Senin, 14 Juni 2010

DZIKIR; MENUJU YANG HAKIKI

MUQADDIMAH
Dimana-mana orang-orang berdzikir. Berbagai nama dan bentuk kegiatan berdzikir di-laksanakan. Bahkan akhir-akhir ini kegiatan berdzikir banyak ditayangkan di televisi. Feno-mena ini menunjukkan bahwa dzikir memiliki posisi penting di hati umat Islam. Suatu kesadaran bahwa segenap aktifitas kehidupan haruslah dibarengi dengan dzikir.
Dzikir adalah inti ibadah, merupakan bagian penting dari segenap aspek religiusitas yang memberikan dampak bagi umat. Berbagai fakta dan pendapat para ulama' dan ilmuwan menunjukkan bahwa kondisi religiusitas seseorang sangat berpengaruh terhadap kehidupannya, baik psikis maupun fisis. Bahkan PBB (WHO) secara tegas merekomendasikan bahwa dimensi psiritual setara dengan dimensi fisik, psikologik dan sosial. Dimensi spiritual merupakan aspek penting dalam rangka membentuk manusia modern.

DZIKIR; SIAPA DIRI KITA?
Dzikir adalah mengingat Allah SWT, Rabb al 'Izzati. Untuk bisa mengingat Allah SWT maka harus mengenal-Nya. Untuk bisa mengenal-Nya maka kita harus mengenal siapa diri kita. Artinya, dzikir berarti menyadari siapa diri kita, untuk selanjutnya mengenal-Nya, mengingat-Nya bahkan "berhadapan" dengan-Nya.
Lalu siapakah diri kita? Marilah kita lihat diri kita, seberapa besar diri kita, seberapa pandai diri kita, seberapa hebat diri kita, apa yang kita punyai, apa yang kita banggai. Kita amati diri kita dari luar melalui dunia makro kosmos. Mula-mula dari jarak 1 meter. Lalu semakin menjauh, 10 meter, 101 meter, sebesar apa diri kita. Semakin menjauh, 102 meter, 103 meter, 104 meter. Semua tentang kita telah lenyap, bahkan tempat kita berada-pun terlihat seperti titik yang sangat kecil diantara gugusan pulau-pulau. Semakin menjauh, 105 meter, 106 meter, 107 meter, 108 meter dan seterusnya kita semakin menjauh, melampaui batas ukuran tahun cahaya. Kita hanya bisa melihat planet kita, kemudian kita hanya melihat tata surya kita, kita hanya melihat berjuta-juta tata surya, pada akhirnya kita tinggalkan galaksi kita, kita lihat galaksi tempat kita berada, lalu semakin menjauh, kita hanya melihat gugusan galaksi-galaksi, sampai batas kemampuan akhir kita. Pada akhirnya kita hanya bisa bersujud di tengah-tengah jagad raya ciptaan-Nya, dunia makro kosmos yang begitu teratur dalam penciptaannya. Sehingga kita hanya mampu berucap:
"Ya Allah, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia".
Dalam ketakjuban atas segenap fenomena alam yang luar biasa tersebut, terucap kata-kata:
Maha Suci engkau, Ya Allah
Segala puji hanya bagi-Mu semata, Ya Allah
Ya Allah, Engkau Maha Besar
Selanjutnya, pada diri kita akan muncul kesadaran tentang Ta'alluh Allah SWT (Kekuasaan-Nya yang mutlak dalam kepemilikan dan pengaturan seluruh makhluk). Kesadaran yang muncul teriring ucapan:
Tidak ada Tuhan selain Engkau,Ya Allah
Dia adalah wujud yang hak dan hakiki, sedang selain Dia, akan lenyap binasa. Ternyata, diri kita telah lenyap dalam ke-Agungan-Nya. Betapa Allah SWT telah menunjukkan ke-Agungan-Nya melalui ciptaan-Nya. Pada saat itu lenyap kesombongan kita, lenyap ke"AKU"an kita, yang ada hanya Allah SWT.

Kita amati diri kita kembali, ke dalam diri kita melalui dunia mikro kosmos. Mula-mula pada jarak 1 meter, terlihat tubuh kita keseluruhan. Kemudian semakin dekat, pada daging kita, tulang kita. Lalu semakin mendekat pada jarak 0 meter, 1/101 mikron, yang terlihat adalah bahwa tubuh kita merupakan jaringan-jaringan sel. Semakin jauh ke dalam, pada jarak 1/102 mikron, 1/103 mikron, 1/104 mikron, dan seterusnya. Kita temui bahwa diri kita tidak lebih hanya merupakan kumpulan molekul-molekul, lebih jauh lagi, hanya terlihat kumpulan atom-atom, semakin ke dalam lagi pada batas kemampuan mikroskop elektron kita, pada diri kita ternyata hanya terlihat kumpulan proton, elektron dan neutron. Lalu, apakah wujud itu adalah diri kita. Tentu tidak. Karena hanya sampai di sini kemampuan kita, para fisikawan-pun belum mampu menjelaskan apa sebenarnya diri kita dan apa yang membuat kita hidup. Sampai pada batas ini, kita hanya mampu tersungkur dan bersujud, sadar betapa kecilnya diri kita dan betapa besar ke-Agungan Allah SWT. Sekali lagi kita mengucapkan:
Maha Suci engkau, Ya Allah
Segala puji hanya bagi-Mu semata, Ya Allah
Ya Alah, Engkau Maha Besar

Dalam kesadaran terdalam kembali kita berucap:
Tidak ada Tuhan selain Engkau,Ya Allah


DZIKIR; MENUJU YANG HAKIKI
Ketika muncul kesadaran bahwa betapa diri kita tidak ada artinya, maka kita akan dengan suka rela melepaskan segenap dimensi lahiriyah kita. Sadar bahwa yang lahiriyah ternyata bukan diri kita yang sebenarnya. Yang lahiriyah hanyalah tempat kita, yang suatu saat pasti akan kita tinggalkan. Yang pada akhirnya harus kita pertanggungjawabkan penggunaannya di hari kemudian.
Akhirnya, dengan berdzikir, berarti kita berusaha melepaskan diri dari jeratan-jeratan dimensi lahiriyah kita. Kita sucikan hati dan pikiran kita dari segala hal yang bersifat lahiriyah. Kita lepaskan "nasut" kita, sifat lahiriyah kita, menuju "lahut", menuju ke-Ilahian. Bertemu dengan-Nya. Inilah tujuan hidup kita. Jika kita sucikan diri kita, maka kita akan bertemu dengan Yang Maha Suci.
Ketika diri kita telah berada pada puncak kesadaran di atas, maka saat itulah kita yakin bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa kita andalkan selain-Nya, keagungan-Nya, ke-Maha Kuasaan-Nya. Kita menghadap kepada-Nya tanpa ada sesuatupun yang menghalangi dan mengotori pikiran serta hati kita. Kepada-Nya kita hidup dan mengabdi, kepada-Nya kita meminta pertolongan, dan kepada-Nya kita akan kembali. Saat itu kita betul-betul berhadapan dan merasa dekat dengan-Nya, sehingga kita bisa berucap:
"Kepada-MU kami menyembah dan kepada-MU kami meminta pertolongan"
Kitapun berucap:
Tidak ada Tuhan selain ENGKAU, Ya Allah
Kalimat ini menuntut adanya suatu kesadaran yang tinggi bahwa kita tengah berdialog dengan-Nya, kita yakini bahwa Dia senantiasa mengawasi kita, dekat dengan kita.

DZIKIR; REORIENTASI TUJUAN HIDUP
Jika pada diri kita telah ada kesadaran tentang Ta'alluh Allah SWT, dan betapa bahwa diri kita dan segenap yang melekat pada diri kita adalah sesuatu yang tidak kekal, akankah kemudian kita meninggalkan seluruh aktifitas dan dimensi fisik kita? Meninggalkan kehidupan duniawi? Tidak!
Berdzikir berarti menyadari akan hakikat diri dan posisi kita yang sebenarnya. Yakni sebagai makhluk yang tiada daya, tiada kekal, hanya mengandalkan ke-Murahan-Nya. Makhluk yang diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya. Makhluk yang diciptakan untuk menjadi Khalifah di atas bumi-Nya. Inilah diri kita sebenarnya. Makhluk yang menyadari hakikat dirinya, tujuan dirinya, melaksanakan tugas-tugas duniawiyah tanpa harus terjebak dalam keduniawian tersebut.
Sebenarnya diri kita bernama "abdullah". Sedangkan dunia kita, jabatan kita, kekayaan kita, profesi kita, keluarga kita, dan segala yang melekat dan menjadi identitas diri kita adalah peran-peran yang diberikan oleh Allah SWT semata. Peran yang harus kita jalani sebagai wujud pengabdian kepada-Nya, tanpa melupakan bahwa diri kita sebenarnya adalah "abdullah". Menjadi aktor yang tidak lupa akan dirinya yang sebenarnya, aktor yang tidak terseret pada peran yang dimainkannya.
Jika demikian kesadaran kita, maka kita membutuhkan teladan sebagai pijakan dalam segenap aktifitas kita, Rasulullah SAW. Pada diri Rasul terdapat keseimbangan yang serasi antara kehidupan ruhiyah dan jasadiyahnya, antara kehidupan ukhrowiyah dan duniawiyahnya. Pada dirinya terdapat kesadaran untuk senantiasa mengarahkan diri pada dimensi "lahut" dengan tetap menyadari adanya dimensi "nasut" tanpa harus terjebak di dalamnya.
Dengan kesadaran inilah kita mengucap:
Muhammad adalah utusan-Mu, Ya Allah. Muhammad adalah pembimbing umat manusia dalam menjalani kehidupan duniawi.
Dengan demikian, kehidupan yang kita jalani senantiasa berada pada jalur yang sebenarnya. Bukan jalur yang menyesatkan dan mengarahkan kita pada dimensi jasadiyah semata, dimensi duniawiyah semata. Bukan jalur yang menjerat diri kita sehingga kita tidak mampu keluar dari dimensi jasadiyah, dimensi yang nisbi dan tidak kekal, dimensi yang kosong.

PENUTUP
Dengan berdzikir kita menyadari hakekat diri kita. Dengan berdzikir kita menghadap kepada-Nya. Dengan berdzikir kita perbaiki kembali tujuan hidup yang sebenarnya.
Mungkin dalam setiap nafas dan detak jantung kita berdzikir. Mungkin dalam setiap tindakan kita berdzikir. Mungkin hanya pada setiap ibadah mahdzah kita berdzikir. Bahkan mungkin hanya pada waktu tertentu berdzikir. Bahkan mungkin hanya pada waktu malam menjelang tidur kita berdzikir. Dzikir, berarti belajar menjadi diri yang sebenarnya. Wallahu a'lam bi Ash-Shawaab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar