bekerja, namun sebenarnya dalam tinjauan psikologis, sebenarnya masa remaja bukanlah masa bekerja, karena usia 14 - 24 tahun merupakan masa peninjauan terhadap pekerjaan, bukan masa penentuan bagi pilihan pekerjaan. Artinya jika remaja sudah bekerja, hal ini adalah disebabkan hal-hal tersebut, di dalam hatinya sebenarnya masih timbul ketidakpastian akan pekerjaan yang digelutinya, ia masih mencari-cari dan mencoba-coba pekerjaan manakah yang paling sesuai dengan dirinya. Dengan demikian perlu dilakukan penyikapan secara lebih khusus terhadap remaja yang telah bekerja, apalagi dalam dunia industrial dengan segenap dampak yang menyertainya. Munculnya keterpaksaan kerja akibat sistem kerja industrial yang berorientasi pada hasil produksi sehingga kondisi kejiwaan menjadi teralienasi, perubahan pandangan terhadap pendidikan, perubahan pandangan terhadap peran keluarga, perubahan pandangan terhadap agama, serta perubahan perilaku sosial, merupakan aspek-aspek yang harus diwaspadai, terutama pada remaja. Jika dampak industrialisasi tersebut telah menghinggapi remaja, akan sangat mempengaruhi pembangunan konsep diri remaja di kemudian hari. Secara praktis, dari pengamatan yang dilakukan dalam penelitian dan jika dikaitkan dengan dampak industrial serta karakteristik remaja di atas, bisa disimpulkan bahwa remaja yang sudah terpola dalam lingkungan industrial akan memiliki kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut: 1. Waktunya akan lebih banyak tersita untuk hal-hal yang bersifat rutinitas, demi mengejar hasil produksi. Remaja akan mengalami kekosongan psikologis akibat tidak adanya interaksi yang lebih fariatif terhadap lingkungan. Pengetahuan dan pengalaman hidupnya menjadi rendah. 2. Akibat kemandiriannya secara ekonomis, hubungan dengan keluarga menjadi renggang. Wibawa orang tua akan mengalami degradasi. Hal ini menyebabkan kontrol terhadap remaja cenderung menurun. 3. Dengan kemapanan ekonomi yang ada padanya, jika tidak dibarengi dengan pemberian pengarahan akan mengakibatkan penyalahgunaan hasil kerja yang dimilikinya. Sebagaimana karakter remaja yang masih meraba-raba jati dirinya, dia akan berusaha mencari kegiatan sebagai upaya mencari pengalaman dan kompensasi pelarian dari rutinitas kerjanya. Hal ini akan cenderung pada hal-halyang bersifat hedonistik dan negatif jika tidak ada bimbingan dan pengarahan. 4. Ketika melihat bahwa lingkungannya berhasil hidup dengan pekerjaan yang sama dengan dirinya saat itu, remaja bisa menyimpulkan bahwa pendidikan tidak penting. Kesalahan pandang bahwa pendidikan hanya diorientasikan pada mencari pekerjaan menjadikan remaja akan memberikan kesimpulan seperti itu, terlebih jika lingkungan juga menguatkannya. Ikhtiar Internalisasi Nilai-Nilai Religius sebagai Upaya Mengatasi Masalah Remaja di Era Industrialisasi Upaya internalisasi nilai-nilai keagamaan sebagai pilar moral dalam membentuk remaja yang religius di era industrialisasi sangat diperlukan. Pendekatan agama Islam digunakan sebagai upaya pembinaan remaja dikarenakan manusia memiliki fitrah beragama (QS. 30:30). Disamping juga bahwa kegagalan manusia dalam menciptakan tatanan kehidupan sosial yang adil dan makmur disebabkan mengabaikan tuntunan agama dalam kaitannya dengan pengaturan sistem sosialnya. Abdurrahman Annahlawi mengemukakan beberapa keutamaan pendidikan yang menggunakan pendekatan agama Islam, diantaranya adalah: 1) agama bersumber dari Ilahy yang menciptakan alam semesta ini sehingga sempurna, tetap eksis dan lestari; 2) agama meliputi segenap aspek kehidupan dan kemanusiaan; 3) agama selaras dengan fitrah dan potensi manusia, baik fisiologis maupun psikologis; 4) agama mengantar pada keselarasan kehidupan, dunia dan akhirat, dan 5) agama sangat realistis dan relevan dengan perkembangan jaman. Dengan demikian, dengan pendekatan agama diharapkan pembinaan remaja mampu terlaksana dengan sebaik-baiknya. Dalam menciptakan tatanan sosio-industrial yang edukatif-religius khususnya pada remaja, harus memperhatikan beberapa dimensi sebagai berikut: a. dimensi imanitas, yang bertujuan agar manusia memiliki daya tahan terhadap ujian hidup dan pro-kebenaran, b. dimensi jiwa dan pandangan hidup Islam yang membawa pada citra rohmatan lil ‘alamiin, c. dimensi kemajuan, yang menempatkan manusia bertafaqquh (kesadaran dan kepahaman) terhadap apa yang ditetapkan oleh Allah SWT dan terhadap segala perubahan dengan kejadian yang ada, bahwa segenap perubahan hidup tidak lepas dari kekuasaan Allah SWT . Dimensi-dimensi tersebut selanjutnya dimanifestasikan dalam bentuk kegiatan-kegiatan keberagamaan di masyarakat yang mendukung penciptaan kehidupan sosio-religius di atas. Dalam hal ini Jalaluddin rahmat memberikan contoh-contoh aplikatif konsep pendidikan agama bagi remaja dalam masyarakat industrial sebagai berikut: 1. Tilawah: memandang fenomena alam sebagai ayat Allah SWT,memiliki keyakinan bahwa segenap fenomena adalah atas kekuasaan ASWT. Adapun wujud kegiatannya adalah: pembentukan kelompok ilmiah, kompetisi ilmiah, penelitian, pengkajian, seminar dan sebagainya, yang menarik minat. 2. Tazkiyah: memelihara kebersihan diri dan lingkungan, memelihara dan mengembangkan akhlak yang baik, serta penyucian harta. Adapun bentuknya adalah: gerakan kebersihan, kelompok riyadlah, ceramah, tabligh, pemeliharaan syi’ar Islam, dengan dibarengi kepemimpinan yang terbuka dan teladan yang baik diantara sesama masyarakat, serta adanya kontrol sosial. 3. Ta’lim: membaca, memahami al-Qur’an . Adapun wujudnya adalah: diskusi tentang ajaran dalam al-Qur’an di bawah bimbingan seorang ahli, mentoring engkajian Islam, kelompok diskusi, lomba kreatifitas dalam kebudayaan Islam, dan sebagainya. 4. Ishlah: memiliki kepekaan sosial, sanggup menganalisa adanya kepincangan sosial, memiliki komitmen keberpihakan kepada yang lemah, memelihara ukhuwah islamiyah. Adapun bentuk kegiatannya adalah: kunjungan ke kelompok dhu’afa’, panti asuhan, membiasakan bersedekah, proyek-proyek sosial dan keagamaan, dan sebagainya. Jika dilihat konsep di atas, maka kegiatan-kegiatan tersebut di atas merupakan kegiatan yang sangat menarik minat. Materi-materi yang diberikan diupayakan menarik dan mampu menggugah semangat serta menambah wawasan bagi remaja. Jika demikian, upaya-upaya ini akan sesuai dengan karakter remaja yang memiliki keinginan kuat untuk mengetahui segala sesuatu, proses meraba-raba keberadaan dirinya dan lingkungan sekitarnya. Dengan metode yang sedemikian rupa, maka hasrat untuk mengeksiskan diri secara positif bisa dipenuhi pada diri remaja, terpenuhi pula hasrat psikologisnya untuk tahu dan sekaligus menambah wawasan dan pengetahuan. Tentu saja waktu yang digunakan harus disesuaikan dengan kondisi remaja industrial. Disamping itu, ciri remaja industrial yang memiliki kelebihan dalam hal finansial menjadi penopang yang bisa dimanfaatkan untuk keberlangsungan kegiatan-kegiatan tersebut. Hanya tinggal bagaimana memanfaatkan sumber daya dan sumber dana yang ada tersebut sehingga berhasil guna dan tepat guna. Sebuah kegiatan tentunya tidak akan lepas dari faktor ini, sehingga sekali lagi adalah bagaimana menanamkan kesadaran keberagamaan kepada remaja mampu dimunculkan, sehingga potensi yang ada bisa digunakan secara maksimal, efektif, dan berhasil guna, khususnya bagi kemajuan dunia pendidikan pada remaja itu sendiri dengan menciptakan suatu tatanan kehidupan yang diwarnai dengan religiusitas yang edukatif. Hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan didaerah Malang yang menemukan bahwa ternyata industrialisasi mendorong kehidupan keberagamaan dengan tersedianya dana. Disamping kegiatan-kegiatan tersebut, upaya peningkatan diri harus ditanamkan kepada remaja. Beberapa metode yang ditawarkan al-Ghazali bisa dijadikan sebagai upaya peningkatan kualitas diri remaja, yaitu: a. Metode taat syari'at. Metode ini berupa pembenahan diri, yakni membiasakan diri dalam kehidupan sehari-hari untuk berusaha semampunya melakukan kebajikan dan hal-hal yang bermanfaat sesuai dengan ketentuan syari'at. b. Metode pengembangan diri. Merupakan metode psiko-edukatif yang dilakukan dengan kesadaran akan kelebihan dan kelemahan diri pribadi, yang kemudian melahirkan keinginan untuk meningkatkan sifat-sifat baik dan mengurangi sifat-sifat buruknya. Hal ini bisa dilakukan dengan pembiasaan dan peneladanan terhadap sikap atau perbuatan orang lain yang menjadi panutannya. c. Metode kesufian Merupakan metode yang bersifat spiritual-religius. Metode ini dilakukan dengan jalan mujahadah (usaha maksimal untuk menghilangkan hal-hal yang bisa menutupi hatinya kepada Allah SWT), dan riyadlah (usaha sungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah SWT). Dari kegiatan-kegiatan dan metode-metode di atas, melalui bimbingan dan arahan yang sungguh-sungguh dan dibarengi dengan pengertian terhadap karakter remaja serta mengetahui apa yang diinginkan oleh remaja, diharapkan mereka mampu membawa dirinya dengan baik menuju perkembangan jiwa dan fisik yang baik dan optimal. Disinilah kemudian diharapkan terciptanya kehidupan remaja yang edukatif-religius, meskipun berada dalam masyarakat sosio-industri yang maju dengan segenap aktifitas yang menyertainya. Tentu saja, kesemuanya harus didukung oleh segenap pihak dengan jalan saling mengingatkan diantara sesama anggota masyarakat, keteladanan dengan arif dan bijaksana. KESIMPULAN Dari uraian di atas, maka bisa diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Industrialisasi merupakan suatu keniscayaan dalam perkembangan kehidupan manusia, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi 2. Dampak negatif industrialisasi bisa mencakup segenap aspek kehidupan manusia, yaitu: pandangan terhadap pendidikan yang menurun, sikap a-sosial, mentalitas yang teralienasi, perubahan sistem keluarga, dan hilangnya nilai-nilai religius. 3. Remaja sebagai generasi penerus harus diselamatkan dari dampak negatif industrialisasi dengan cara memberikan bimbingan dan arahan yang disesuaikan dengan karakter remaja, misalnya, keinginannya, kecenderungan pergaulannya, kegemarannya, dan sebagainya. 4. Bimbingan dilakukan dengan jalan internalisasi nilai-nilai religius sebagai pedoman islami dalam kehidupan industrial, memberikan fariasi kegiatan yang menarik minat dan menambah wawasan, serta memberikan metode dengan pendekatan psikologis yang mampu menciptakan jiwa-jiwa yang dihiasi nilai-nilai religius. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Kariim Al-Hadits an-Nabawy Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Penerj.: Shuhabuddin, Cet. I, Gema Insani Press, Jakarta, 1995 Ahmad Muflih Saefuddin, “Tata Nilai dan Kehidupan Spiritual di Abad XXI”, dalam buku Permasalahan Abad XXI: Sebuah Agenda, Penyt: said Tuhu Leley, Cet. I, SIPPRESS, Yogyakarta, 1993 Betty R. Scharf, Kajian Sosiologi Agama, Penerj.: Machnun, Cet. I, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1995 Fuad Amsari, Masa Depan Umat Islam Indonesia, Peluang dan Tantangan, Cet. I, Al-Bayan, Bandung, 1993 F.J. Monks, A.M.P. Knoers, Siti Rahayu haditono, Psikologi Perkembangan, Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Cet. XIII, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001 Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami, Edit.: Fuad Nashori, Cet. III, Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001 H.A. Masyhur Effendi, Prof.SH.MS., Pemuda, Nasionalisme dan Modernisasi (Makalah Seminar Kepemudaan), HMJ-PAI Faktar IAIN Sunan Ampel, Malang, 1993 Jalaluddin Rahmat, Renungan-Renungan Sufistik, Cet. I, Mizan, Bandung, 1994 ----------------------, Islam Alternatif, Ceramah-Ceramah di Kampus, Cet. II, Mizan, Bandung, 1988 John Vanley, Pendidikan di Dunia Modern, Gunung Agung, Jakarta, 1992 Jusuf Enoch, Dasar-Dasar Perencanaan Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta, 1992 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Edit: A.E. Priyono, Cet. III, Mizan, Bandung, 199 Majalah Pendidikan Agama (MPA) No. 93/Dzulhijjah 1414 H/Juni 1994 M/TH. VIII, Kanwil Depag Jatim, PT. Bina Ilmu Offset, Surabaya, 1994 Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Perj.: rahayu S. Hidayat, Cet. I, Indonesia-Netherlands Coorporation in Islamies Studies (INIS), Jakarta, 1994 Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam Sebuah Komponen Dasar Kurikulum, Cet. III, Ramadlani, Solo, 1993 Muhammad Quthb, Jahiliyah Abad Dua Puluh, mengapa Islam Dibenci?, Cet. VI, Mizan, Bandung, 1993 M. Kasiram, dkk., Pengaruh Pembangunan Terhadap Kehidupan Beragama Masyarakat Desa dalam Jurnal Pendidikan Islam (JPI) Vol. I No. 1 Juli-Desember 1995, Fak.Tar. IAIN Sunan Ampel, Malang, 1995 MPR RI, Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Arkola, Surabaya, 1993 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Penyt: Agus Edi Santoso, Cet. I, Mizan, Bandung, 1987 Saleh Muntasir, Mencari Evidensi Islam, Analisa Awal sistem Filsafat, strategi adn Metodologi Pendidikan Islam, CV. Rajawali, Jakarta, 1985 Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar, Edisi Baru IV, Cet. XVII, Raja Grafindo Persada, 1993 Sondang P. Siagian, Pengembangan Sumber Daya Insani, Cet.II, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1987 Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro Sebuah Pendekatan Terhadap realitas Sosial, Edisi II, Cet. II, Penerj.: Farid Wajidi, S. Menno, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995 Tim Dosen IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, Cet. III, Usaha nasional, Surabaya, 1988 Tri Dayakisni, Remaja, Problema dan Pemecahannya (Makalah Forum Bina Remaja), HMJ-PAI Fak.Tar. IAIN Sunan Ampel, Malang, 1992 Tutty Alawiyah AS., Sistem Kemitraan Penyelenggaraan Pendidikan Islam, Harian Merdeka, Senin Pahing 3 Januari 1994, Th. No. XLVIII/573711, hal. VII