Jumat, 11 Juni 2010

TASAWWUF FALSAFI DAN KONTROVERSINYA

Tasawuf falsafi, sepanjang sejarahnya telah menimbulkan pro dan kontra, baik dilihat sebagai bagian dari tasawuf maupun sebagai ilmu tasawuf yang berdiri sendiri. Kontroversi ini berupa; Pertama, Tasawuf, konsep dasarnya secara umum yang menyatakan bahwa dunia ini fana’, cermin, unreal, appearance, kecenderungan pada sikap rasionalis-metafisis dan kasyf, dus menjadikan manusia cenderung bersikap apatis terhadap kehidupan, berusaha menghindar dari hal-hal duniawiyah, dan yang lebih parah lagi adalah kemandegan dalam kreatifitas berpikir, dijadikan sebagai kambing hitam atas kemunduran dunia Islam, terutama dalam dataran epistimologis . Kalau demikian, bukankah justru melalui tasawuf falsafi inilah manusia diasah pemikirannya agar memiliki ketajaman analitis dalam melihat sesuatu dengan tetap melandaskan pada moralitas ketuhanan yang tinggi. Dalam tasawuf falsafi yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk berpikir filosofis sebagai sarana untuk memahami konsep-konsepnya yang memang filosofis itu. Karena filsafat sebagai modal dasar ilmu pengetahuan tetap merupakan aspek penting dalam mendorong progresifitas pemikiran manusia menuju kemajuan ilmu pengetahuan. Maka dengan adanya tasawuf falsafi tidak akan ada ketakutan lagi terhadap pengaruh berfilsafat bagi keimanan seseorang. Berarti akan memunculkan manusia-manusia yang memiliki ketajaman berpikir dengan berlandaskan moral ketuhanan yang tinggi.
Kedua, di kalangan umat Islam sendiri, akibat adanya konsep tasawuf (terutama falsafi) seolah-olah tidak mementingkan syari’at agama, apalagi konsep al-Hallaj yang terkenal dengan Syuhud al-Adyan, misalnya, mendapat reaksi keras dari kalangan yang lain . Walaupun, bisa jadi dalam hal syari’at ini, karena begitu hati-hatinya kaum sufi falsafi dalam menanggapi setiap fenomena, agar tidak terjebak pada kemusyrikan, menjadikan pula perubahan pandangan terhadap syari’at agama. Syari’at adalah wahana untuk mencapai Tuhan. Namun kenyataannya, begitu banyak pergesekan-pergesekan yang terjadi di kalangan umat manusia, baik internal dalam suatu agama apalagi pergesekan antar agama, dimana mereka menjadikan syari’at sebagi berhala yang menjustifikasi kekerasan, demi keberlangsungan syari’atnya dan atas nama agama bahkan Tuhan mereka saling tikam, suatu fenomena yang jauh dari misi agama itu sendiri. Kalau demikian, apalah artinya agama jika ternyata malah menimbulkan pergesekan-pergesekan dan bahkan menimbulkan kerusakan. Karena pada dasarnya yang lebih utama adalah bagaimana menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis dengan tetap memiliki spirit ketuhanan.
Perbedaan pandangan ini telah memunculkan gap antara kaum sufi dengan sunni/syar’i. Di sinilah eksistensi al-Ghazali berada, dengan kemampuannya ia berusaha untuk melakukan perpaduan yang bersifat dialogis dan kompromistis antara sufisme dan sunni. Perpaduan antara berbagai aspek tatanan sufistik, metafisis dan moral yang didalamnya ia berusaha merujukkkan tasawuf kepada ajaran sunni . Kemampuannya dalam melakukan internalisasi moral pada konsep-konsep sufisme dan sunni menjadikannya sebagai al-Hujjat al-Islam, tokoh besar sepanjang sejarah.
Ketiga, kontroversi terhadap munculnya Tasawuf Falsafi dalam sejarah juga dikarenakan pada kesalahpahaman terhadap konsep yang ditawarkan para tokohnya, terutama pada kalimat-kalimat syathohatnya . Dus harus diakui pula bahwa para tokoh Tasawuf Falsafi adalah tokoh-tokoh yang cenderung secara politis menentang pemerintahan saat itu (terutama al-Hallaj), sehingga penolakan lebih dikarenakan hal politis dan kharisma . Fenomena ini nampak wajar, karena bagi manusia yang telah memiliki kesadaran ketuhanan yang tinggi, apapun terasa tidak ada artinya dan tidak ada ketakutan selain terhadap tuhannya. Sehingga sikap kritisnya dan pembelaannya terhadap kebenaran tidak akan mampu dibendung oleh siapapun dan apapun, baik ancaman, siksaan bahkan kematian .
Dari uraian kritis tersebut, maka bisa diambil beberapa hal sebagai berikut: Pertama, berpikir dan berfilsafat merupakan fitrah manusia, apalagi di era kemajuan ilmu pengetahuan saat ini yang sangat membutuhkan ke dua hal tersebut. Paradigma ketuhanan dan bertasawuf yang ditawarkan Tasawuf Falsafi merupakan alternatif yang bisa diterima pada umat yang memiliki kedalaman berfilsafat.
Kedua, yang perlu diambil dari ajaran Tasawuf Falsafi adalah pendekatan konseptual terhadap ketuhanan yang begitu rasional dan bisa disentuh oleh rasionalitas manusia. Serta metode bertasawufnya yang tinggi, yang mampu mengasah akal dan hati manusia, sehingga manusia mampu memiliki ketajaman akal dan hati yang luhur sehingga berimbas pada perilaku yang senantiasa dihiasi ketuhanan. Dengan demikian, jika hal ini mampu diterapkan di era saat ini, maka yang muncul adalah manusia-manusia yang memiliki perilaku yang senantiasa hatinya berhiaskan ketuhanan.
Ketiga, disamping juga sebagai upaya memperjuangkan nilai-nilai tauhid dalam setiap gerak dan dimensi kehidupan manusia dan memberikan alternatif “pelarian” umat manusia dari rutinitas kehidupan yang semakin kompleks permasalahannya. Dalam arti, bertasawuf yang bisa mencapai puncak pemikiran dan dzauq yang tinggi akan menghindarkan diri dari keterjebakan pada rutinitas duniawiyah dan sekaligus merupakan wahana menyegarkan akal dan hati dari kompleksitas permasalahan hidup. Dengan demikian, kaum sufi merupakan pendekar tauhid sejati, yang keberadaan pemikiran dan gerakannya tidak saja harus dipelajari sebagai historical scientific semata, tapi juga disikapi secara arif untuk diambil sebagai pelajaran yang sangat berharga dalam menghadapi berhala-berhala jahiliyah di abad modern ini. Betapa damainya dunia jika dipenuhi oleh manusia-manusia yang mabuk ketuhanan.
Keempat, konsep tasawuf falsafi jika digabungkan dengan tasawuf amali dan akhlaki, akan menghasilkan manusia-manusia yang memiliki ketinggian keimanan, kedalaman filsafat, dan keluhuran budi pekerti serta memiliki prinsip hidup yang kuat, baik sebagai Hamba maupun Khalifah Allah SWT.
Demikianlah, sebagai sebuah fakta sejarah eksistensi Tasawuf Falsafi merupakan fenomena yang sangat menarik, dan bahkan boleh dikatakan harus ada. Hal ini dikarenakan adanya modal dasar yang menjadi potensi munculnya pemikiran-pemikiran sufistik, baik internal maupun eksternal. Terutama sekali munculnya pemikiran filosofis, adalah suatu yang tidak terelakkan, baik dikarenakan asimilasi dan akulturasi maupun fitrah manusia yang memiliki potensi berpikir, sehingga keberadaan Tasawuf Falsafi terasa relevan dan wajar. Tinggal bagaimana secara bijaksana mampu diarahkan agar tetap dalam frame moral dan nilai ajaran Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar