Jumat, 11 Juni 2010

KONSEP ITTIHAD

Ittihad secara bahasa berarti bergabung, menyatu; unity. Sebagaimana Fana’ dan Baqa’, Ittihad diperkenalkan oleh Abu Yazid Al-Busthami sebagai stage yang menyusul Fana’ dan Baqa’. Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan Fana’ dan Baqa’, maka pada saat itu ia telah menyatu dengan Tuhan; suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga bisa saling memanggil. Karena yang dilihat dan dirsaakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang dicintai atau antara sufi dan Tuhan, identitas telah hilang melebur dalam satu wujud dan karena fana’nya sehingga tidak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara dengan nama Tuhan .
Abu Yazid adalah pencinta sejati terhadap Tuhannya. Dia adalah seorang yang senantiasa berusaha mencari jalan untuk bisa selalu dekat kehadirat Allah SWT. Sampai suatu saat dia berkata:
Aku bermimpi melihat Tuhan. Akupun bertanya: Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu? Dia menjawab: Tinggalkan dirimu dan datanglah .

Maka selanjutnya, dengan fana’ Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi menghadap kehadirat Tuhan. Keadaan ini ditandai dengan syathahat yang diucapkannya ketika mencapai gerbang ittihad. Ucapan itu misalnya:
Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina,
Tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku, karena Engkau Raja Maha Kuasa .

Inilah ucapan Abu Yazid yang menggambarkan kegembiraan hatinya karena cinta Tuhan telah terlimpahkan pada dirinya, padahal dia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang hamba yang hina.
Lebih lanjut, Abu Yazid menggambarkan proses ittihadnya, sebagaimana diungkapkan Al-Thusi dalam kitab al-Luma’, dia berkata:
Pada suatu ketika saya dinaikkan kehadirat Allah seraya Ia berkata kepada saya, Hai Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihatmu. Aku menjawab, hiasilah aku dengan ke-Esaan-Mu, pakaikanlah aku sifat-sifat ke-dirian-Mu, dan angkatlah aku ke dalam ke-Esaan-Mu sehingga apabila makhluk-Mu melihat aku mereka akan berkata: “Kami telah melihat Engkau”. Tapi sebenarnya yang mereka lihat adalah Engkau karena sesungguhnya pada saat itu aku tidak berada di sana .

Lebih jelas dikatakan oleh Abu Yazid:
Tuhan berkata: Semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Äkupun berkata: Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.

Selanjutnya Abu Yazid berkata:
Percakapanpun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun berkata: Hai engkau. Aku dengan perantara-Nya menjawab: Hai Aku. Ia berkata: Engkaulah yang satu. Aku menjawab: Akulah yang sati. Ia berkata selanjutnya: Engkau adalah Engkau. Aku menjawab: Aku adalah Aku.

Namun dalam kesempatan lain setelah shalat Subuh, Abu Yazid berkata:
Sesungguhnya aku, Aku adalah Allah, Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku

Ia juga berkata:
Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku

Senada dengan hal tersebut, lebih lanjut Abu Yazid berkata:
Diceritakan, pernah seorang laki-laki dating ke rumah Abu Yazid seraya mengetok pintunya, Abu Yazid bertanya: Siapa yang engkau cari? Orang itu menjawab: Abu Yazid. Selanjutnya Abu Yazid berkata: Pergilah, dirumah ini tidak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.
Pada kesempatan lain dia berkata:
Yang ada dalam baju ini hanya Allah

Tentang ungkapan-ungkapannya tersebut di atas, Abu Yazid berkata:
Sebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya sedangkan saya sendiri dalam keadaan fana’ .

Dengan demikian, dari ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh Abu Yazid di atas, maka bisa disimpulkan bahwa dikarenakan kesadaran dan penglihatan kepada selain Dia telah musnah (fana) maka terjadilah penyatuan dirinya kepada Dzat Yang Maha Tinggi, suatu kesadaran bahwa tidak ada lagi yang lain dalam kenyataan ini selain Dia, bahkan dirinya adalah Dia. Namun, dia tidaklah mengakui bahwa dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.
Menurut Abu Yazid, pencapaian ittihadnya melalui latihan berat dan intensif selama bertahun-tahun, dalam hal ini dia berkata:
Dua belas tahun lamanya aku menjadi pandai besi bagi diriku. Kulemparkan diriku dalam rungku riyadlah (latihan). Kubakar dengan api mujahadah (perjuangan). Kuletakkan di atas alas penyesalan. Kupukul dengan martil pengutukan diri sehingga dapatlah kutempa sebuah cermin diriku sendiri. Lima tahun lamanya aku menjadi cermin diriku yang selalu kukilapkan dengan bermacam-macam ibadah dan ketakwaan. Setahun lamanya aku memandangi cermin diriku dengan penuh perhatian. Ternyata kulihat diriku terlilit sabuk takabbur, kecongkakan, ria, ketergantungan pada ketaan dan membanggakan amal-amal. Aku lalu beramal selama lima tahun sampai sabuk itu terputus dan aku memeluk Islam kembali. Kupandangi para makhluk dan kulihat mereka semua mati sehingga aku bertakbir empat kali untuk mereka dan aku kembali dari jenazah mereka semua. Aku sampai kepada Allah dengan pertolongan Allah sendiri tanpa perantara makhluk.

Dari ucapan Abu Yazid tersebut, bisa dipahami betapa keinginan yang kuat telah membawanya pada suatu kesadaran akan hakekat hidup dan tujuan hidup. Keinginannya tersebut telah terpenuhi melalui pertemuannya dengan Yang Hakiki dan Maha Tinggi. Itulah sebabnya, ketika seseorang bertanya tentang umurnya ia berkata: Umurku hanya empat tahun, aku telah tertabiri oleh dunia selama tujuh puluh tahun dan baru melihat-Nya selama empat tahun . Inilah gambaran perjuangan Abu Yazid dalam upayanya untuk mencari Yang Hakiki dalam hidup ini. Konsep Ittihad ini secara lebih jelas bisa dilihat pada Skema I.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar