Selasa, 27 Juli 2010

KONSEP JIWA

KONSEPSI JIWA DALAM ISLAM
(Kajian atas Teori Muhammad Usman Najati dan Adnan Syarif)
Oleh: Nashruddin Hilmi, M.Pd.I.



A. PENDAHULUAN
Psikologi berusaha menelaah gejala-gejala jiwa manusia melalui pola perilaku yang muncul. Perilaku yang positif mencerminkan jiwa yang sehat, sementara perilaku negatif mencerminkan jiwa yang sebaliknya, negatif. Pola perilaku yang muncul merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji karena menjadi dasar utama dalam mengkaji gejala-gejala kejiwaan yang ada. Namun yang tidak kalah menariknya adalah kajian tentang hakekat jiwa itu sendiri.
Banyak sekali konsepsi jiwa yang dikemukakan oleh para ahli. Namun tidak banyak yang berusaha untuk mengkaji konsepsi jiwa dalam perspektif Islam yang bersumber al-Qur’an dan as-Sunnah. Padahal, sebagai sumber ajaran agama yang memiliki nilai-nilai luhur dan transenden, Islam memiliki konsepsi jiwa yang sangat menarik dan bahkan sebagai umat Islam akan mengakuinya sebagai sebuah kebenaran hakiki.
Namun yang menjadi permasalahan adalah bahwa dalam al-Qur’an sendiri, istilah-istilah yang tersurat maupun tersirat tentang aspek psikis memerlukan sebuah kajian intens dan mendalam agar mampu membedakan berbagai istilah yang ada. Dalam al-Qur’an disebutkan istilah an-nafs, al-qalb, al-‘aql,dan ar-ruh. Istilah-istilah ini sering disebutkan dalam al-Qur’an dan harus menjadi perhatian guna membentuk pribadi yang lurus dan konsisten (baik).
Kajian tentang istilah-istilah tersebut sangat penting agar kita mampu mengkaji sesuatu yang menjadi sumber (sebab) munculnya berbagai perilaku manusia. Sumber inilah yang harus dikuasai pemahamannya agar mampu ditata dan dikendalikan dengan baik guna mendapatkan pribadi yang mendekati insan kamil sebagaimana harapan agar mampu mencontoh pribadi Rasulullah SAW.
Kajian singkat ini berusaha menemukan benang merah antara pendapat Muhammad Usman Najatid an Adnan Syarif. Kajian ini menjadi menarik karena keduanya memiliki perspektif yang berbeda. Perlu adanya sebuah diskusi guna mendapatkan satu pemahaman alternatif yang diharapkan mampu menjembatani keduanya.


B. TELAAH TEORITIS
Meskipun berdasar pada satu ajaran, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, para ahli berbeda pendapat dalam memandang jiwa manusia. Diantara para ahli yang mengemukakan pendapatnya adalah Muhammad Usman Najati dan Adnan Syarif.

1. Jiwa Sebagai Sebuah Dorongan
Muhammad Usman Najati dalam al-Qur’an dan Psikologi mengemukakan bahwa jiwa merupakan dorongan-dorongan yang menjadikan manusia bisa beraktifitas. Dorongan-dorongan ini mempengaruhi setiap gerak perilaku manusia.
Dalam al-qur’an dorongan-dorongan tingkah laku itu diantaranya adalah:
Dorongan Fisiologis
- Dorongan menjaga diri
Dorongan ini berfungsi untuk menjaga diri, misalnya: makan, minum, berpakaian, lelah, panas, dingin, rasa sakit, dan bernafas

7. Yang Telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang, (al-Infithar: 7)

155. Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (al-Baqarah: 155)

- Dorongan kelestarian keturunan
Manusia dilengkapi dengan dorongan untuk mempertahankan kelestarian keturunannya melalui dua dorongan:
a. Dorongan seksual

189. Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur". (al-A’raf: 189)

b. Dorongan keibuan (maternal drive)
10. Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa[1114]. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak kami teguhkan hati- nya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah). (al-Qashash: 10)

[1114] setelah ibu Musa menghanyutkan Musa di sungai Nil, Maka timbullah penyesalan dan kesangsian hatinya lantaran kekhawatiran atas keselamatan Musa bahkan hampir-hampir ia berteriak meminta tolong kepada orang untuk mengambil anaknya itu kembali, yang akan mengakibatkan terbukanya rahasia bahwa Musa adalah anaknya sendiri.

Dorongan Psikis dan Spiritual
- Dorongan psikis
Psikolog modern menamakan juga dorongan psikososia. Di satu sisi individu memiliki dorongan untuk memenuhi kebutuhan individu, namun di sisi lain ia hidup di tengah-tengah individu-individu secara sosial. Misalnya, rasa memiliki, penghargaan, kehormatan, berkelompok, rasa memusuhi, berkompetisi, dan lain-lain.
20. Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (al-Hadid: 20)

148. Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (al-Baqarah: 148)

- Dorongan spiritual
Dorongan yang berhubungan dengan aspek spiritual, seperti beragama, taqwa, cinta kebajikan, kebenaran dan keadilan.
Sebagaimana hadits Rosululloh SAW:
Semua anak dilahirkan membawa (potensi) fitrah keberagamaan yang benar....

Dorongan bawah sadar
Merupakan dorongan yang tidak bisa diterima baik oleh norma, akal, maupun nurani yang seringkali menimbulkan kegelisahan akibat dorongan itu dijauhkan dari wilayah perasaan dan kesadarannya. Dorongan ini bisa muncul sewaktu-waktu atau tetap menjadi rahasia individu dimana Allah SWT menutupinya atau membukanya.
29. Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka ?
30. Dan kalau kami kehendaki, niscaya kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu. (Muhammad: 29-30)

Konflik antar dorongan
Konflik terjadi manakala ada dua dorongan atau lebih yang saling bertentangan. Terkadang salah satu mengalahkan yang lain, terkadang individu tidak mampu menentukan sehingga menimbulkan keraguan dalam jiwa.
45. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, Karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya. (at-Taubah: 45)

10. Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua jalan[1578], (al-Balad: 10)

[1578] yang dimaksud dengan dua jalan ialah jalan kebajikan dan jalan kejahatan.


Mengendalikan dorongan
Dorongan-dorongan yang muncul bisa menjadi sesuatu yang positif, sebaliknya pula bisa menjadi negatif bila berlebihan. Kemampuan untuk mengendalikan dorongan inilah yang akan menyelamatkan manusia dari kerusakan kehidupannya. Pengendalian ini misalnya, makan, minum, berpakaian, seksual, eksplorasi alam, sikap hidup, dan sebagainya.
87. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (al-Maidah: 87)

Penyimpangan dorongan
Dorongan merupakan hal yang harus ada dalam kehidupan individu. Namun manakala dorongan itu tidak mampu dikendalikan, bahkan tenggelam dalam pemenuhan dorongan, dan justru menjadikannya sebagai tujuan, maka indovidu telah berada dalam kekuasaan dorongannya sendiri. Individu tersebut tidak mampu lagi mengendalikan dorongannya bahkan tenggelam di dalamnya.
29. Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya[852] Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (al-Isra’: 29)
[852] Maksudnya: jangan kamu terlalu kikir, dan jangan pula terlalu Pemurah.


2. Darah adalah Jiwa/Nafs
Adnan Syarif dalam Psikologi Qur’ani menjelaskan bahwa nafs memiliki tiga pengertian:
a) Nafs adalah Dzat Allah
12. Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi." Katakanlah: "Kepunyaan Allah." dia Telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang[462]. dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman[463]. (al-An’am: 12)
[462] Maksudnya: Allah Telah berjanji sebagai kemurahan-Nya akan melimpahkan rahmat kepada mahluk-Nya.
[463] Maksudnya: orang-orang yang tidak menggunakan akal-fikirannya, tidak mau beriman.

Jika demikian, maka tidak ada hak bagi kita untuk mempelajari nafs ini. Dzat Allah SWT adalah sesuatu yang transenden dan tidak bisa kita pikirkan.

b) Nafs adalah ruh
27. Hai jiwa yang tenang.
28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (al-Fajr: 27-28)

Jika demikian, kita tidak bisa pula membahas nafs dalam arti ruh ini.
85. Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (al-Isra’: 85)

c) Nafs adalah Makhluk yang Memiliki Karakter
Dengan demikian memiliki ciri-ciri:
1) Sebagai makhluk maka ia juga berwujud dan pasti mengalami kehancuran.

185. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia Telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (ali Imran: 185)

2) Sebagai makhluk yang memiliki sifat dzalim (aniaya).
23. Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami Telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya Pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (al-A’raf: 23)

3) Sebagai makhluk yang mengajak kepada kejahatan namun juga bisa mendapatkan rahmat-Nya..
53. Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang. (Yusuf: 53)

4) Sebagai makhluk yang memiliki sifat merendah dan takut
205. Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (al-A’raf: 205)

Dari uraian tentang pengertian nafs sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, Adnan Syarif menyimpulkan bahwa medan kajian psikologi (jiwa) tidak berada pada pengertian pertama dan kedua, melainkan pada pengertian yang ke tiga, yaitu makhluk yang memiliki eksistensi yang istimewa dan khusus. Dalam hal ini adalah darah.
Kesimpulan ini didasarkan pada beberapa kamus bahasa arab yang mengartikan nafs sebagai darah. Istilah imro’atun nufasaa’ yang berarti wanita yang baru melahirkan. Juga didasarkan kepada sebuah hadits Rosululloh SAW:
“Sesuatu yang tidak memiliki darah (an-nafs as-sa’ilah) itu tidak akan mengotori air jika ia mati di dalamnya. Sebaliknya, segala sesuatu yang memiliki darah (an-nafs as-sa’ilah), jika mati di dalam bejana akan mengotorinya” (HR. An-Nakh’iy)

Sejak pertengahan abad 20, para ilmuwan kimia organik, secara berturut-turut, telah menemukan bahwa setiap kekuatan akal, emosi, dan perilaku (gejala psikologis, kejiwaan, dan pikiran) tidak lain merupakan hasil berbagai intervensi dan pengaruh yang bersifat fisikal melalui sejumlah materi biokimiawi. Materi biokimiawi itu kemudian disaring oleh seluruh sel yang ada dan masuk semuanya ke dalam darah atau pembuluh-pembuluh darah.
Sejak permulaan tahun 60-an, ilmu pengetahuan telah menemukan ratusan materi kimiawi di dalam maupun di luar tubuh. Semuanya berperan dalam memunculkan berbagai gejala dan penyakit kejiwaan; semuanya mengalir, mewujud, atau merasuk ke dalam darah. Pertanyaannya adalah, apakah agar memiliki jiwa yang sehat bisa dilakukan dengan cara membersihkan atau mengubah darah?
Tidaklah mudah untuk melakukan hal tersebut. Materi-materi kimiawi yang menyebabkan timbulnya gejala-gejala kejiwaan disaring oleh kelenjar buntu dan berbagai macam pusat saraf yang mengalirkan materi-materi ini di dalam darah. Dengan demikian, darah merupakan tempat menetap dan menyimpan ratusan materi kimiawi yang dihasilkan dari berbagai macam bagian tubuh seperti alat pencernaan, kelenjar buntu, sel-sel syaraf yang tersebar di berbagai anggota tubuh dan otak.

Hubungan Jiwa dengan Tubuh, Akal, dan Ruh
Jiwa bukanlah jasad. Jasad, tubuh, atau badan adalah tempat jiwa (darah). Darah yang mengekspresikan segala pengaruh, gejala dan perilaku manusia. Otak yang mampu berpikir dan berakal merupakan alat untuk berpikir. Akallah yang harus menjadi panutan dan penguasa atas jiwa dan gerak-geriknya. Jika tidak, akal akan dikendalikan oleh jiwa (hawa nafsu).
Sementara ruh (nyawa), yang merupakan sesuatu yang menjadi urusan Allah SWT, dan makhluk ciptaan-Nya yang hanya memiliki eksistensi ruhaniah semata serta merupakan salah satu rahasia Allah SWT, adalah “alat kehidupan” bagi setiap makhluk. Jika akal tidak mampu mengendalikan nafsu (jiwa), jasad tidak akan tenang dan mempengaruhi pula ketenangan ruh ini.


C. DISKUSI
Dari uraian kedua pendapat di atas, Najati lebih menekankan bahwa jiwa merupakan sesuatu yang abstrak (psikis) yaitu sebuah tenaga/dorongan, sedangkan Adnan Syarif berusaha memberikan pengertian yang lebih kongkrit dengan mengatakan bahwa jiwa adalah sesuatu yang nampak (pisis) yaitu darah. Namun demikian, penggunaan istilah biokimiawi sebagai unsur yang mempengaruhi darah tetap saja membawa pada sesuatu yang sulit diamati oleh inderawi biasa (mendekati abstrak) dan cenderung psikis pula. Namun, Adnan Syarif nampaknya lebih berusaha agar permasalahan kejiwaan ini bisa didekati secara fisiologis sebagai salah satu alternatif dalam pemecahan masalah-masalah psikis. Di sini, Adnan syarif berusaha melegitimasi adanya langkah-langkah fisiologis (pengobatan fisik) dalam mengatasi permasalahan kejiwaan. Langkah penanganan yang seperti ini biasanya dilakukan oleh seorang Psikiater yang tidak saja menguasai masalah-masalah psikologis, tapi juga masalah-masalah pengobatan fisik (kedokteran).
Najati dalam memberikan alternatif guna mengatasi permasalahan kejiwaan lebih menekankan pada kemampuan akal agar tidak terbawa oleh arus dorongan-dorongan yang tidak terkendali. Sedangkan Adnan Syarif menambahkan bahwa tidak sekedar akal guna mengatasi permasalahan kejiwaan, namun ada hal-hal fisiologis (biokimiawi) yang harus pula mendapatkan perhatian. Namun yang menjadi permasalahan berikutnya adalah bahwa keduanya mengabaikan aspek al-Qalb. Padahal dalam al-Qur’an, al-Qalb juga merupakan istilah yang tidak bisa diabaikan sebagai salah satu unsur psikologis yang membentuk perilaku manusia.

Al-Qalb dalam al-Qur’an
1) al-Qalb itu di dalam dada (ash-Shadr)

125. Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya[503], niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (al-An’am: 125)

[503] disesatkan Allah berarti: bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah. dalam ayat ini, Karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, Maka mereka itu menjadi sesat.

Sebuah kata mutiara mengatakan bahwa ilmu itu di dada (ash-shadr), bukan di buku tulis (ash-shutr)

2) al-Qalb membutuhkan petunjuk dan bisa dirubah (pasif).
11. Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (at-Taghabun: 11)

110. Dan (begitu pula) kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. (al-An’am: 110)


3) al-Qalb bisa terkena penyakit dan bisa bersikap kasar
52. Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,
53. Agar dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat. (al-Hajj: 52-53)

4) al-Qalb bisa dibentuk melalui pembiasaan terus menerus

12. Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan setiap orang yang melampaui batas lagi berdosa,
13. Yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat kami, ia berkata: "Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu"
14. Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.
15. Sekali-kali tidak[1563], Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka. (al-Muthoffifin: 12-15)
[1563] Maksudnya: sekali-kali tidak seperti apa yang mereka katakan bahwa mereka dekat pada sisi Allah.


5) al-Qalb bisa membeku dan mati (tidak bisa dirubah)
100. Dan apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau kami menghendaki tentu kami azab mereka Karena dosa-dosanya; dan kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)? (al-A’raaf: 100)


6) al-Qalb bisa tenang dengan senantiasa mengingat Allah SWT
28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (ar-Ra’du: 28)


7) al-Qalb bisa menjadi sumber ketaqwaan jika senantiasa diajak oleh badan untuk beribadah
32. Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah[990], Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (al-Hajj: 32)

[990] Syi'ar Allah ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya.


Fungsi al-Qalb secara Fisiologis
Secara fisik, hati berbentuk gumpalan darah yang letaknya menempel pada organ tubuh lain.
“aku halalkan dua bangkai dan dua darah: bangkai ikan dan belalang, serta hati dan limpa”

Darah yang menempel/menggantung dalam al-Qur’an disebut juga ‘alaq.
2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (al-‘Alaq: 2)

14. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (al-Mu’minun: 14)

Hati merupakan organ yang berfungsi merombak sel darah merah yang telah berumur 120 hari. Ini penting dilakukan agar sel darah merah tetap berada pada kondisi baik. Sel darah merah berfungsi mengangkut O2 ke dalam tubuh dan mengeluarkan CO2 dari dalam tubuh. Hati yang tidak berfungsi dengan baik tidak akan bisa merombak sel-sel darah merah yang sudah udzur umurnya. Fungsi sebagai pemasok O2 tidak berfungsi dengan baik, sebaliknya fungsi pengangkut CO2 ke luar tubuh juga tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya, tubuh tidak akan mendapatkan O2 secara optimal. Padahal O2 ini sangat dibutuhkan oleh tubuh dengan kualitas yang terbaik. Di sisi lain, CO2 yang beracun akan menumpuk di dalam darah.
Sel darah merah yang sudah dirombak oleh hati akan mengalir ke empedu yang salah satu fungsinya adalah sebagai dzat yang membantu dalam pencernaan makanan di dalam usus halus. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kualitas sari pati makanan yang diserap oleh tubuh juga ditentukan oleh kualitas hati sebagai organ yang memproduksi zat yang berguna dalam proses pencernaan makanan.
Dengan demikian, hati memiliki peran penting dalam menentukan kualitas darah dan tubuh manusia. Dari fungsi ini nampak sekali adanya logika ilmiah bahwa hati telah berfungsi sejak pertama kali manusia berwujud karena menjadi salah satu organ terpenting dalam menentukan kualitas dan sirkulasi darah serta kualitas pertumbuhan tubuh manusia itu sendiri.
Jika Adnan Syarif mengatakan bahwa kondisi darah menentukan sikap dan perilaku manusia, maka hati menjadi unsur terpenting dalam turut menentukan kualitas darah baik secara fisiologis maupun psikologis. Meskipun tidak sepenuhnya bahwa ketika seseorang mengalami gangguan kejiwaan, maka mengganti hati atau menyembuhkan hati secara medis bisa menjadi alternatif penyembuhan jiwa manusia. Karena, sebagaimana diuraikan oleh Adnan Syarif, bahwa sirkulasi darah tidak saja dipengaruhi hati, tapi juga oleh organ-organ lainnya. Pun pula bahwa hati juga menjadi penentu kualitas pertumbuhan tubuh manusia.

Hubungan antara Jasad, Nafs, Ruh, Aql dengan Qalb
Keterkaitan antara jasad, nafs, ruh, dan aql telah diuraikan di atas. Sedangkan jika dikaitkan dengan fungsi qalb, maka qalb menempati posisi yang sangat penting dalam menentukan kualitas nafs (darah) dan pertumbuhan jasad. Aql menjadi bagian yang senantiasa melakukan evaluasi, memberikan konklusi, dan solusi dalam menghadapi berbagai permasalahan yang muncul. Aql membuat keputusan yang menjadi perintah bagi seluruh anggota tubuh agar melaksanakannya. Aql yang tidak mampu menemukan keputusan secara tepat akan memberikan perintah yang tidak tepat pula. Aql yang tidak mampu membimbing seluruh aspek individu ke arah yang tepat (fitri) akan menimbulkan masalah ketidakharmonisan. Di satu sisi, bagian-bagian yang ada (ruh, qalb, dan jasad – maupun aql sendiri) memiliki potensi fitri. Namun di sisi lain, jika aql menyimpang dari jalur fitri ini, yang timbul adalah ketidakharmonisan dan dis-sinkronisasi gerak dan arah antara gerak aql dengan qalb, ruh, dan nafs dan jasad. Bahkan bisa terjadi distinegrasi sampai pada taraf malfungsi pada tiap-tiap bagian yang ada tersebut.
Bagi qalb, aql yang tidak mampu membuat keputusan secara tepat dan fitri, akan menimbulkan ketidaksesuaian arah. Situasi qalb menjadi tidak stabil. Pertentangan dan pemberontakan terjadi. Hal ini menyebabkan kerja qalb terganggu. Gangguan ini bisa berimbas baik secara fisik maupun psikis. Fungsi qalb secara fisik akan terganggu dan mengacaukan kondisi nafs serta pertumbuhan fisik. Menimbulkan berbagai macam penyakit dan disfungsi anggota tubuh. Artinya, jasad dalam arti keseluruhan badan akan mengalami gangguan.
Bagaimana dengan ruh? Tentu saja ruh akan mengalami hal yang sama. Menempati tempat yang kurang harmonis dan tenggelam pada dimensi-dimensi serta permasalahan insaniyah (nasut) berakibat ruh akan terjebak di dalamnya. Ruh yang demikian, tidak akan bisa mencapai dimensi ketuhanan (lahut). Ruh yang terjebak, ruh yang terkungkung dan tenggelam di dalam dimensi nasut. Jika terus-menerus berada dalam kondisi seperti ini, ruh menjadi kotor, terjerembah, bahkan bisa tertolak. Ruh yang tidak mampu kembali dan menemukan asal dirinya. Padahal ruh adalah dimensi ketuhanan yang melekat pada setiap individu. Ruh adalah Sifat Qowiyyun yang memancar dari-Nya dan menjadi sumber kekuatan setiap makhluk hidup. Jika dimensi ketuhanan ini mengalami pencemaran oleh ulah aql manusia, maka manusia ini berarti bertentangan dengan Tuhannya.

Aql: Kunci Seluruh Aktifitas
Aql adalah anugerah Allah SWT yang luar biasa bagi manusia. Kemampuannya yang melebihi makhluk lain menjadi kunci progresifitas kehidupan umat manusia. Kemampuannya yang luar biasa telah mampu menyerap Ilmu Allah SWT. Meskipun sangat sedikit, namun ilmu itu telah membawa pada peradaban yang luar biasa dalam kehidupan umat manusia. Aql adalah kunci gerak hidup umat manusia.
Aql adalah kunci awal sebuah aktifitas yang akan sambung menyambung dengan aktifitas lain sebagai sebuah rangkaian sebab akibat. Namun, aql pula yang bisa menjadi kunci penghambat bahkan penghalang rentetan sebab akibat itu. Sebuah keputusan aql di sebuah awal gerak langkah manusia akan menjadi kunci awal pembuka aktifitas qalb, nafs, jasad, dan ruh dalam seorang individu. Keputusan aql yang salah (bertentangan dengan fitrah) pada awal sebuah langkah individu dalam menghadapi masalah (fenomena), akan berakibat ketidakharmonisan gerak qalb, nafs, jasad, dan ruh individu tersebut. Ketidakharmonisan segenap dimensi ini akan kembali mempengaruhi keputusan aql pada permasalahan berikutnya yang menjadi akibat permasalahan (fenomena) awal tadi. Begitu akan terjadi seterusnya sebagai sebuah rangkaian sebab akibat. Jika aql sepanjang hidup tidak mampu mengambil keputusan secara tepat dan mandiri, maka rangkaian permasalahan sebagai sebuah sebab akibat akan berlangsung selamanya, sepanjang hidup individu tersebut. Jika ternyata awalnya sudah salah, makan akan muncul rentetan kesalahan-kesalahan di masa-masa berikutnya. Namun jika benar, maka akan muncul rentetan kebenarab-kebenaran di masa-masa berikutnya.Namun, jika aql pada suatu saat mampu mengambil keputusan secara tepat dan mandiri tanpa terpengaruh oleh situasi dan kondisi qalb, jasad, nafs, dan ruh, maka bisa jadi rentetan sebab akibat itu akan berhenti. Babak baru yang tidak terpengaruh oleh kondisi sebelumnya akan dimulai lagi.
Aql dipengaruhi oleh keluasan dan kedalaman dalam memahami informasi yang ada. Semua informasi ini akan menjadi bekal guna diolah menjadi sebuah keputusan yang tepat. Namun, aql juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi qalb, nafs, jasad, dan ruh individu. Suatu kondisi yang dialami oleh qalb, nafs, jasad, dan ruh, bisa jadi tidak berasal dari hasil keputusan aqlnya sendiri. Misalnya, badan yang terpukul. Kondisi ini bukanlah disebabkan oleh aktifitas aqlnya sendiri. Namun sebaliknya, aliran nafs yang kacau akibat pukulan, berimbas pada kondisi qalb, menciptakan sistim situasi yang kacau akibat kondisi ini tidak sesuai dengan fitrah. Sistim situasi yang kacau akan mempengaruhi aql. Aql yang sudah terpengaruh oleh kondisi negatif tersebut akan mengambil keputusan berdasarkan situasi yang diterimanya, yaitu keputusan negatif, dan akan terus menjadi sebuah sebab akibat.



D. SIMPULAN
Ruh yang tenang adalah ruh yang senantiasa berada dan terpelihara dalam dimensi lahut (ilahiyah). Karena pada hakekatnya ruh adalah bagian dari Allah SWT. Ruh yang demikian berada pada individu yang mampu membebaskan diri dari sifat-sifat nasut (insaniyah-jasadiyah). Memiliki konsepsi hidup yang tenang dan mengarah hanya kepada Yang Transenden.
Konsepsi hidup yang tenang dan transenden tidak bisa dilepaskan dari ketenangan hati yang berpengaruh kepada kesehatan nafs (sirkulasi darah) yang baik dan bersih serta sistim pencernaan yang baik.
Ketenangan qalb ditentukan oleh kemampuan aql untuk bisa mengolah, mengatur, mengambil keputusan, mengevaluasi segala tindakan secara tepat dan baik. Kemampuan ini didasarkan pada keluasan ilmu pengetahuan, pengalaman hidup, serta kebijakaksanaan dalam mengambil langkah. Aql yang “sempit” tidak akan mampu mengambil keputusan secara tepat sesuai dengan logika dan fakta yang ada. Inilah yang disebut bertentangan dengan Yang Transenden. Ketidakmampuan ini akan mempengaruhi kinerja qalb sehingga mempengaruhi kinerja organ tubuh dan syaraf-syaraf pikir yang ada. Dengan demikian, antara ruh, jasad, nafs, qalb dan aql memiliki keterkaitan yang sangat erat. Ketika kesemuanya secara serasi menuju memiliki keterkaitan yang sangat erat. Ketika kesemuanya secara serasi menuju ke Yang Transenden, maka keharmonisan individu akan tercermin sebagai individu yang paripurna.





==========000Bilaurain000=========

Senin, 14 Juni 2010

DZIKIR; MENUJU YANG HAKIKI

MUQADDIMAH
Dimana-mana orang-orang berdzikir. Berbagai nama dan bentuk kegiatan berdzikir di-laksanakan. Bahkan akhir-akhir ini kegiatan berdzikir banyak ditayangkan di televisi. Feno-mena ini menunjukkan bahwa dzikir memiliki posisi penting di hati umat Islam. Suatu kesadaran bahwa segenap aktifitas kehidupan haruslah dibarengi dengan dzikir.
Dzikir adalah inti ibadah, merupakan bagian penting dari segenap aspek religiusitas yang memberikan dampak bagi umat. Berbagai fakta dan pendapat para ulama' dan ilmuwan menunjukkan bahwa kondisi religiusitas seseorang sangat berpengaruh terhadap kehidupannya, baik psikis maupun fisis. Bahkan PBB (WHO) secara tegas merekomendasikan bahwa dimensi psiritual setara dengan dimensi fisik, psikologik dan sosial. Dimensi spiritual merupakan aspek penting dalam rangka membentuk manusia modern.

DZIKIR; SIAPA DIRI KITA?
Dzikir adalah mengingat Allah SWT, Rabb al 'Izzati. Untuk bisa mengingat Allah SWT maka harus mengenal-Nya. Untuk bisa mengenal-Nya maka kita harus mengenal siapa diri kita. Artinya, dzikir berarti menyadari siapa diri kita, untuk selanjutnya mengenal-Nya, mengingat-Nya bahkan "berhadapan" dengan-Nya.
Lalu siapakah diri kita? Marilah kita lihat diri kita, seberapa besar diri kita, seberapa pandai diri kita, seberapa hebat diri kita, apa yang kita punyai, apa yang kita banggai. Kita amati diri kita dari luar melalui dunia makro kosmos. Mula-mula dari jarak 1 meter. Lalu semakin menjauh, 10 meter, 101 meter, sebesar apa diri kita. Semakin menjauh, 102 meter, 103 meter, 104 meter. Semua tentang kita telah lenyap, bahkan tempat kita berada-pun terlihat seperti titik yang sangat kecil diantara gugusan pulau-pulau. Semakin menjauh, 105 meter, 106 meter, 107 meter, 108 meter dan seterusnya kita semakin menjauh, melampaui batas ukuran tahun cahaya. Kita hanya bisa melihat planet kita, kemudian kita hanya melihat tata surya kita, kita hanya melihat berjuta-juta tata surya, pada akhirnya kita tinggalkan galaksi kita, kita lihat galaksi tempat kita berada, lalu semakin menjauh, kita hanya melihat gugusan galaksi-galaksi, sampai batas kemampuan akhir kita. Pada akhirnya kita hanya bisa bersujud di tengah-tengah jagad raya ciptaan-Nya, dunia makro kosmos yang begitu teratur dalam penciptaannya. Sehingga kita hanya mampu berucap:
"Ya Allah, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia".
Dalam ketakjuban atas segenap fenomena alam yang luar biasa tersebut, terucap kata-kata:
Maha Suci engkau, Ya Allah
Segala puji hanya bagi-Mu semata, Ya Allah
Ya Allah, Engkau Maha Besar
Selanjutnya, pada diri kita akan muncul kesadaran tentang Ta'alluh Allah SWT (Kekuasaan-Nya yang mutlak dalam kepemilikan dan pengaturan seluruh makhluk). Kesadaran yang muncul teriring ucapan:
Tidak ada Tuhan selain Engkau,Ya Allah
Dia adalah wujud yang hak dan hakiki, sedang selain Dia, akan lenyap binasa. Ternyata, diri kita telah lenyap dalam ke-Agungan-Nya. Betapa Allah SWT telah menunjukkan ke-Agungan-Nya melalui ciptaan-Nya. Pada saat itu lenyap kesombongan kita, lenyap ke"AKU"an kita, yang ada hanya Allah SWT.

Kita amati diri kita kembali, ke dalam diri kita melalui dunia mikro kosmos. Mula-mula pada jarak 1 meter, terlihat tubuh kita keseluruhan. Kemudian semakin dekat, pada daging kita, tulang kita. Lalu semakin mendekat pada jarak 0 meter, 1/101 mikron, yang terlihat adalah bahwa tubuh kita merupakan jaringan-jaringan sel. Semakin jauh ke dalam, pada jarak 1/102 mikron, 1/103 mikron, 1/104 mikron, dan seterusnya. Kita temui bahwa diri kita tidak lebih hanya merupakan kumpulan molekul-molekul, lebih jauh lagi, hanya terlihat kumpulan atom-atom, semakin ke dalam lagi pada batas kemampuan mikroskop elektron kita, pada diri kita ternyata hanya terlihat kumpulan proton, elektron dan neutron. Lalu, apakah wujud itu adalah diri kita. Tentu tidak. Karena hanya sampai di sini kemampuan kita, para fisikawan-pun belum mampu menjelaskan apa sebenarnya diri kita dan apa yang membuat kita hidup. Sampai pada batas ini, kita hanya mampu tersungkur dan bersujud, sadar betapa kecilnya diri kita dan betapa besar ke-Agungan Allah SWT. Sekali lagi kita mengucapkan:
Maha Suci engkau, Ya Allah
Segala puji hanya bagi-Mu semata, Ya Allah
Ya Alah, Engkau Maha Besar

Dalam kesadaran terdalam kembali kita berucap:
Tidak ada Tuhan selain Engkau,Ya Allah


DZIKIR; MENUJU YANG HAKIKI
Ketika muncul kesadaran bahwa betapa diri kita tidak ada artinya, maka kita akan dengan suka rela melepaskan segenap dimensi lahiriyah kita. Sadar bahwa yang lahiriyah ternyata bukan diri kita yang sebenarnya. Yang lahiriyah hanyalah tempat kita, yang suatu saat pasti akan kita tinggalkan. Yang pada akhirnya harus kita pertanggungjawabkan penggunaannya di hari kemudian.
Akhirnya, dengan berdzikir, berarti kita berusaha melepaskan diri dari jeratan-jeratan dimensi lahiriyah kita. Kita sucikan hati dan pikiran kita dari segala hal yang bersifat lahiriyah. Kita lepaskan "nasut" kita, sifat lahiriyah kita, menuju "lahut", menuju ke-Ilahian. Bertemu dengan-Nya. Inilah tujuan hidup kita. Jika kita sucikan diri kita, maka kita akan bertemu dengan Yang Maha Suci.
Ketika diri kita telah berada pada puncak kesadaran di atas, maka saat itulah kita yakin bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa kita andalkan selain-Nya, keagungan-Nya, ke-Maha Kuasaan-Nya. Kita menghadap kepada-Nya tanpa ada sesuatupun yang menghalangi dan mengotori pikiran serta hati kita. Kepada-Nya kita hidup dan mengabdi, kepada-Nya kita meminta pertolongan, dan kepada-Nya kita akan kembali. Saat itu kita betul-betul berhadapan dan merasa dekat dengan-Nya, sehingga kita bisa berucap:
"Kepada-MU kami menyembah dan kepada-MU kami meminta pertolongan"
Kitapun berucap:
Tidak ada Tuhan selain ENGKAU, Ya Allah
Kalimat ini menuntut adanya suatu kesadaran yang tinggi bahwa kita tengah berdialog dengan-Nya, kita yakini bahwa Dia senantiasa mengawasi kita, dekat dengan kita.

DZIKIR; REORIENTASI TUJUAN HIDUP
Jika pada diri kita telah ada kesadaran tentang Ta'alluh Allah SWT, dan betapa bahwa diri kita dan segenap yang melekat pada diri kita adalah sesuatu yang tidak kekal, akankah kemudian kita meninggalkan seluruh aktifitas dan dimensi fisik kita? Meninggalkan kehidupan duniawi? Tidak!
Berdzikir berarti menyadari akan hakikat diri dan posisi kita yang sebenarnya. Yakni sebagai makhluk yang tiada daya, tiada kekal, hanya mengandalkan ke-Murahan-Nya. Makhluk yang diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya. Makhluk yang diciptakan untuk menjadi Khalifah di atas bumi-Nya. Inilah diri kita sebenarnya. Makhluk yang menyadari hakikat dirinya, tujuan dirinya, melaksanakan tugas-tugas duniawiyah tanpa harus terjebak dalam keduniawian tersebut.
Sebenarnya diri kita bernama "abdullah". Sedangkan dunia kita, jabatan kita, kekayaan kita, profesi kita, keluarga kita, dan segala yang melekat dan menjadi identitas diri kita adalah peran-peran yang diberikan oleh Allah SWT semata. Peran yang harus kita jalani sebagai wujud pengabdian kepada-Nya, tanpa melupakan bahwa diri kita sebenarnya adalah "abdullah". Menjadi aktor yang tidak lupa akan dirinya yang sebenarnya, aktor yang tidak terseret pada peran yang dimainkannya.
Jika demikian kesadaran kita, maka kita membutuhkan teladan sebagai pijakan dalam segenap aktifitas kita, Rasulullah SAW. Pada diri Rasul terdapat keseimbangan yang serasi antara kehidupan ruhiyah dan jasadiyahnya, antara kehidupan ukhrowiyah dan duniawiyahnya. Pada dirinya terdapat kesadaran untuk senantiasa mengarahkan diri pada dimensi "lahut" dengan tetap menyadari adanya dimensi "nasut" tanpa harus terjebak di dalamnya.
Dengan kesadaran inilah kita mengucap:
Muhammad adalah utusan-Mu, Ya Allah. Muhammad adalah pembimbing umat manusia dalam menjalani kehidupan duniawi.
Dengan demikian, kehidupan yang kita jalani senantiasa berada pada jalur yang sebenarnya. Bukan jalur yang menyesatkan dan mengarahkan kita pada dimensi jasadiyah semata, dimensi duniawiyah semata. Bukan jalur yang menjerat diri kita sehingga kita tidak mampu keluar dari dimensi jasadiyah, dimensi yang nisbi dan tidak kekal, dimensi yang kosong.

PENUTUP
Dengan berdzikir kita menyadari hakekat diri kita. Dengan berdzikir kita menghadap kepada-Nya. Dengan berdzikir kita perbaiki kembali tujuan hidup yang sebenarnya.
Mungkin dalam setiap nafas dan detak jantung kita berdzikir. Mungkin dalam setiap tindakan kita berdzikir. Mungkin hanya pada setiap ibadah mahdzah kita berdzikir. Bahkan mungkin hanya pada waktu tertentu berdzikir. Bahkan mungkin hanya pada waktu malam menjelang tidur kita berdzikir. Dzikir, berarti belajar menjadi diri yang sebenarnya. Wallahu a'lam bi Ash-Shawaab

Jumat, 11 Juni 2010

KONSEP WAHDATU AL-WUJUD

Secara bahasa wahdatul wujud berarti: kesatuan wujud, unity of existence. Merupakan paham yang dibawa oleh Muhiddin Ibnu Arabi (560 H/1165 M - 638 H/1240 M). Paham ini merupakan kelanjutan dari paham lainnya yang terdahulu, karena memiliki dasar konsep filosofis yang sama, yaitu teori emanasi dalam proses penciptaan alam. Jika dihubungkan dengan konsep al-Hallaj dan yang lainnya, boleh dikatakan bahwa pemikiran Ibnu Arabi merupakan puncak konsep tasawuf falsafi yang paling sempurna. Perbedaannya adalah bahwa jika al-Hallaj menggunakan istilah lahut, maka diganti oleh Ibnu Arabi dengan istilah al-Haqq, sedangkan nasut diganti dengan istilah al-Khalq.
Sebagaimana uraian Ibnu Arabi dalam kitab-kitabnya, maka yang pertama-tama harus dipahami dalam konsep Wahdatul Wujud ini adalah bahwa pada mulanya keberadaan Tuhan adalah dalam kesendiriannya yang mutlak. Tidak dikenal dan tidak mempunyai sifat. Keadaan ini disebut “’ama”atau “ahadiat” . Selanjutnya, sebagaimana dijelaskan pula oleh Ibnu Arabi dalam kitab al-futuhat al-Makkiyah, Allah adalah Dzat Yang Awal. Keberadaan yang tidak disebabkan oleh suatu apapun.Tidak ada sesuatupun yang awalbersama-Nya, Dia adal dengan sendiri-Nya, tidak membutuhkan sesuatu apapun selain Dia. Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak berhajat pada alam semesta . Kemudian ia berada dalam keadaan-Nya yang potensialagar dapat terlihat oleh diri-Nya sendiri. Keadaan ini disebut “huwiyyah”. Barulah Ia ingin dikenal dan bertajalli kepada makhluk-Nya dengan menciptakan alam. Keinginan Tuhan untuk dapat melihat dirinya dan agardapat dikenali melalui ciptaan-Nya didasarkan pada Hadits Qudsi: Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk dan merekapun kenal pada-Ku melalui diri-Ku . Dikatakannya juga bahwa adapun yang pertama sekali wujud dari Nur Ilahi ini adalah Nur Muhammad atau Haqiqah Muhammad. Dari padanyalah terbitnya alam ini .
Selanjutnya, dalam proses penciptaan alam semesta ini, sebagaimana dijelaskan Ibnu Arabi dalam Kitab Fusus al-Hikam, melalui tahapan-tahapan yang bisa disimpulkan sebagai berikut:
a. Wujud Tuhan sebagai Wujud Mutlak, yaitu Dzat yang mandiri tanpa disebabkan/ berhajat wujud-Nya kepada sesuatu apapun.
b. Wujud al-Haqiqah al-Muhammad, sebagai emanasi pertama dari Wujud Tuhan, dan dari padanya melimpah wujud-wujud lainnya.
c. Wujud al-‘ayan al-Sabitah (wujud yang ada pada ilmu Tuhan) yang disebut ‘Alam Ma’ani.
d. Realitas-realitas ruhaniah (wujud-wujud ruhani) yang disebut alam arwah.
e. Realitas-realitas an-Nafsityah (wujud-wujud jiwa) yang disebut alam al-Nafs al-Natiqah.
f. Wujud-wujud jasad materi yang disebut dengan ‘Alam al-Misal.
g. Wujud-wujud jasad bermateri yang disebut dengan ‘alam al-Jism al-Madliyah atau ‘Alam al-Syahadah atau ‘Alam al-Hissi .
Secara lebih jelas lihat skema V.
Dari uraian di atas, maka bisa dikatakan bahwa Muhammad SAW adalah prototype alam semesta dan manusia, bahwa Nur Muhammad merupakan cermin alam secara keseluruhan yang masing-masing dapat melihat yang lain. Nur Muhammad merupakan sesuatu yang memancar dari Tuhan sebagai cerminan kesempurnaan-Nya sehingga Ia dapat menampakkan diri . Itulah sebabnya esensi alam ini adalah Tuhan, sedanglahirnya berupa materi hanyalah bayang-bayang, yang sebenarnya tidak ada. Ibnu Arabi menyatakan, sesungguhnya para muqarrabin telah menetapkan bahwa tidak ada wujud yang sesungguhnya dalam alam ini, melainkan Allah. Dan kita meskipun ada, sesungguhnya adanya adalah dengan Dia. Sesuatu yang tergantung wujudnya pada-Nya, sebenarnya sesuatu itu dihukumkan tidak ada. Jadi, adanya makhluk hanyalah bayang-bayang bagi yang punya bayang-bayang dan merupakan gambar dalam cermin dimana wujud yang
diluar cermin jualah yang sebenarnya ada. Oleh karena itu makhluk seluruhnya hanyalah bayang-bayang belaka.
Pendapatnya ini tampak dalam sya’irnya:
Wujud yang hakiki hanyalah wujud Allah, sedangkan wujud makhluk hanyalah bayag-bayang dari yang punya bayag-bayang (Tuhan) atau gambaran dari kaca yang mengaca.
Maka makhluk adalah baying-bayang sedangkan al-Haqq adalah Yang Maha Suci dan makhluk adalah tiruan .

Lebih jauh dikatakan oleh Ibnu Arabi:
Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin, ia menjadi banyak

Senada dengan hal ini adalah ucapan Parmenides
Yang ada itu satu, yangbanyak itu tak ada. Yang kelihatan banyak dengan panca indera adalah ilusi .

Dikatakan juga oleh Ibnu Arabi:
Wahai Pencipta segala sesuatu dalam diri-Mu. Pada-Mu terhimpun segala yang Engkau jadikan. Engkau ciptakan apapun yang ada dengan tak terbatas dalam diri-Mu. Sebab Engkau adalah yang unik meliputi seluruhnya .

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa teori emanasi dalam proses penciptaan alam telah mengisi dan mendasari system pemikiran Ibnu Arabi, yang menjelaskan bahwa alam ini bersumber dari yang satu, Tuhan. Dalam hal ini nampaknya Ibnu Arabi berusaha menolak adanya teori filsafat yang mengatakan bahwa alam ini berasal dari tiada kepada ada (creatio ex nihilo) sebagaimana pendapat Gorgias. Lebih lanjut, dikatakan oleh Ibnu Arabi, bahwa tidak ada wujud kecuali wujud yang satu (Tuhan). Dengan kata lain tidaklah alam ini dalam bentuknya yang beraneka ragam ini melainkan manifestasi wujud Allah Ta’ala. Dan manifestasi yang paling sempurna adalah Nur Muhammad yang merupakan wujud pertama yang kemudian tercermin sebagai wujud manusia, sebagai Nabi Muhammad yang merupakan Insan Kamil. .
Menurut Ibnu Arabi, manusia harus bisa mencapai derajat Insan Kamil yang merupakan wujud dasarnya. Hal ini bisa dilakukan melalui jalan sebagai berikut:
a. Fana’, yaitu sirna di dalam wujud Tuhan sehingga sang sufi menjadi satu dengan-Nya.
b. Baqa’, yaitu kelanjutan wujud bersama Tuhan sehingga dalam padanya, wujud Tuhanlah pada kesegalaan ini .
Dengan kata lain, seorang sufi bisa mencapai derajat Insan Kamil (sebagai hakekat diri yang sebenarnya) jika benar-benar telah membersihkan dirinya, sehingga yang nampak dalam dirinya adalah aspek al-Haqqnya. Di sini ia telah merasa keluar dari aspek al-Khalqnya. Dalam keadaan demikian ia dapat menjadi penampakan lahir asma Allah SWT, af’al (perbuatan) Allah SWT, dan sifat Allah SWT, bahkan lebih jauh lagi, akan menjadi nampakan lahir wujud Allah SWT .
Namun dalam kenyataan ini, Prof. HA. Rivay Siregar menegaskan bahwa yang dimaksud penyatuan adalah suatu keadaan “bangunnya”jiwa particular serta sadar akan penyatuan yang pada hakekatnya telah ada diantara jiwa particular dengan jiwa universal itu. Sehingga tujuan akhir dari pengalaman mistis dan sasaran akhir dari usaha-usahanya bukanlah untuk menjadi satu dengan Tuhan – karena ia benar-benar telah bersatu, tetapi adalah untuk menyadari makna penyatuan itu. Dari penegasan ini terlihat bahwa manusia tidak pernah menjadi Tuhan dan tidak ada manusia Tuhan. Dengan demikian, maka pengetahuan sufi yang diperoleh melalui pengahayatan esoteris, bukanlah dimaksudkan dalam pengertian riil, tetapi muncul langsung dari jiwa particular itu sendiri . Di sinilah dipahami bahwa Wahdatul Wujud bukanlah penyatuan dalam arti riil/jasmaniah atau universal, tapi particular semata.

KONSEP ISYRAQ

Konsep tasawuf falsafi yang paling orisinil diantara konsep-konsep yang lain adalah al-Isyraq ini. Paham ini dimunculkan dan dikembangkan oleh al-Suhrawardi yang memiliki nama lengkap Abu al-Futuh Yahya bin Habsyi bin Amrak, bergelar syihabuddin, dikenal juga dengan sebutan al-Hakim, yang terlahir di Suhrawad pada tahun 549 H. Kehidupannya digunakan untuk mengembara menuntut berbagai ilmu; Fiqh, Teologi, Ilmu Hikmah, Filsafat Yunani, Filsafat India dan Persia, dan sebagainya. Dihukum mati oleh Salahuddin Al-Ayubi pada tahun 587 H/1191 M, akibat rasa iri dan dengki sebagian orang ketika melihat kemampuannya dan kedekatannya dengan putra mahkota, al-Zahir, serta kekhawatiran dia akan mempengaruhi akidah sang putra mahkota .
Isyraq berarti bersinar atau memancarkan cahaya dan nampaknya searti dengan al-Kasyf. Tetapi nampaknya, jika dilihat dari ajarannya maka akan lebih tepat jika diartikan penyinaran atau illuminasi. Corak perenungan yang dikombinasikan dengan pemikiran spekulatif ini, merupakan gabungan dari tasawuf dan filsafat dari berbagai aliran, yang kesemua ajarannya seperti tertera pada kitab Hikmatu al-Isyraq .
Paham isyraq ini menyatakan, bahwa alam ini diciptakan melalui penyinaran atau illuminasi. Kosmos ini terdiri dari susunan bertingkat-tingkat berupa pancaran cahaya. Sedangkan cahaya yang paling tinggi dan sebagai sumber dari segala cahaya itu dinamakan Nurul Anwar atau Nurul ‘A’dzam dan inilah Tuhan yang Azali. Cahaya ini memancar dengan sedemikian terangnya yang disebut Nurul Qahir. Setelah cahaya ini terlepas menjadi cahaya sendiri, maka terjadilah proses saling memandang, dimana sumber cahaya ke dua ini merasa gelap jika dibandingkan dengan sumber cahaya pertama. Dari proses saling memandang ini, maka pada pertemuan cahayanya memunculkan energi, maka muncullah materi pertama atau barzakhul awal. Selanjutnya melalui proses yang sama maka terbentuklah cahaya-cahaya lain yang lebih redup, namun tetap berada dalam limpahan daya dari Nurul Anwar. Maka dalam hal ini, Nurul Anwar merupakan penggerak dan pengausa . Jadi dasar filsafat ajaran Isyraq adalah, bahwa Allah adalah cahaya di atas cahaya dan sumber dari segala yang ada. Dari Nur Allah itulah keluar nur-nur lain, yaitu tiang-tiang alam jasmani dan alam ruhani . Secara lebih jelas bisa dilihat pada Skema III.
Dari uraian tersebut jelas sekali nampak bahwa al-suhrawardi sangat terpengaruh oleh berbagai ilmu dan pemikiran filosofis yang telah dipelajarinya. Lebih jelasnya, bahwa konsep Isyraq tidak lepas dari kecenderungan pada aliran “Phytagorean-Platonis”, duz ajaran nabi-nabi terdahulu, tradisi Hermenetis, bahkan dari ajaran Zoroaster. Bahkan dikatakannya, bahwa konsepnya sangat universal dan bahkan ilmu ini telah memiliki juru bicaranya sendiri, semisal: Plato, Hermes, Empedocles, Phytagoras, Agathadaimon, Ascelpius, Aristoteles dan lain-lain di barat; serta Jamasp, Farashaustra, Buzujumhr, Zoroaster, dan lain-lain di Timur. Ia mengakui bahwa konsep yang didapatkannya diperoleh melalui “penglihatan spiritual” dan praktek “jalan mistik” , yakni jalan iluminasi (isyraq). Meskipun ada perbedaan-perbedaan ungkapan atau metode penguraian, namun bijaksanawan-bijaksanawan di atas telah memberikan andil yang cukup besar dalam membuahkan kebijakan universal dan perennial, yang mulanya diwahyukan kepada Hermes (menurut sumber Muslim disebut Idris atau Nuh), yang berkesinambungan pada al-Bustami, al-Hallaj dan memuncak dalam al-Suhrawardi sendiri . Dengan demikian, konsep yang disampaikan oleh al-Suhrawardi merupakan penggabungan dari berbagai pemikiran filosofis yang ada.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa al-Suhrawardi berusaha melakukan kompromi pemikiran terhadap kenyataan adanya berbegai pemikiran filosofis yang ada dikombinasikan dengan ajaran Islam, sehingga yang dihasilkan adalah konsep pemikiran ontologis-filosofis yang paling logis dan universal. Dikatakannya, paham isyraq ini tidak sama dengan ajaran kaum filosof, mutakallimin ataupun sufi itu sendiri, meskipun memiliki tujuan yang sama yaitu mencari cahaya dari segala cahaya, yaitu Allah SWT. Kesemuanya memiliki jalan atau cara yang berbeda-beda. Filosof, lebih mementingkan akal semata dengan tidak mementingkan kepercayaan. Mutakallimin, disamping mempergunakan akal, juga mempertimbangkan ajaran agama. Sufi, hanya mementingkan perasaan dengan menakwilkan nash-nash yang tidak sesuai dengan perasaan (dzauq) sufistik. Sedangkan kaum isyraq tidak hanya mementingkan perasaan tapi juga menolak segala yang bertentangan dengan nash yang shahih dengan mempertimbangkan rohani dan akal . Dengan demikian, al-Suhrawardi berusaha untuk mengatakan bahwa konsep tasawufnya berbeda dengan ajaran-ajaran atau konsep pemikiran yang lain.
Selanjutnya dikatakan oleh al-Suhrawardi, berkaitan dengan proses illuminasi tersebut, maka adalah kenyataan bahwa manusia juga berasal dari Nurul Anwar, sehingga hubungan manusia dengan Tuhan merupakan hubungan bolak-balik. Namun demikian, manusia yang terjadi dari pletikan cahaya ini harus bisa kembali ke asalnya. Hal ini bisa dilakukan melalui beberapa proses tingkatan, yaitu:
1. La Ilaha Illallah; harus ada ikrar dengan lidah dan pengakuan dalam hati bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Jadi orang itu harus beriman terlebih dahulu.
2. La Ilaha Illa Huwa; hanya Allah yang berhak disebut Dia. Yang sungguh-sungguh ada hanya Allah SWT. Sedangkan yang selain-Nya hanyalah cahaya dari Yang Ada (Allah SWT).
4. La Ilaha Illa Anta; hanya Allah yang berhak disebut disebut Engkau. Pada term Anta (Engkau) dalam kalimat ini, menunjukkan bahwa pada saat yang demikian sudah terjadi syuhud dalam posisi saling berhadapan sehingga terbuka dialog antara manusia dengan Tuhannya.
5. La Ilaha Illa Ana; hanya Allah yang disebut Aku. Hal ini berarti bahwa pada fase ini yang memiliki personality atau syakhsyiyah hanya Dia Allah. Sedangkan akunya manusia lebur dalam kesadaran fana’, tidak ada jarak antara manusia dengan Tuhan, sehingga yang terjadi adalah percakapan monolog.
6. Kullu Syai’in Halikun Illa Wajhahu; selain Allah sudah lebur (fana’) dan yang tinggal abadi hanya Dia. Karena manusia sudah fana’ fillah, maka dia memasuki alam Ilahiyah sehingga kekal bersama Dia. Pada fase inilah terjadi kesatuan wujud, karena segala sesuatu telah fana’, mengalir kepada asalnya yaitu Nurul Anwar .
Konsep ini secara lebih jelas bisa dilihat pada Skema IV.
Semua tingkatan tersebut harus dilalui dengan latihan yang keras sampai pada tingkat kemampuan untuk mengidentifikasi eksistensi dirinya dengan Nurul Anwar. Melalui riyadloh dan mujahadah (latihan dan sungguh-sungguh) potensi ragawi akan melemah dan sirna (fana’) sedangkan ruhani menguat seiring jiwa yang meningkat kemampuan rasanya sehingga cahaya dirinya mampu bergabung kembali dengan asalnya, Nurul Anwar.

KONSEP HULUL

Ajaran Hulul dikembangkan oleh Husain bin Mansur al-Hallaj (244-309 H). Beliau adalah tokoh yang paling kontriversial di dalam sejarah tasawuf yang akhirnya menemui ajalnya di tiang gantungan . Doktrin Hulul adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan lanjut dari al-ittihad. Keduanya memiliki persamaan, yaitu bahwa segala sesuatu pada hakekatnya adalah satu, Yang Hakiki. Adapun perbedaanya, jika dalam Ittihad manusia naik menyatu dengan Ilahi, maka dalam Hulul ini Tuhan turun dan mengambil tempat dalam diri manusia.
Al-Hulul memiliki pengertian bahwa Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat kemanusiaannya melalui fana dan ekstase . Menurut al-Hallaj, manusia memiliki sifat ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut), demikian juga dengan Allah. Hal ini didasarkan kepada peristiwa yang digambarkan dalam al-Qur’an tentang proses penciptaan Adam as, dimana Malaikat dan Iblis disuruh Allah untuk bersujud kepada Adam (Q.S. Al-Baqarah 34). Al-Hallaj berpendapat bahwa sebab keduanya disuruh bersujud adalah karena pada diri Adam as terdapat bentuk yang disebut lahut, artinya Adam as adalah Allah SWT . Pemahaman ini juga didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim dan Ibnu Hanbal yang berarti “Sesungguhnya Allah SWT menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya” .
Diungkapkan oleh Harun Nasution, sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri ( ). Dalam kesendirian-Nya itu, terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dialog yang didalamnya tak terdapat kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian Dzat-Nya ( ). Allah melihat Dzat-Nya dan Ia-pun cinta pada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tidak bisa disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab yang banyak ini. Ia-pun mengeluarkan dari yang tiada (ex nihilo) bentuk (kopi) dari diri-Nya ( ) yang mempunyai segala sifat dan nama-Nya. Bentuk (kopi) itu adalah Adam (melalui proses emanasi dalam berbagai tahap/tingkatan yang akan diuraikan lebih lanjut – pen.). Setelah menjadikan Adam dengan cara ini, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam ( ). Pada diri Adamlah Allah muncul dalam bentuknya ( ). .
Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat ketuhanan (lahut), demikian sebaliknya, pada diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Adam pada kenyataannya adalah Dia. Teori ini memberikan asumsi bahwa al-Hallaj telah terpengaruh oleh dogma Kristen tentang inkarnasi, semakin terbukti ketika al-Hallaj menggunakan istilah lahut “devine nature” dan nasut “human nature”, walaupun teori al-Hallaj ini nampak lebih kompleks untuk dikatakan sama .
Konsep lain, yang merupakan perincian dari konsep pemaparan tentang kejadian Adam di atas, sebagaimana diungkapkan oleh Simuh adalah bahwa dalam persoalan terjadinya alam semesta melalui proses emanasi atau faidl (memancar, melimpah). Dalam hal ini, Abdul Hakim Hassan dalam kitab-Nya al-Tasawwuf fi al-Syi’ri al-‘arabi menyatakan sebagai berikut:
Al-Hallaj adalah orang yang mula-mula mengajarkan adanya Nur Muhammad, yaitu suatu konsep yang kemudian kadang disamakan dengan logos dan kadang pula disebut Insan Kamil (manusia sempurna). Al-Hallaj mengajarkan bahwa mula pertama yang diciptakan Allah SWT adalah Nur Muhammad, terciptanya segala apa yang ada (dalam alam semesta) ini. Dan Nur Muhammad ini bersifat Azali dan Qadim. Adanya mendahului segala maujud (alam semesta) ini. Maka Muhammad itu (dalam bentuk hakikinya) adalah Nur Allah, bersifat Azali dan Qadim mendahului setiap makhluk. Sedang kedudukannya sebagai Rosul Allah adalah manusia bersifat baharu, menjadi penutup segala Nabi. Diantara segala nur, tidak ada nurnya segala nur yang amat terang dan qadim selain Nur nya Muhammad yang adanya mendahului Adam dan namanya mendahului Kalam, lantaran wujud sebelum adanya segala makhluk.

Menurut al-Hallaj, sebagaimana diungkapkan oleh Hamka dalam buku Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, kejadian manusia terbentuk dari dua rupa. Pertama, rupanya yang Qadim dan Azali, yaitu dia telah terjadi sebelum terjadinya segala yang ada. Ke dua, ialah rupanya sebagai manusia, sebagai seorang nabi dan Rosul yang diutus Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan mengalami maut, tetapi rupanya yang Qadim akan tetap ada meliputi alam . Paham tentang Nur Muhammad ini berpangkal dari hadits yang sangat popular di kalangan sufi yaitu: Aku berasal dari cahaya Tuhan dan seluruh dunia berasal dari cahayaku
Dari uraian di atas, maka jelas bahwa paham al-Hallaj menjelaskan adanya immanensi Tuhan dalam diri manusia. Teori ini identik dengan emanasi untuk menjelaskan adanya pancaran Nur Ilahi yang berwujud alam semesta. Pada dasarnya manusia memiliki anasir keilahian yang immanen dalam dirinya., Dan orangyang mampu mengungkapkan sifat keilahian dari tabiat kemanusiaannya (nasutnya) berarti mencapai tingkat Insan Kamil atau Jadi Waliyullah yang suci.
Ajaran ini semakin tergambar jelas melalui sya’irnya:
Maha suci dzat yang sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang,
Kemudian kelihatan pada bentuk lahiriahnya pada wujud manusia yang makan dan minum

Agar manusia memahami kesadaran ini dan dapat bersatu dengan Tuhan, ia harus lebih dahulu menghilangkan sifat kemanusiaannya melalui fana’. Kala sifat-sifat kemanusiaan itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat ketuhanan dalam dirinya, disitulah Tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya, dan ketika itu keadaan adalah bahwa yang ada pada diri manusia adalah sifat-sifat ketuhanan. Sehingga dalam kesadarnnya manusia itu adalah Tuhan itu sendiri. Hal ini nyata dalam sya’irnya:
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci.
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.
Berikutnya ia berkata pula:
Aku adlah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh.
Jika engkau lihat aku engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami .

Dari ungkapan di atas jelas bahwa masih ada wujud manusia dan sama sekali tidak sirna atau hancur. Jadi hulul hanyalah sebuah figurative (penggambaran keadaan) bukan riil, karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam keadaan fana’dan dalam iradah Allah SWT . Atau dengan kata lain, sesuai dengan terminology yang dipergunakannya, hululnya lahut dengan nasut. Lebih lanjut digambarkan oleh al-Hallaj bahwa pada hulul terkandung kefana’an total, kehendak manusia dalam kehendak Ilahi, sehingga setiap tindakan manusia berasal dari kehendak Allah SWT. Manusia, menurutnya, “sebagaimana dia tidak memiliki asal tindakannya, begitu juga dia tidak memiliki tindakannya” . Karena segala sesuatu adalah dari Allah semata. Konsep bertasawuf Hulul ini secara lebih jelas bisa dilihat pada Skema II.
Tidak adanya penyatuan dalam arti riil ini lebih jelas sebagaimana dinyatakannya dalam sya’irnya:
Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, aku satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami .

Dengan demikian, sebagaimana halnya dengan Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj ketika menyatakan an al-haqq ( ) bukanlah ruh al-Hallaj yang mengucapkan hal itu, tetapi ruh Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya. Dalam suatu kesempatan, sebagaimana diungkapkan oleh at-Taftazani dalam buku Madkhal Ila al-Tasawwuf al-Islamy, al-Hallaj menyatakan:
Barangsiapa mengira bahwa lahut (ketuhanan) berpadu jadi satu dengan nasut (kemanusiaan) ataupun nasut berpadu dengan lahut, maka kafirlah dia. Sebab Allah mandiri dalam Dzat maupun Sifat-Sifat-Nya, berbeda dengan dzat dan sifat makhluk-Nya; dan merekapun sama sekali tidak menyerupai-Nya.
Dan katanya pula …
Seperti halnya nasutku lebur dalam lahut-Mu, tanpa berpadu dengan-Nya, Lahut-Mu menguasai nasutku, tanpa berpadu dengannya .

Di sini al-Hallaj secara tegas meniadakan segala macam bentuk dan unsur anthropomor-phisme, walaupun pada awalnya seolah ada kontradiksi pada pernyataan tentang hulul, di satu kesempatan seolah ada pernyataan tentang penyatuan tapi pada sisi lain dia menegasikan penyatuan itu. Akhirnya, adalah sangat tidak logis apabila seorang sufi yang sepanjang hidupnya merindukan dan mencari Tuhan, mengaku dirinya Tuhan.

KONSEP ITTIHAD

Ittihad secara bahasa berarti bergabung, menyatu; unity. Sebagaimana Fana’ dan Baqa’, Ittihad diperkenalkan oleh Abu Yazid Al-Busthami sebagai stage yang menyusul Fana’ dan Baqa’. Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan Fana’ dan Baqa’, maka pada saat itu ia telah menyatu dengan Tuhan; suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga bisa saling memanggil. Karena yang dilihat dan dirsaakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang dicintai atau antara sufi dan Tuhan, identitas telah hilang melebur dalam satu wujud dan karena fana’nya sehingga tidak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara dengan nama Tuhan .
Abu Yazid adalah pencinta sejati terhadap Tuhannya. Dia adalah seorang yang senantiasa berusaha mencari jalan untuk bisa selalu dekat kehadirat Allah SWT. Sampai suatu saat dia berkata:
Aku bermimpi melihat Tuhan. Akupun bertanya: Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu? Dia menjawab: Tinggalkan dirimu dan datanglah .

Maka selanjutnya, dengan fana’ Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi menghadap kehadirat Tuhan. Keadaan ini ditandai dengan syathahat yang diucapkannya ketika mencapai gerbang ittihad. Ucapan itu misalnya:
Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina,
Tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku, karena Engkau Raja Maha Kuasa .

Inilah ucapan Abu Yazid yang menggambarkan kegembiraan hatinya karena cinta Tuhan telah terlimpahkan pada dirinya, padahal dia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang hamba yang hina.
Lebih lanjut, Abu Yazid menggambarkan proses ittihadnya, sebagaimana diungkapkan Al-Thusi dalam kitab al-Luma’, dia berkata:
Pada suatu ketika saya dinaikkan kehadirat Allah seraya Ia berkata kepada saya, Hai Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihatmu. Aku menjawab, hiasilah aku dengan ke-Esaan-Mu, pakaikanlah aku sifat-sifat ke-dirian-Mu, dan angkatlah aku ke dalam ke-Esaan-Mu sehingga apabila makhluk-Mu melihat aku mereka akan berkata: “Kami telah melihat Engkau”. Tapi sebenarnya yang mereka lihat adalah Engkau karena sesungguhnya pada saat itu aku tidak berada di sana .

Lebih jelas dikatakan oleh Abu Yazid:
Tuhan berkata: Semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Äkupun berkata: Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.

Selanjutnya Abu Yazid berkata:
Percakapanpun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun berkata: Hai engkau. Aku dengan perantara-Nya menjawab: Hai Aku. Ia berkata: Engkaulah yang satu. Aku menjawab: Akulah yang sati. Ia berkata selanjutnya: Engkau adalah Engkau. Aku menjawab: Aku adalah Aku.

Namun dalam kesempatan lain setelah shalat Subuh, Abu Yazid berkata:
Sesungguhnya aku, Aku adalah Allah, Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku

Ia juga berkata:
Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku

Senada dengan hal tersebut, lebih lanjut Abu Yazid berkata:
Diceritakan, pernah seorang laki-laki dating ke rumah Abu Yazid seraya mengetok pintunya, Abu Yazid bertanya: Siapa yang engkau cari? Orang itu menjawab: Abu Yazid. Selanjutnya Abu Yazid berkata: Pergilah, dirumah ini tidak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.
Pada kesempatan lain dia berkata:
Yang ada dalam baju ini hanya Allah

Tentang ungkapan-ungkapannya tersebut di atas, Abu Yazid berkata:
Sebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya sedangkan saya sendiri dalam keadaan fana’ .

Dengan demikian, dari ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh Abu Yazid di atas, maka bisa disimpulkan bahwa dikarenakan kesadaran dan penglihatan kepada selain Dia telah musnah (fana) maka terjadilah penyatuan dirinya kepada Dzat Yang Maha Tinggi, suatu kesadaran bahwa tidak ada lagi yang lain dalam kenyataan ini selain Dia, bahkan dirinya adalah Dia. Namun, dia tidaklah mengakui bahwa dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.
Menurut Abu Yazid, pencapaian ittihadnya melalui latihan berat dan intensif selama bertahun-tahun, dalam hal ini dia berkata:
Dua belas tahun lamanya aku menjadi pandai besi bagi diriku. Kulemparkan diriku dalam rungku riyadlah (latihan). Kubakar dengan api mujahadah (perjuangan). Kuletakkan di atas alas penyesalan. Kupukul dengan martil pengutukan diri sehingga dapatlah kutempa sebuah cermin diriku sendiri. Lima tahun lamanya aku menjadi cermin diriku yang selalu kukilapkan dengan bermacam-macam ibadah dan ketakwaan. Setahun lamanya aku memandangi cermin diriku dengan penuh perhatian. Ternyata kulihat diriku terlilit sabuk takabbur, kecongkakan, ria, ketergantungan pada ketaan dan membanggakan amal-amal. Aku lalu beramal selama lima tahun sampai sabuk itu terputus dan aku memeluk Islam kembali. Kupandangi para makhluk dan kulihat mereka semua mati sehingga aku bertakbir empat kali untuk mereka dan aku kembali dari jenazah mereka semua. Aku sampai kepada Allah dengan pertolongan Allah sendiri tanpa perantara makhluk.

Dari ucapan Abu Yazid tersebut, bisa dipahami betapa keinginan yang kuat telah membawanya pada suatu kesadaran akan hakekat hidup dan tujuan hidup. Keinginannya tersebut telah terpenuhi melalui pertemuannya dengan Yang Hakiki dan Maha Tinggi. Itulah sebabnya, ketika seseorang bertanya tentang umurnya ia berkata: Umurku hanya empat tahun, aku telah tertabiri oleh dunia selama tujuh puluh tahun dan baru melihat-Nya selama empat tahun . Inilah gambaran perjuangan Abu Yazid dalam upayanya untuk mencari Yang Hakiki dalam hidup ini. Konsep Ittihad ini secara lebih jelas bisa dilihat pada Skema I.

TASAWWUF FALSAFI DAN KONTROVERSINYA

Tasawuf falsafi, sepanjang sejarahnya telah menimbulkan pro dan kontra, baik dilihat sebagai bagian dari tasawuf maupun sebagai ilmu tasawuf yang berdiri sendiri. Kontroversi ini berupa; Pertama, Tasawuf, konsep dasarnya secara umum yang menyatakan bahwa dunia ini fana’, cermin, unreal, appearance, kecenderungan pada sikap rasionalis-metafisis dan kasyf, dus menjadikan manusia cenderung bersikap apatis terhadap kehidupan, berusaha menghindar dari hal-hal duniawiyah, dan yang lebih parah lagi adalah kemandegan dalam kreatifitas berpikir, dijadikan sebagai kambing hitam atas kemunduran dunia Islam, terutama dalam dataran epistimologis . Kalau demikian, bukankah justru melalui tasawuf falsafi inilah manusia diasah pemikirannya agar memiliki ketajaman analitis dalam melihat sesuatu dengan tetap melandaskan pada moralitas ketuhanan yang tinggi. Dalam tasawuf falsafi yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk berpikir filosofis sebagai sarana untuk memahami konsep-konsepnya yang memang filosofis itu. Karena filsafat sebagai modal dasar ilmu pengetahuan tetap merupakan aspek penting dalam mendorong progresifitas pemikiran manusia menuju kemajuan ilmu pengetahuan. Maka dengan adanya tasawuf falsafi tidak akan ada ketakutan lagi terhadap pengaruh berfilsafat bagi keimanan seseorang. Berarti akan memunculkan manusia-manusia yang memiliki ketajaman berpikir dengan berlandaskan moral ketuhanan yang tinggi.
Kedua, di kalangan umat Islam sendiri, akibat adanya konsep tasawuf (terutama falsafi) seolah-olah tidak mementingkan syari’at agama, apalagi konsep al-Hallaj yang terkenal dengan Syuhud al-Adyan, misalnya, mendapat reaksi keras dari kalangan yang lain . Walaupun, bisa jadi dalam hal syari’at ini, karena begitu hati-hatinya kaum sufi falsafi dalam menanggapi setiap fenomena, agar tidak terjebak pada kemusyrikan, menjadikan pula perubahan pandangan terhadap syari’at agama. Syari’at adalah wahana untuk mencapai Tuhan. Namun kenyataannya, begitu banyak pergesekan-pergesekan yang terjadi di kalangan umat manusia, baik internal dalam suatu agama apalagi pergesekan antar agama, dimana mereka menjadikan syari’at sebagi berhala yang menjustifikasi kekerasan, demi keberlangsungan syari’atnya dan atas nama agama bahkan Tuhan mereka saling tikam, suatu fenomena yang jauh dari misi agama itu sendiri. Kalau demikian, apalah artinya agama jika ternyata malah menimbulkan pergesekan-pergesekan dan bahkan menimbulkan kerusakan. Karena pada dasarnya yang lebih utama adalah bagaimana menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis dengan tetap memiliki spirit ketuhanan.
Perbedaan pandangan ini telah memunculkan gap antara kaum sufi dengan sunni/syar’i. Di sinilah eksistensi al-Ghazali berada, dengan kemampuannya ia berusaha untuk melakukan perpaduan yang bersifat dialogis dan kompromistis antara sufisme dan sunni. Perpaduan antara berbagai aspek tatanan sufistik, metafisis dan moral yang didalamnya ia berusaha merujukkkan tasawuf kepada ajaran sunni . Kemampuannya dalam melakukan internalisasi moral pada konsep-konsep sufisme dan sunni menjadikannya sebagai al-Hujjat al-Islam, tokoh besar sepanjang sejarah.
Ketiga, kontroversi terhadap munculnya Tasawuf Falsafi dalam sejarah juga dikarenakan pada kesalahpahaman terhadap konsep yang ditawarkan para tokohnya, terutama pada kalimat-kalimat syathohatnya . Dus harus diakui pula bahwa para tokoh Tasawuf Falsafi adalah tokoh-tokoh yang cenderung secara politis menentang pemerintahan saat itu (terutama al-Hallaj), sehingga penolakan lebih dikarenakan hal politis dan kharisma . Fenomena ini nampak wajar, karena bagi manusia yang telah memiliki kesadaran ketuhanan yang tinggi, apapun terasa tidak ada artinya dan tidak ada ketakutan selain terhadap tuhannya. Sehingga sikap kritisnya dan pembelaannya terhadap kebenaran tidak akan mampu dibendung oleh siapapun dan apapun, baik ancaman, siksaan bahkan kematian .
Dari uraian kritis tersebut, maka bisa diambil beberapa hal sebagai berikut: Pertama, berpikir dan berfilsafat merupakan fitrah manusia, apalagi di era kemajuan ilmu pengetahuan saat ini yang sangat membutuhkan ke dua hal tersebut. Paradigma ketuhanan dan bertasawuf yang ditawarkan Tasawuf Falsafi merupakan alternatif yang bisa diterima pada umat yang memiliki kedalaman berfilsafat.
Kedua, yang perlu diambil dari ajaran Tasawuf Falsafi adalah pendekatan konseptual terhadap ketuhanan yang begitu rasional dan bisa disentuh oleh rasionalitas manusia. Serta metode bertasawufnya yang tinggi, yang mampu mengasah akal dan hati manusia, sehingga manusia mampu memiliki ketajaman akal dan hati yang luhur sehingga berimbas pada perilaku yang senantiasa dihiasi ketuhanan. Dengan demikian, jika hal ini mampu diterapkan di era saat ini, maka yang muncul adalah manusia-manusia yang memiliki perilaku yang senantiasa hatinya berhiaskan ketuhanan.
Ketiga, disamping juga sebagai upaya memperjuangkan nilai-nilai tauhid dalam setiap gerak dan dimensi kehidupan manusia dan memberikan alternatif “pelarian” umat manusia dari rutinitas kehidupan yang semakin kompleks permasalahannya. Dalam arti, bertasawuf yang bisa mencapai puncak pemikiran dan dzauq yang tinggi akan menghindarkan diri dari keterjebakan pada rutinitas duniawiyah dan sekaligus merupakan wahana menyegarkan akal dan hati dari kompleksitas permasalahan hidup. Dengan demikian, kaum sufi merupakan pendekar tauhid sejati, yang keberadaan pemikiran dan gerakannya tidak saja harus dipelajari sebagai historical scientific semata, tapi juga disikapi secara arif untuk diambil sebagai pelajaran yang sangat berharga dalam menghadapi berhala-berhala jahiliyah di abad modern ini. Betapa damainya dunia jika dipenuhi oleh manusia-manusia yang mabuk ketuhanan.
Keempat, konsep tasawuf falsafi jika digabungkan dengan tasawuf amali dan akhlaki, akan menghasilkan manusia-manusia yang memiliki ketinggian keimanan, kedalaman filsafat, dan keluhuran budi pekerti serta memiliki prinsip hidup yang kuat, baik sebagai Hamba maupun Khalifah Allah SWT.
Demikianlah, sebagai sebuah fakta sejarah eksistensi Tasawuf Falsafi merupakan fenomena yang sangat menarik, dan bahkan boleh dikatakan harus ada. Hal ini dikarenakan adanya modal dasar yang menjadi potensi munculnya pemikiran-pemikiran sufistik, baik internal maupun eksternal. Terutama sekali munculnya pemikiran filosofis, adalah suatu yang tidak terelakkan, baik dikarenakan asimilasi dan akulturasi maupun fitrah manusia yang memiliki potensi berpikir, sehingga keberadaan Tasawuf Falsafi terasa relevan dan wajar. Tinggal bagaimana secara bijaksana mampu diarahkan agar tetap dalam frame moral dan nilai ajaran Islam.

ANTARA FANA' DAN BAQA'

Secara bahasa, Fana’berarti hilang, hancur; disappear, annihilate, extinction. Sedangkan Baqa’ berarti tetap, terus hidup; subsistence, duration, to remain, persevere. Arti tersebut bisa dilihat dari beberapa paham-paham sufistik berikut:
- Jika kejahilan (ignorance) dari seseorang hilang, yang akan tinggal ialah pengetahuan
- Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan tinggal ialah takwanya
- Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak) yang buruk, tinggal baginya sifat-sifat yang baik
- Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya mempunyai sifat-sifat Tuhan.

Paham tersebut terdapat juga dalam At-Takhallaq bi akhlaq Allah (mempunyai akhlak Allah) .
Yang pertama kali menimbulkan faham Fana’ dan Baqa’ dalam tasawuf adalah Abu Yazid Al-Busthami (814 M –875 M). Pada perkembangannya yang awal, ada dua aliran Fana’, moderat yang diwakili Al-Junaid Al-Baghdadi (meninggal 910 M), disebut Fana’ Fi at-Tauhid. Yaitu kalau seseorang telah larut dalam ma’rifatullah dan ia tidak menyadari segala sesuatu selain Allah, maka ia telah fana’ dalam tauhid. Aliran ke dua, dipelopori oleh Abu Yazid Al-Busthami sendiri yang mengartikan Fana’ sebagai penyatuan dirinya dengan Tuhan .
Lebih jelas dikatakan oleh Abu Yazid, Fana’ adalah sirnanya segala sesuatu selain Allah dari pandangannya, dimana seorang sufi, tidak lagi menyaksikan kecuali hakekat yang satu, yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang disaksikannya . Fana’ dan Baqa’ ini merupakan stage untuk mencapai Ittihad dengan Tuhan. Dengan Fana’; ia meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, sedangkan dengan Baqa’; ia tetap bersama Tuhan . Gambaran ini semakin jelas melalui ungkapannya;
Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku Fana’
Kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup…

Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati;
Kemudian ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup…..
Aku berkata: gila pada diriku adalah kehancuran
dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup

Ibnu Arabi mendefinisikan Fana’ kepada dua pengertian, yakni:
a. Fana’ dalam pengertian mistis, yaitu “hilangnya” ketidaktahuan dan tinggallah pengetahuan sejati yang diperoleh melalui intuisi tentang kesatuan esensial keseluruhan itu.
b. Fana’ dalam pengertian metafisika, yang berarti “hilangnya’ bentuk-bentuk dunia fenomena dan berlangsungnya substansi universal yang satu, pada saat Tuhan memanifestasikan (tajalli) dirinya dalam bentuk lain
Di sisi lain, Al-Junaid mendefinisikan Fana’ sebagai berikut:
Hilangnya daya kesadaran Qalb dan hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indera

Sedangkan al-Qusyairi mendefinisikan sebagai berikut:
Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya terjadi karena hilangnya kesadaran seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya itu. Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya .

Bagaimanakah seorang sufi ketika dalam kondisi Fana’? Reynold A. Nicholson dalam The Mystic of Islam, mengatakan tentang tiga tingkat Fana’, yaitu:
1. A moral transformation of the soul through the extinction of all its passions and desires.
2. A mental abstraction or passing-away of the mind from all objects of perception, thought, actions, and feelings through its concentration upon the thought of God. Here the thought of God signifies contemplation of the divine attributes.
3. The cessation of all conscious thought. The highest stage of fana’ is reached when even the consciousness of having attained fana’ disappears. This is what the Sufis call “the passing-away of passing-away” (fana al-fana). The mystic is now raptin contemplation of the divine essence .

Secara kejiwaan (mental abstraction), dalam kondisi Fana’ dijelaskan sebagqai berikut:
Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifat pribadinya lantaran telah mengahayati sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah mulai menyaksikan keindahan Zat Allah; kemudian akhirnya lenyap kesadaran akan kefana’annya itu sendiri lantaran telah merasa lebur menyatu dalam wujud Allah .

Ibnu Arabi dalam Kitab Fushush al-Hikam, menggambarkan tingkatan Fana’ dalam tujuh proses pentahapan, yaitu:
a. Fana’an ma’ashi, meninggalkan dosa,
b. menjauhkan diri dari perbuatan apapun,
c. menjauhkan diri dari sifat-sifat dan kualitas-kualitas dari wujud-wujud kontingen, segala macam bentuk adalah kepunyaan Tuhan,
d. menyingkirkan personalitas dirinya sendiri,
e. mengabaikan dan menghentikan penglihatan terhadap aspek fenomena dunia, yang riil adalah hakekat fenomena,
f. kesadaran bahwa Tuhan itu sendiri yang melihat dan dilihat, dirinya bukan pelihat atau pemirsa,
g. kesadaran akan penghayatan esensi, semua adalah satu esensi
Lebih lanjut digambarkan oleh Ibrahim Basyuni, dalam proses Fana’ ada empat situasi getaran psikis yang dialami seorang sufi, secara singkat bisa dipaparkan disini, yaitu: al-sakr, yaitu situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya. Sathohat, yaitu dipahami sebagai suatu ucapan yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan sakr. Kemudian al-zawal al-hijab, diartikan sebagai kondisi bebas dari alam materi dan telah berada dalam alam ilahiyat sehingga getar jiwanya mampu menangkap cahaya dan suara Tuhan. Selanjutnya diikuti dengan ghalab al-syuhud, yang merupakan tingkatan kesempurnaan musyahadah, pada tingkatan mana ia lupa pada alam sekitarnya, yang ada dan dirasakan serta diingat hanya Allah semata . Inilah proses yang terjadi secara bertingkat sebagai wujud pencapaian pada Yang Hakiki.

Minggu, 23 Mei 2010

BALADA ANAK NEGERI II

Pagi itu …
Seorang anak berlarian ke sana kemari
berteriak, bersorak, memanggil-manggil teman-temannya
tangannya terkepal, menyembul tiang kecil berhias sang merah putih,
berkibar-kibar menentang angin kepagian,
berkibar-kibar berkilau diterpa sinar mentari keperakan
Merdeka!! Merdeka!! teriaknya!

Pagi itu …
Anak itu berlarian diterpa sinar mentari keperakan menentang embun kepagian
hatinya berbuncah penuh bahagia.
Semalam bapaknya bercerita, negeri ini telah merdeka.
Semalam bapaknya berbagi asa, hidup kan tiada lagi menderita.
Semalam bapaknya membelainya, “engkaulah masa depan bangsa”.

Pagi itu …
Anak itu masih merasakan belai bapaknya, masih merasakan asa bapaknya,
meski tiada jelas baginya, apa makna kata merdeka.

Pagi itu …
enam puluh tiga tahun kemudian …
Seorang anak berlarian ke sana kemari
Tangan mungilnya terkulai, genggaman tangannya terurai,
tiang kecil berhias merah putih, hampir luruh menyentuh bumi pertiwi.

Pagi itu …
Anak itu masih berlari ke sana kemari,
terus berlarian ke sana kemari,
dan terus berlarian ke sama kemari.
hatinya gundah, bingung, sedih tiada terperi.
Jerit di mulutnya sudah sepi, karena bibirnya pecah berdarah-darah
suaranyapun sirna, ditelan hiruk pikuk tingkah polah angkara
Air mata di pipinya sudah menepi, karena dakinya berebut menempel berdesak-desak
rona wajahnyapun sirna, ditelan duka pilu merana

Pagi itu …
Anak itu masih terus berlari ke sana kemari,
Lelah akhirnya bersimpuh, bersujud mencium tanah ibu pertiwi
sambil bersusah payah mengangkat tangan mungilnya, mengepalkan jemarinya,
berteriak… memekik… namun akhirnya hanya bisa berbisik, “merdeka”
demi cerita bapaknya dari bapaknya, bahwa merdeka masih di tangannya
demi asa bapaknya dari bapaknya, bahwa bahagia pasti kan teraih juga.
demi kehormatan bangsanya, merah putih harus tetap tegar mengangkasa.
Anak itu, pewaris sejati pahlawan bangsa.

El-Halimy
01.15 ---- 17 Agustus 2008
Mojokerto

BALADA ANAK NEGERI I

Di pematang itu .....
anak negeri ......
diantara rerimbunan padi yang menguning
bulirnya melengkung ujungnya hampir menyentuh tanah
butirnya bergelayut berayun diterpa angin yang berhembus penuh gairah
butirnya berisi melambai ingin dituai


Di pematang itu .....
anak negeri .....
di lembah hijau berhias kilauan butir embun
bermandikan hangatnya mentari jingga keperakan
sinarnya menyibak awan menyeruak lembut di sela hijaunya dedaunan
hadirkan sketsa alam penuh nuansa warna
indahnya merengkuh dalam buai

Di pematang itu .....
anak negeri .....
di tengah orkestra musik alam yang mengalun
racikan suara merdu tingkah kepodang
bertalu burung balam dalam sarang
beriring nada gemericik air di sungai kecil yang berkelokan
sahdunya nina bobokkan jiwa dalam damai

Namun di pematang itu ....
anak negeri .....
berjalan terseok, terpeleset, tertatih-tatih,
oleh licinnya alur pematang dan ringkihnya tapak-tapak kaki
berwajah penuh daki, menyembul urat nadi memerah di dahi,
belepotan lumpur tanah penuh lintah, darahnya merembes,
lintahnya gemuk menggemaskan
berbalut baju kumal, kainnya sobek berlubang tambal sulam
bangsatnya berkeliaran di sela lipatan, gatalnya tak terperikan

Namun di pematang itu …
anak negeri …
berlarian bingung kian kemari, laksana anak ayam ditinggal induknya
berlompatan mengerang kesakitan,
duri-duri tajam berserakan, satu dua, menghunjam sampai ke ulu hati,
sakitnya tiada terperikan.

Anak negeri ...... menderita di negeri sendiri
Anak negeri ...... menderita di jamrud khatulistiwa


El-Halimy
08.00 -- April 2006

BENDERAKU

Tapi bendera itu pernah bersimbah darah
Tapi bendera itu pernah berkibar memerah
Di ujung bambu runcing berteriak lantang membuncah
Di ujung kepalan tangan menghunjam setiap bedebah

Tapi bendera itu pernah memang membakar dada para pembela bangsa
Tapi pernah bendera itu berkibar mengangkasa raya
Tapi pernah bendera itu gagah menantang dunia
Tapi pernah bendera itu kokoh menggenggam jiwa bangsa
Tapi pernah bendera itu tegak membusung dada

Tapi bendera itu kini berkubang daki
terengah-engah digilas ego anak bangsa sendiri
Tapi bendera itu kini hampir tak berwarna lagi
terbilas aneka rupa warna yang bernama ambisi diri
Tapi bendera itu kini lunglai menggapai-gapai
terbenam lumpur keserakahan demi memperkaya diri
Tapi bendera itu kini kusut hampir tak berbentuk lagi
terinjak-injak kaki-kaki pongah yang lupa diri

Tapi,
Adakah bendera kan berkibar lagi
Akankah bendera kan tegak berdiri lagi
Di Tanganmu bendera itu kini menanti


El-Halimy
03.20 ---- 10 November 2008
Mojokerto

TERBANGLAH MERPATI-MERPATIKU

Jejaring bias sinar mentari pagi
menerobos sela hijau keemasan dedaunan
Menghela mutiara-mutiara embun pagi
memantul kaca-kaca aneka warna nuansa keperakan

Semilir bayu segar di ujung pagi
menyeka menyela dilembutnya kulit ari
menghantar rasa jiwa dalam nuansa damai sejati
menyapa asa-asa, yang membuncah menyapa diri

Hari demi hari kan berganti,
Masa kan datang dan masa kan pergi
Masa depan, digenggam erat jemari-jemari nurani
Masa depan, digapai kuat tangan-tangan bertaji

Kami di sini, bagimu yang kan pergi
Pergilah … terbang dan gapai tinggi cita citramu
Kami di sini, bagimu yang kan pergi
Kami di sini, bagimu yang kan tinggalkan kami

Terbanglah dan biarkan diri mengangkasa raya
gapai awan, gapai bintang, gapai cita citramu
meski kadang berpeluh-peluh, meski kadang berdarah-darah
meski kadang denyut melemah, meski kadang luka bernanah
Tapi hati harus satu jua, Tapi tekad harus membara jua
Demi cita dan citra diri

Kami di sini, bagimu yang kan pergi
bawalah kami dalam genggamanmu,
taburkan harum nama kami, tebarkan indah nama kami
untuk damai dunia, untuk damai semesta

Kami adalah engkau jua, engkau adalah kami jua
KITA …. Satu untuk sekolah kita
Biarkan seindah anggrek jingga
Biarkan seharum melati sejati




Kudedikasikan untuk putra-putra bangsa
Yang telah menyelesaikan studi di SMPN 1 Mojoanyar



El-Halimy, 18-05-2009
22:22

IBU

Ibu ….
Langkah kakimu masih setia menapaki jalan bebatuan
mendampingi langkahku, menempuh masa depan

Peluk erat lengan kasihmu masih setia menggenggam erat jemariku
membimbing gerakku, merajut jarring-jaring waktu

Tuah nasihatmu masih setia bisiki telingaku
mengarahkan jalan pikiranku, dalam menggapai cita-citaku

Sinar pandang kasihmu masih setia menerangi jiwaku
Menghibur hatiku, dalam setiap keputus asaan

Ibu ….
Tapak kakimu adalah jejak menuju surga dalam langkahku
Peluk erat jemarimu adalah panutan dalam setiap arahku
Tuah nasehatmu adalah bekal dalam setiap pemikiranku
Sinar kasihmu adalah lentera benderang dalam kegelapan hatiku

Ibu ….
Kaummu adalah pahlawan sejati
Di tanganmu tertumpu masa depan generasi bangsa ini
Di jiwamu ruh generasi bangsa tumbuh dan bersemi
Di lakumu arah gerak liku langkah kaki terpatri

Ibu ....
Kaummu adalah masa depan bangsa ini
Kaummu adalah hitam putih jiwa bangsa ini
Kaummu adalah kunci bahagia generasi bangsa ini
Kaummu adalah cikal bakal tunas bangsa ini

Ibu ....
Betapa mulia dirimu
Semoga tetap mulia dan bahagia dirimu
Semoga semakin mulia dan sentosa bangsamu

By: El-Halimy, 31 Desember 2009
Ujung Tahun, 23:59

SELAMAT JALAN GUS DUR

SELAMAT JALAN GUS DUR

Engkau Ulama’ besar,

Imam bagi umat Islam di seluruh negeri.

Kau tegas pisahkan kebenaran dengan kebatilan,

demi tegaknya syari’at sebagai pembawa kedamaian.

Kau kokoh junjung tinggi wawasan dan keilmuan,

demi sebuah pelajaran yang bernama kebijaksanaan.

Karena pengabdian, bagimu adalah sebuah kemulyaan.

Engkau Bapak Demokrasi,

Peletak dasar tonggak demokrasi di negeri ini.

Kau teguh merombak sentralisme,

demi tersebarnya kesempatan dalam kebersamaan

Kau kukuh runtuhkan kemapanan,

demi sebuah nilai yang bernama “keterbukaan”.

Karena pemerataan kesempatan, bagimu adalah sebuah landasan persatuan.

Engkau Bapak Pluralisme,

Pemersatu aneka warna dalam kebersamaan.

Kau bela kaum minoritas,

agar tetap tegar hadapi kehidupan.

Kau bela kebhinnekaan,

agar negeri tetap berhias aneka ragam warna kehidupan.

Karena perbedaan, bagimu adalah sebuah keniscayaan.

Engkau Bapak Bangsa,

Cermin tauladan berharga bagi anak-anak bangsa.

Kau genggam perjuangan,

meski nyawa jadi taruhan.

Kau tegak menentang ketidakadilan,

meski raga harus terabaikan.

Karena perjuangan, bagimu adalah sebuah kewajiban.

Kau tetap bersahaja,

meski mahkota menghias di kepala.

Kau tetap sederhana,

meski kemudahan hidup tersemat di seluruh raga.

Karena kemewahan, bagimu hanyalah sebuah keterpedayaan.

Engkau Pemimpin kami,

Engkau Pahlawan bangsa ini,

Kan kami ukir indah namamu,

dengan tinta emas di dada kami.

Kan ku teruskan perjuanganmu,

meski tetes darah menjejak di tapak kaki kami.

Demi sebuah nilai kemuliaan,

yang bernama demokrasi dan kesetaraan dalam keragaman.

Demi kemuliaan, harkat, dan martabat bangsa ini.

By: El-Halimy, 31 Desember 2009

Ujung Tahun, 23:59