Kamis, 26 Januari 2012

Pengertian dan Prinsip-Prinsip Bimbingan Psikologi Islami

Oleh: Nashruddin Hilmi, M.Pd.I.

Bimbingan psikologi Agama adalah suatu upaya memberikan bantuan pemecahan problema individu dengan melalui proses pencerahan batin lewat potensi keimanan yang semakin kuat berpengaruh dalam pribadi, sesuai dengan agama yang dianutnya. Secara khusus, bimbingan Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Bimbingan psikologi sebagai sebuah metode penyembuhan jiwa dengan keimanan ini harus berpusat pada berbagai kontribusi ilmu pengetahuan dan logika yang terdapat dalam al-Qur'an dan hadits Nabi. Karena keyakinan pribadi yang berupa iman merupakan faktor yang berfungsi sebagai kekuatan penyembuh terhadap penyakit rohaniah.
Definisi bimbingan psikologi Islami sendiri tidak bisa dilepaskan dari psikologi Islami sebagai landasannya, yaitu:
1) Psikologi Islami ialah ilmu yang mempelajari tentang manusia, terutama kepribadiannya, yang bersifat filosofis, teoritis, metodologis, dan pendekatan problematis dengan didasari sumber-sumber formal Islam (al-Qur'an dan Hadits).
2) Psikologi Islami iala konsep psikologi modern yang telah mengalami filterisasi dan di dalamnya terdapat wawasan Islam.
3) Psikologi Islami adalah perspektif Islam terhadap psikologi modern dengan membuah konsep-konsep yang tidak sesuai dengan Islam.
4) Psikologi Islami adalah ilmu tentang manusia yang kerangka konsepnya benar-benar dibangun dengan semangat Islam dan memenuhi syarat ilmiah.
5) Psikologi Islami ialah corak psikologi berlandaskan citra manusia menurut ajaran Islam, baik dalam interaksi pribadi, lingkugan sekitar, dan alam kerohanian, dengan tujuan meraih kesehatan mental dan kualitas keberagamaan.
Dengan demikian, dalam bimbingan psikologi Islami, dalam memandang manusia harus dikembalikan kepada pandangan Islam sendiri terhadap manusia, baik hakekat, kedudukan, maupun tujuan hidupnya. Artinya, dalam bimbingan psikologi Islami, pandangan tentang hakekat manusia merupakan landasan filosofis yang mendasari proses pelaksanaan bimbingan tersebut. Pandangan tentang hakekat manusia dalam bimbingan psikologi Islami tersebut, sebagaimana disebutkan Faqih, antara lain adalah bahwa:
1) Manusia merupakan makhluk monopluralis, yaitu jasmani dan rohani dengan segenap potensinya.
2) Manusia mempunyai empat fungsi, yaitu sebagai makhluk Allah SWT; sebagai makhluk individu; sebagai makhluk sosial; dan sebagai makhluk berbudaya.
3) Manusia memiliki sifat-sifat utama dan hawa nafsu
4) Manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
Adapun tujuan bimbingan Psikologi Islami adalah:
1. Hidup selaras dengan ketentuan Allah artinya sesuai dengan kodrat yang ditentukan Allah; sesuai dengan sunatullah; sesuai dengan hakekatnya sebagai makhluk Allah.
2. Hidup selaras dengan petunjuk Allah artinya sesuai dengan pedoman yang telah ditentukan Allah melalui Rasul-Nya (ajaran Islam).
3. Hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah berarti menyadari eksistensi diri sebagai makhluk Allah yang diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya; mengabdi dalam arti seluas-luasnya.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa bimbingan psikologi religius Islami merupakan bimbingan psikologi yang dalam pelaksanaannya berlandaskan pada prinsip-prinsip ajaran agama Islam dan berupaya mengarahkan jiwa manusia agar tetap dalam garis ketentuan-ketentuan agama Islam, sesuai dengan fitrahnya. Sehingga terbentuk jiwa yang perilakunya selaras dan sesuai dengan fitrah, hakekat, kedudukan dan tujuan hidup yang sebenarnya.
Secara khusus, Willis mengemukakan beberapa prinsip bimbingan konseling Islami, yaitu:
1) Memberikan kabar gembira dan kegairahan hidup
2) Melihat klien sebagai subyek dan hamba Allah
3) Menghargai klien tanpa syarat
4) Dialog Islami yang menyentuh
5) Keteladanan pribadi konselor.
Sementara Faqih, menyebutkan adanya beberapa azas yang harus dijadikan sebagai landasan berpijak dalam bimbingan dan konseling Islami, yaitu:
1) Azas kebahagiaan dunia dan akhirat; keseimbangan dalam memperhatikan terwujudnya individu yang bisa bahagia dunia dan akhirat.
2) Azas fitrah; memperhatikan, memahami dan menghayati fitrah kemanusiaan-nya dengan segenap potensi, kelebihan dan kelemahannya.
3) Azas "li Allah ta'ala"; bimbingan dan konseling dilaksanakan semata-mata karena Alla ta'ala, mencapai keridlaan-Nya.
4) Azas bimbingan seumur hidup; bimbingan yang bisa bermanfaat sepanjang hidup dan bisa dilaksanakan pada segenap lapisan usia manusia.
5) Azas kesatuan jasmaniah dan rohaniah; adanya perhatian yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani.
6) Azas keseimbangan roaniah; unsur daya pikir, daya rasa dan penghayatan, kehendak atau nafsu sebagai kodrat kemanusiaan harus diperhatikan secara seimbang dan terpenuhi dengan baik.
7) Azas kemaujudan individu; memandang individu dengan segenap eksistensinya, hak-haknya, keunikanya, kemerdekaannya, serta potensi fundamental rohaniahnya.
8) Azas sosialitas; memahami individu sebagai makhluk sosial yang memiliki rasa cinta kasih, kebutuhan rasa aman, penghargaan, rasa memiliki, dan sebagainya.
9) Azas kekhalifahan; memperhatikan dan menyadari kedudukan manusia sebagai khalifah, makhluk yang berbudaya, yang memelihara dan menjaga keseimbangan alam.
10) Azas keselarasan dan keadilan; memberikan kesadaran akan arti penting keselarasan, keadilan, hak-hak orang lain, hak alam semesta, dan juga hak Tuhan.
11) Azas pembinaan akhlak al-karimah; sifat-sifat yang baik merupakan sifat yang dikembangkan dalam bimbingan ini.
12) Azas kasih sayang; hanya dengan kasih sayang keberhasilan bimbingan bisa tercapai, karena kasih sayang bisa menundukkan banyak hal.
13) Azas saling menghargai dan menghormati; antara konselor dan konseli hanya berbeda fungsinya saja, keduanya saling menghormati sebagai makhluk Allah SWT.
14) Azas musyawarah; adanya dialog yang baik, satu sama lain tidak saling mendiktekan, tidak ada perasaan terteka.
15) Azas keahlian; bimbingan harus dilaksanakan oleh orang yang memiliki keahlian di bidang tersebut, serta memahami permasalahan dengan baik.
Dari uraian tersebut maka bisa disimpulkan bahwa bimbingan psikologi Islami merupakan bimbingan psikologi yang berlandaskan pada ajaran-ajaran agama Islam dengan memperhatikan hakekat kemanusiaan itu sendiri menurut pandangan ajaran Islam.

Kala Sang Kala Ditikam Peradaban


Tiada lelah melangkah,
kaki tangan kepala bergulat dengan tanah,
menyapa setiap sudut dan luang kesempatan,
mencari jati diri dan memuaskan dahaga,
demi sebuah eksistensi diri,
manusia
...
Mengukir setiap prestasi,
menjulangkan harga diri,
melesakkan ego diri,
meghempaskan setiap rival jalur pribadi,
manusia meretas jalan ambisi
...
bukan cuma bumi menjerit,
kulitnya dikelupas dirobek dan disakiti,
demi sebuah kepuasan meraih ambisi peradaban,
dan bahkan ...
Sang Kala pun ditikam dan seolah hendak dikalahkan,
manusia bergulat dengan waktu,
manusia bergumul dengan waktu
...
entah sampai kapan

SURYA DI UJUNG TITIAN


...
raja hari merapat,
lelah berkeringat di ujung barat,
setelah seharian mengusung asa semua ummat,
menyisir setiap sudut dan gelap memekat,
mewarnai setiap muka yang putih memucat,
raja hari ... sempoyongan dalam langkah melambat.
...
dalam langkah melambat di ujung nurani,
burung balam mengais di sela-sela akar padi,
di batang menguning kusam di bayu mengambang,
butirnya kosong bulirnya jarang-jarang,
entah sampai kapan ... raja hari dalam senyum mengembang.
...
dalam derap titian,
dalam desah kelelahan,
tiada henti menyambut asa,
entah di sisi terang, entah pula di kegelapan,
siang ... kini kan berganti malam.
...
diciptakannya untuk berpaku,
diciptakannya untuk melihat kalbu,
dihamparkannya untuk kedamaian,
dalam dekap-Nya di kedalaman.
...
Malam ... di depan pandangan.
Malam ... semoga menabur keberkahan.
Aamiin ...

El-Halimy, 161011; 15:20

Pengertian Bimbingan Psikologi; Bimbingan, Konseling dan Psikoterapi

Oleh: Nashruddin Hilmi, M.Pd.I.
Dalam dunia psikologi, dikenal istilah "bimbingan", "konseling" dan "psikoterapi" sebagai bentuk aktifitas pemberian bantuan psikologis kepada seorang individu yang memerlukannya. Dalam prakteknya, kata "bimbingan" sering dikaitkan dengan istilah "konseling". Keduanya bisa merupakan satu kesatuan istilah yang biasanya dilaksanakan di sekolah-sekolah, yaitu "Bimbingan dan Konseling (BK)". Meski sebenarnya bisa pula diterapkan di bidang-bidang kehidupan lainnya, seperti kedokteran, perusahaan dan industri, dan sebagainya.
Sementara istilah "konseling" sendiri tidak bisa dilepaskan dengan istilah "psikoterapi". Jika dilihat eksistensinya, konseling merupakan salah satu bantuan profesional yang sejajar dengan, misalnya, psikiatris, psikoterapi, kedokteran, dan penyuluhan sosial. Dilihat dari kedudukannya dalam proses keseluruhan bimbingan, guidance, konseling merupakan bagian integral, atau teknik andalan, bimbingan, yang lazim digabungkan menjadi "Bimbingan dan Konseling". Dengan demikian, antara bimbingan, konseling, dan psikoterapi memiliki keterkaitan yang sangat erat sebagai bagian dari aktifitas pemberian bantuan psikologis kepada seorang klien (individu). Sehingga dalam tesis ini, penggunaan istilah "Bimbingan Psikologi" adalah untuk mencakup ketiga istilah tersebut.

a) Bimbingan
Menurut Arthur J. Jones (1970), bimbingan adalah proses dimana pembimbing membantu si terbimbing sehingga terbimbing mampu membuat pilihan-pilihan, menyesuaikan diri, dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Di sini, pembimbing membantu individu agar dapat mengatasi masalah-masalah dengan memberikan alternatif yang tepat sesuai dengan keadaan dirinya; membantu memahami permasalahan dan sanggup menerimanya sebagai suatu kenyataan; membantu membukakan jalan yang bisa jadi tidak disadari oleh si terbimbing bahwa ada jalan yang bisa diambil; dan mensugesti si terbimbing agar memiliki kemauan menuju jalan pemecahan, yang bisa jadi karena tekanan emosional, kelelahan, stres, sehingga kemampuan dan kemauannya menjadi hilang. Sementara Peters dan Shertzer (1974) mengartikan, bahwa bimbingan merupakan proses bantuan terhadap individu agar ia memahami dirinya dan dunianya, sehingga dengan demikian ia dapat memanfaatkan potensi-potensinya.
Bimbingan merupakan upaya yang bersifat preventif, dapat dilakukan secara individual maupun kelompok, dan bisa dilakukan oleh para guru, pemimpin, ketua-ketua organisasi, dan sebagainya. Yang penting para pembimbing tersebut memiliki pengetahuan tentang psikologi, sosiologi, budaya, dan berbagai teknik bimbingan seperti dinamika kelompok, sosio-drama, teknik wawancara, dan sikap-sikap yang menghargai, ramah jujur, dan terbuka. Bimbingan bisa dilakukan oleh siapa saja yang berminat, asal mendapat pelatihan terlebih dahulu. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa bimbingan merupakan salah satu aktifitas bantuan psikologis yang masih bersifat umum dan memecahkan masalah-masalah kejiwaan individu yang belum bersifat serius dan mendalam.

b) Konseling
Konseling, kadang disebut penyuluhan, adalah suatu bentuk bantuan. Merupakan suatu proses pelayanan yang melibatkan kemampuan profesional pada pemberi layanan. Ia sekurang-kurangnya melibatkan pula orang kedua, penerima layanan, yaitu orang yang sebelumnya merasa ataupun nyata-nyata tidak dapat berbuat banyak dan setelah mendapat layanan menjadi dapat melakukan sesuatu. Para ahli mendefinisikan konseling sebagai suatu bantuan seseorang kepada orang lain. Adapun tujuannya, menurut English & English (1958), membantu orang lain agar memahami masalah dan apat memecahkannya dalam rangka penyesuaian diri. Sedang menurut Glen E. Smith (1955), adalah agar individu tersebut bisa melakukan pemilihan, perencanaan dan penyesuaian diri sesuai dengan kebutuhan. Sementara Milton E. Hahn (1955), adalah agar individu tersebut mampu memecahkan masalah yang dihadapinya.
Menurut Willis, konseling adalah upaya bantuan yang diberikan seorang pembimbing yang terlatih dan berpengalaman, terhadap individu-individu yang membutuhkannya, agar berkembang potensinya secara optimal, mampu mengatasi masalahnya, dan mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang selalu berubah. Menurutnya, dalam era global dan pembangunan saat ini, konseling bukan saja bersifat klinis-psikologis, tapi harus lebih menekankan pada pengembangan potensi individu yang terkandung didalam dirinya, baik intelektual, afektif, sosial, emosional, dan religius; menjadikannya sebagai individu yang akan berkembang dengan nuansa yang lebih bermakna, harmonis, sosial, dan bermanfaat. Dengan demikian, ada perubahan konsepsional antara pengertian konseling lama dengan konseling baru, dimana konseling bukan saja bersifat klinis, tapi juga bersifat preventif dan pengembangan individu.
Sementara Mohamad Surya, menyimpulkan beberapa prinsip dalam pengertian konseling, yaitu:
1. Konseling merupakan alat yang paling penting dalam keseluruhan program bimbingan.
2. Dalam konseling terlibat adanya pertalian dua orang individu yaitu konselor dan konseli, dimana konselor membantu konseli melalui serangkaian wawancara dalam serangkaian pertemuan.
3. Wawancara merupakan alat utama dalam keseluruhan kegiatan konseling.
4. Tujuan yang ingin dicapai dalam konseling adalah agar konseli:
a. memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap dirinya.
b. mengarahkan dirinya sesuai dengan potensi yang dimilikinya ke arah tingkat perkembangan yang optimal.
c. mampu memecahkan sendiri masalah yang dihadapinya.
d. mempunyai wawasan yang lebih realistis serta penerimaan yang obyektif tentang dirinya.
e. memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya dan dapat menyesuaikan diri secara lebih efektif baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan.
f. mencapai taraf aktualisasi diri sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
g. terhindar dari gejala-gejala kecemasan dan salah suai (maladjustment).
5. Konseling merupakan kegiatan profesional, artinya dilaksanakan oleh konselor yang telah memiliki kualifikasi profesional dalam pengetahuan, ketrampilan, pengalaman dan kualitas pribadinya.
6. Konseling merupakan suatu proses belajar yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fundamental dalam diri konseli terutama perubahan dalam sikap dan tindakan.
7. Tanggung jawab utama dalam pengambilan keputusan berada pada tangan konseli, dengan bantuan konselor.
8. Konseling lebih menyangkut masalah sikap dari pada tindakan.
9. Konseling lebih berkenaan dengan penghayatan emosional dari pada maslaah intelektual.
10. Konseling berlangsung dalam suatu situasi pertemuan yang sedemikian rupa.
Dari uraian tersebut, konseling memiliki fungsi yang sangat luas, bukan saja bersifat klinis, membantu klien mengatasi permasalahan yang dihadapi, tapi juga memberikan bantuan klien menjadi individu yang berkembang secara optimal.
Bila dibandingkan dengan bimbingan, konseling lebih membutuhkan landasan operasional bidang psikologi yang lebih mendalam. Namun dalam perkembangan selanjutnya, antara bimbingan dan konseling, sebagaimana Sofyan S. Willis yang pada mulanya menguraikan pengertian bimbingan dan konseling secara terpisah, menjadikannya sebagai satu kesatuan istilah, yaitu bimbingan dan konseling.
Perkembangan pemahaman konseling di atas sejalan dengan perkembangan konseling itu sendiri, dimana ruang lingkup konseling juga semakin luas, terlebih jika antara bimbingan dan konseling menjadi satu kesatuan istilah dan kegiatan. Bimbingan dan Konseling memiliki ruang lingkup yang sangat luas, yaitu: bidang vokasional (pekerjaan dan jabatan); bidang pendidikan; bidang kesehatan (psikoterapis, psikoanalitis, dan klinis); dan bidang keagamaan. Dengan demikian, bimbingan dan konseling memiliki peran yang penting dalam segenap bidang kehidupan saat ini.
Adapun tujua dari konseling, Prof. Rosjidan menyatakan adanya tiga kategori yang bisa dicatat dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan sebuah konseling. Tujuan khusus ini meliputi:
1) Merubah tingkah laku yang terganggu
2) Mempelajari tingkah laku yang terganggu, dan
3) Mencegah problem-problem .
Dalam pelaksanaannya, secara umum, teknik konseling meliputi: Penggunaan hubungan intim (rapport); Memperbaiki pemahaman diri; Pemberian nasehat dan perencanaan program kegiatan; dan Menunjukkan kepada petugas lain atau reeral bila dirasa tidak mampu menangani masalah klien .
Sedangkan menurut Willis, teknik konseling meliputi: 1) Perilaku attending; mencakup kontak mata, bahasa badan, dan bahasa lisan.2) Empati; merasakan apa yang dirasakan klien. 3) Refleksi; memantulkan kembali kepada klien tentang perasaan, pikiran dan pengalaman klie sebagai hasil pengamatan. 4) Eksplorasi; menggali perasaan, pengalaman, dan pikiran klien. 5) Menangkap pesan utama tentang perasaan, pengalaman, atau pikiran klien dan disampaikan kembali kepada klien. 6) Bertanya untuk membuka percakapan 7) Bertanya tertutup melalui sebuah pernyataan yang membutuhkan tanggapan. 8) Dorongan minimal; upaya konselor secara halus agar klien tetap terlibat dalam hubungan yang komunikatif. 9) Interpretasi perasaan, pengalaman, atau pikira klien berdasarkan teori-teori yang ada. 10) Mengarahkan agar klien tetap dalam situasi dan hubungan komunikasi yang ideal. 11) Menyimpulkan sementara secara periodik agar tahapan-tahapan bisa berkesinambungan. 12) Memimpin arah pembicaraan 13) Fokus pada permasalahan. 14) Konfrontasi; kemampuan konselor untuk bisa mengungkapkan adanya inkonsistensi dalam diri klien. 15) Menjernihkan ucapan klien yang samar-samar. 16) Memudahkan berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan dengan baik. 17) Diam sebagai fariasi komunikasi guna menumbuhkan pemusatan perhatian dan penekanan. 18) Mengambil inisiatif untuk bisa membuka, mencairkan, mendorong terciptanya komunikasi yang mandeg. 19) Memberi nasehat dengan mempertimbangkan aspek kemandirian klien 20) Pemberian informasi kemandirian klien untuk mencari informasi sendiri. 21) Merencanakan dengan cara membantu klien menyusun program untuk action. 22) Membantu klien menyimpulkan hasil sebuah pertemuan.

c) Psikoterapi
Secara terminologis psikoterapi berasal dari kata psiko dan terapi. Psiko artinya kejiwaan atau mental dan terapi adalah penyembuhan atau usada. Sedangkan pengertian umum psikoterapi adalah proses formal interaksi antara dua pihak atau lebih. Yang satu adalah profesional penolong dan yang lain adalah "petolong" (orang yang ditolong), interaksi ini menuju pada perubahan rasa, pikir, perilaku, kebiasaa yang ditimbulkan dengan adanya tindakan profesional penolong dengan latar belakang ilmu perilaku dan teknik-teknik usada yang dikembangkannya. Kegiatan psikoterapi ini harus dilandasi oleh data yang ditemukan selama proses wawancara atau interaksi . Dari definisi ini bisa diambil kesimpulan bahwa dalam psikoterapi dibutuhkan adanya profesionalisme serta tindakan-tindakan yang terprogram, formal serta dengan data-data yang lebih akurat dan teliti.
Adapun tujuan psikoterapi adalah:
1) Memperkuat motivasi untuk melakukan hal-hal yang benar.
2) Mengurangi tekanan emosi melalui kesempatan untuk mengekspresikan perasaan yang mendalam.
3) Membantu klien mengembangkan potensinya.
4) Mengubah kebiasaan.
5) Mengubah struktur kognitif individu.
6) Meningkatkan pengetahuan dan kapasitas untuk mengambil keputusan dengan tepat.
7) meningkatkan pengetahuan diri atau insight.
8) Meningkatkan hubungan antar pribadi.
9) Mengubah lingkungan sosial individu.
10) Mengubah proses somatik supaya mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kesadaran tubuh.
11) Mengubah status kesadaran untuk mengembangkan kesadaran, kontrol, dan kreatifitas diri .
Dengan demikian, tujuan psikoterapi jauh lebih spesifik, menyangkut permasalahan psikologis yang lebih mendalam dan lebih bersifat klinis-psikologis. Mengatasi gangguan mental yang telah mengganggu perilaku dan struktur fungsi dan organisasi fisik. Oleh karena itu, teknik-teknik psikoterapi lebih spesfik dan fokus pada pembedahan psikologis.

2. Bimbingan Konseling dan Psikoterapi; Persamaan dan Perbedaannya
Menurut Andi Mappiare, pada dasarnya tujuan-tujuan konseling dan psikoterapi adalah sama, yaitu eksplorasi-diri, pemahaman-diri, dan perubahan tindakan atau perilaku. Keduanya, lazim pula mencoba menghilangkan tingkah-laku merusak diri (self-defeating) pada klien. Baik psikoterapi maupun konseling memberikan penekanan pentingnya perkembangan dalam pembuatan keputusan dan ketrampilan dalam pembuatan rencana oleh klien. Pentingnya saling-hubungan antara klien dan psikoterapis ataupun konselor disepakati sebagai suatu bagian integral dalam proses psikoterapi maupun konseling. Jadi, inti dari konseling dan psikoterapi adalah bantuan kepada klien melalui hubungan yang bersifat positif dan membangun.
Sementara, meskipun Prawitasari membedakan antara konseling dan psikoterapi dalam masalah waktu, namun menurutnya, keduanya bisa dilakukan dalam waktu singkat. Sedangkan menurut Carl. R. Rogers, antara konseling dan psikoterapi pada hakekat dan tujuannya adalah sama. Perbedaannya hanya terletak pada intensitas bantuan yang perlu diberikan. Pada tingkat terakhir dari keduanya juga akan bertemu dalam proses konseling intensif karena pada tingkat ini menggunakan pendekatan client-centered yang bersifat non-direktif, yang menjadi metode pokok dari psikoterapi. Dengan demikian, sebenarnya letak dari posisi keduanya, dimana psikoterapi merupakan kelanjutan dari konseling.
Senada dengan hal tersebut, Corsini (1989), membedakannya bukan secara kualitatif, tetapi sebagai perbedaan secara kuantitatif. Keduanya dapat terjadi secara bersamaan, bahkan diantara keduanya bisa tidak ada perbedaan dalam waktu pelaksanaannya. Hal ini hanya tergantung pada proses interaksi dan tingkat kepercayaan yag harus dibina dalam interaksi. Perbedaan di sini adalah hanya dalam hal jumlah intervensi yang dilakukan saja. Lebih jelas perbedaan ini adalah sebagaimana tabel berikut :
Proses Konseling Psikoterapi
Mendengarkan 20 60
Menanyakan 15 10
Mengevaluasi 5 5
Menginterpretasikan 1 3
Mendukung 5 10
Menjelaskan 15 5
Memberitahu 20 3
Menyarankan 10 3
Menyuruh 9 1

Dilihat dari problem-problemnya, Rosjidan membedakan bahwa konseling menyangkut hal-hal seperti: reality-oriented, situasional, lingkungan, spesifik, nonembeded dan kesadaran. Sedangkan psikoterapi menyangkut interpersonal, mendalam, umum, ganguan kepribadian, embeded dan unconseious. Mowrer membedakan bahwa konseling bertujuan membantu seeorang membebaskan diri dari konflik-konflik yang disadari. Sedangkan psikoterapi menyangkut konflik-konflik unconseious dan kecemasan neurotik. Tyler membedakannya sebagai berikut: konseling berkaitan dengan pendidikan, pekerjaan dan pilihan-pilihan lain, sedang psikoterapi menyangkut sikap, perasaa dan emosi. Namun pada kenyataan tidaklah mudah untuk membedakan antara problem situasional dan environmental, antara reality problem dengan problem kerpibadian, antara kecemasan normal dan kecemasan neurotik. Oleh karena pembedaan antara konseling dan psikoterapi memiliki banyak kelemahan. Begitu sukarnya melakukan pembedaan sehingga para ahli mengambil jalan tengah dengan menegaskan bahwa antara konseling dan psikoterapi merupakan suatu continumn .
Andi Mappaire, membedakan konseling dan psikoterapi sebagai berikut:
1. Koseling dan psikoterapi dapat dipandang berbeda lingkup pengertian antara keduanya. Istilah "psikoterapi" mengandung arti ganda. Pada satu segi, ia menunjukkan sesuatu yang jelas yaitu satu bentuk terapi psikologis. Tetapi pada segi lain, ia menunjuk pada sekelompok terapi psikologis, yaitu suatu rentangan wawasan luas tempat hipnotis pada satu titik dan konseling pada titik lainnya. Dengan demikian, konseling merupakan salah satu bentuk psikoterapi.
2. Konseling lebih berfokus pada konseren, ikhwal, masalah, pengembangan-pendidikan-pencegahan. Sedangkan psikoterapi lebih memokus pada konseren atau masalah penyembuhan-penyesuaian-pengobatan.
3. Konseling dijalankan atas dasar (atau dijiwai oleh) falsafah atau pandangan terhadap manusia, sedangkan psikoterapi dijalankan berdasarkan ilmu atau teori kepribadian dan psikopatologi.
4. Konseling dan psikoterapi berbeda tujuan dan cara mencapainya. Menurut S. Narayana Rao, tujuan psikoterapi adalah mengatasi kelemahan-kelemahan tertentu melalui beberapa cara praktis, mencakup "pembedahan-psikis" (psycho-surgery) dan pembedahan otak. Konselor, pada lain pihak, berurusan dengan identifikasi dan pengembangan kekuatan-kekuatan positif pada indivdu. Ini dilakukan dengan membantu klien untuk menjadi seorang yang berfungsi secara sempurna.
Leslie E. Moser dan Ruth Small Moser berpendapat bahwa konseling terbatas pada pemberian bantuan pemecahan problema pribadi yang tidak sampai pada struktur kepribadian, hanya sampai pada permasalahan hidup kejiwaan yang normal yang berkaitan dengan kehidupan masa kini dan masa datang. Sedangkan psikoterapi bertugas melayani problema kejiwaan yang lebih mendalam lagi (inner-life problems). Sementara Orval H. Mowrer, membedakan pada tugas pokok keduanya. Konseling memecahkan persoalan hidup kejiwaan yang masih pada tingkat normal, yang disebabkan oleh perasaan frustasi yang disadari oleh klien, sedangkan psikoterapi menyembuhkan perasaan cemas yang bersifat mendalam (neurotic anxiety) yang sumber penyebabnya adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang amat menekan dan tidak disadari oleh klien. Sementara Dr. Milton E. Hahn, membedakan dari segi sifat problem yang dialami Klien. Menurutnya, jika persoalan yang dihadapi bersifat normal, pemecahannya menjadi tugas konseling. Sedangkan jika persoalannya bersifat abnormal maka psikoterapi yang bertugas menyembuhkannya. Sedangkan menurut Mohamad Surya perbedaan antara konseling dengan psikoterapi adalah:
1. Konseling umumnya berkenaan dengan orang-orang yang tergolong normal; sedangkan psikoterap terutama berkenaan dengan orang-orang yang mendapat gangguan psikis.
2. Konseling lebih bersifat edukatif, suportif, berorientasi kesadaran, jangka pendek; sedangkan psikoterapi lebih bersifat konstruktif, konfrontif, berorientasi ketidaksadaran, dan jangka panjang.
3. Konseling lebih terstruktur dan terarah kepada tujuan-tujuan yang lebih terbatas dan konkrit; sedangkan psikoterapi lebih luas dan mengarah kepada tujuan yang lebih jauh.
Dari uraian-uraian beberapa pendapat tentang persamaan dan perbedaan antara psikoterapi dan konseling tersebut di atas, maka bisa disimpulkan bahwa pada hakekatnya antara konseling dan psikoterap memiliki pengertian yang sama, yaitu memberikan bantuan kepada seseorang agar timbul perubahan pada diri individu tersebut ke arah yang positif, keduanya saling berkaitan dalam proses pemberian bantuan. Sedangkan jika dilihat dari pelaksanaannya, maka psikoterapi membutuhkan langkah-langkah yang lebih spesifik jika dibandingkan dengan konseling. Sementara jika dilihat dari landasan operasionalnya, konseling lebih didasarkan pada permasalahan-permasalahan pandangan hidup, permasalahan penyesuaian diri, lebih pada pelaksanaan bimbingan dan arahan melalui penanaman pengertian tentang falsafah hidup, pendidikan dan pemahaman lingkungan. Sedangkan psikoterapi didasarkan pada aspek-aspek psikopatologi, penyakit-penyakit kejiwaan yang lebih spesifik, dan membutuhkan langkah-langkah "pembedahan-jiwa" secara lebih spesifik. Konseling menyangkut permasalahan kejiwaan umum yang cenderung bersifat preventif, sedangkan psikoterapi sudah menyangkut permasalahan kejiwaan yang spesifik dan cenderung bersifat kurativ.
Dalam pelaksanaannya, baik bimbingan dan konseling maupun psikoterapi, menggunakan landasan teori dari beberapa landasan filosofis tentang perilaku. Teori-teori itu, sebagaimana yang dikemukakan baik oleh Subandi (2002), Arifin (2003), Surya (2003), dan Willis (2004) adalah: Trait and Factors, Rasional-Emotif, Behavioral, Psikoanalisa, Psikologi Individual, Analisa Transaksional, Client-Centered, dan Gestalt. Pendekatan Meditasi dan Relaksasi, serta yang mutakhir adalah logoterapi. Teori-teori itu diterapkan sesuai dengan orientasinya: Kognitif atau Afektif.

Penyakit Kejiwaan dalam Pandangan Islam

Oleh: Nashruddin Hilmi, M.Pd.I.
Menurut Adnan Syarif, konflik batin dan gangguan jiwa yang terjadi pada seseorang adalah karena kegagalan dan penyimpangan dalam menyikapi naluri kemanusiaanya. Terlalu menuruti naluri mencintai kehidupan dan keberlangsungannya, naluri mencintai kepemilikan, naluri seksual, dan naluri kasih sayang yang muncul dari perasaan fitri akan kelemahan dirinya. Naluri untuk mempertahankan eksistensi kehidupanya berubah menjadi penyakit takut akan kematian serta mencintai kehidupan dunia dan segala kelezatan duniawi yang dapat memberikan kepuasan kepada dirinya. Terjadi konflik psikis, yakni antara kecenderungan pada kenikmatan indrawi dan daya tarik kehidupan duniawi yang diinginkan hawa nafsunya, dengan perlawanannya untuk tidak terseret oleh hawa nafsu yang akan membawanya menyimpang jauh dari ajaran kehidupan yang benar. Kegagalan yang terjadi memunculkan sikap ketakutan pada kematian, putus asa menghadapi kehidupan, kecemasan, kikir, tamak, merasa serba kekurangan, angkuh, sombong dan sikap lalim serta kesewenang-wenangan. Munculnya penyakit-penyakit kepribadian, kepribadian yang hipokrit, munafik, was-was, gangguan syaraf. sakit ingatan, daya berpikir lambat atau kehilangan daya pikir. Demikian pula dengan frustasi, keinginan bunuh diri, adalah karena lemahnya konsep diri, kurang memahami makna sebuah musibah yang sebenarnya merupakan suatu kenikmatan karena didalamnya terdapat pelajaran yang berharga. Dengan demikian, konflik batin tidak bisa dilepaskan dari konsep diri dan kepribadian serta bagaimana seorang individu memandang kehidupan.
Dalam hal ini, pendidikan anak yang baik sejak dini harus diperhatikan, menciptakan lingkungan yang kondusif agar tercipta individu yang kuat dan tangguh, memiliki konsep hidup yang baik dan mampu memecahkan persoalan hidup dengan baik. Dengan demikian konflik-konflik batin yang menjadi penyebab gangguan jiwa bisa diminimalisir. Pengetahuan tentang dasar-dasar pendidikan dan rumah tangga sangat diperlukan karena menjadi penyebab utama bagi timbul dan tumbuhnya akar penyakit kejiwaan pada generasi muda. Oleh karena itu pendidikan anak perlu diperhatikan sejak dini, bahkan sebelum kelahirannya, dengan menciptakan suasana kejiwaan yang mendidik dan lingkungan yang sehat, baik di dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Pendidikan ini diperlukan untuk membentuk individu yang memiliki konsep kehidupan dan pandangan hidup yang positif. Dengan pendidikan ini, individu akan mampu menyadari hakekat diri dan posisinya dalam kehidupan.

Sebab-Sebab Penyakit Kejiwaan

Oleh: Nashruddin Hilmi, M.Pd.I.
Banyak faktor yang menyebabkan penyakit jiwa, mulai dari pendidikan anak, konsep pribadi yang salah, sampai lingkungan yang kurang kondusif.
Kartini Kartono menjelaskan, ada beberapa kejadian yang bisa menjadi sebab timbulnya konflik batin yang perlu diperhatikan sejak dini pada individu atau seorang anak, yaitu:
1. Kegagalan; kegagalan seorang anak yang bright meraih cita-cita, atau tuntutan yang terlalu besar pada seorang anak yang kemampuannya terbatas, tuntutan yang terlalu besar dari orang tua terhadap prestasi anak, bisa menyebabkan anak menjadi individu yang memiliki konflik batin, gangguan mental, putus asa, grogi, bingung, pusing, merasa tidak mampu dan sebagainya.
2. Kebimbangan; adanya fenomena yang kontras yang dihadapi anak, misalnya antara nasehat orang tua dan kenyataan orang tua sebagai suri tauladan yang keduanya tidak saling mendukung. Fenomena kehidupan yang berbeda dengan konsep moralitas, juga menyebabkan kebingungan anak, bagaimana harus bersikap. Anak menjadi individu yang apatis, menyusun fantasinya sendiri, masa bodoh dan putus asa, serta tidak memiliki prinsip hidup dan serba kebingungan
3. Norma, pantangan dan adat istiadat yang terlampau ketat; Penanaman norma, adat-istiadat yang tidak bijaksana bisa menyebabkan potensi dan dorongan keingin-tahuan anak menjadi terdesak, tenggelam, menjadi unsur kompleks-terdesak. Pada akhirnya timbulnya rentetan konflik batin.
4. Ove-protection yang kurang bijaksana; Kasih sayang yang melimpah, selalu dibantu, diawasi, menyebabkan anak menjadi individu yang kurang mandiri, serba ketakutan, ragu-ragu, kurang percaya diri, rapuh dan kurang berani berfikir. Sementara perlindungan yang berlebihan menyebabkan anak menjadi individu yang penakut, munafik, kepatuhan yang mengandung pemberontakan, ekstrim, yang pada gilirannya menjadi individu yang penuh dendam, ingin berkuasa, dominan, ingin menjajah setiap orang, egois, mau menang sendiri dan mementingkan diri sendiri.
5. Ditolak orang tua; Orang tua yang tidak memiliki tanggung jawab sebagai orangtua, keinginannya adalah kondisi sebagaimana mereka sebelum berkeluarga. Kehadiran anak bagi mereka adalah beban. Pada akhirnya anak mereka menjadi individu yang merasa kehadirannya tidak dikehendaki, merana, kecewa, penuh dendam, penuh penyesalan, tidak betah dirumah, dan sebagainya.
6. Broken Homes; Keluarga yang berantakan menyebabkan anak menjadi bimbang, tidak punya figur teladan, susah, dan memunculkan konflik batin.
7. Cacat jasmaniah; Kekurangan fisik pada anak perlu disikapi dengan bijaksana. Jika tidak maka anak menjadi individu yang mudah tersinggung, mudah sedih, terhina, merasa berdosa, dan sebagainya.
8. Lingkungan sekolah yang buruk; Disipilin yang sangat ketat, aturan-aturan yang sangat mengikat dengan tuntutan kegiatan yang padat,menyebabkan anak menjadi individu yang serba ketakutan, pasif, tidak memiliki pemikiran yang kreatif, dan sebagainya.
9. Pengaruh buruk orang tua; Orang tua adalah suri tauladan dan menjadi pusat figur anak. Kegagalan orang tua menjadi teladan menyebabkan anak menjadi bingung, dan pada akhirnya mencari figur lain yang menurut seleranya disukainya yang bisa jadi adalah figur yang tidak baik.
Lebih lanjut dikatakan oleh Kartini Kartono, sebab-sebab kekalutan mental tersebut adalah: Terbentur pada standar-standar dan norma-norma sosial tertentu, dimana norma-norma itu dianggap sebagai pengikat yang membelenggu kebebasannya, dirasakan sebagai himpitan beban; Konflik kebudayaan, baik individual maupun kolektif, mempengaruhi daya adaptasi dan tingkah laku seseorang, memunculkan sikap yang ambivalen dan pertentangan batin; Masa transisi, dari agraris ke industrial, dari tradisional ke modern, dari feodalisme ke demokrasi, dari masyarakat urban ke masyarakat perkotaan; Meningkatnya aspirasi pada kemewahan materiil, dimana kebahagiaan diukur dari materi dan status sosial, yang memunculkan sikap kompetitif, kejam keras, individualistis, bahkan menggunakan segala cara untuk meraihnya. Di sini, seorang individu yang telah berada di tengah-tengah masyarakat dengan segenap kompleksitas kehidupan dibenturkan pada berbagai fenomena, tuntutan dan keinginan. Memunculkan konflik batin ketika konsep diri dan kepribadiannya tidak kuat. Oleh karena itu, faktor lingkungan luas mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Pandangan ini nampaknya didasarkan pada pendapat behaviorisme yang mengasumsikan bahwa manusia berkembang berdasarkan stimuli yang diterimanya dari lingkungan. Dengan demikian, konflik yang terjadi juga tidak bisa dilepaskan dari kondisi lingkungan yang ada. Artinya, lingkunganlah yang menyebabkan suatu konflik kejiwaan muncul.
Alfred Adler mengatakan bahwa munculnya gangguan kejiwaan disebabkan oleh kegagalannya menyikapi lingkungan dan kehidupan sekitarnya, kebebasannya memilih dan bertingkah laku terhalangi, kebingungan bersikap yang bisa jadi merupakan gejala yang telah ada semenjak kecil dalam hubungannya dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan Freud, melalui psikoanalitisnya, mengatakan bahwa masa bayi sampai usia 5 tahun merupakan masa yang sangat menentukan dan berpengaruh terhadap perilaku dan kepribadian individu. Dari berbagai penelitian yang dilakukan, perilaku menyimpang yang muncul pada individu, meskipun belum bisa secara pasti positif, akan tetapi ada kemungkinan disebabkan juga oleh faktor genetis. Dengan demikian, faktor yang mempengaruhi perilaku menyimpang pada seorang individu bukan saja dari faktor pendidikannya, pengalaman-pengalamannya sejak kecil, bahkan ketika masih bayi, tapi juga ada indikasi faktor keturunan. Faktor-faktor tersebut bisa langsung berpengaruh pada perilaku, bisa juga mengendap dan menjadi bibit-bibit penyimpangan perilaku pada masa dewasa.
Sementara, menurut Maslow, konflik kejiwaan dan perilaku yang menyimpang adalah karena terhalanginya atau tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar, aktualisasi diri, munculnya ancaman terhadap kehidupannya, integritas utama organismenya, serta adanya ancaman terhadap nilai-nilai luhur. Artinya, terdapat ancaman terhadap tujuan-tujuan dasar, nilai-nilai atau kebutuhan dasar sebagai organisme. Sedangkan menurut Frankl, konflik jiwa adalah disebabkan oleh kegagalan individu dalam mendapatkan makna dan rasa tanggung jawab dalam eksistensinya, frustasi pada "keinginan untuk memaknai". Dengan demikian, dari kedua pendapat ini, konflik yang muncul adalah karena frustasi-frustasi yang muncul akibat kegagalan-kegagalan yang dialaminya dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan dalam hidupnya. Berbeda dari kesemuanya, Albert Ellis menyatakan bahwa pemikiran manusia sendirlah penyebab gangguan emosional. Dengan pemikiran rasional, manusia bisa terbebas dari gangguan emosional.
Dari uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa dalam menentukan sebab-sebab gangguan kejiwaan, para ahli berbeda pendapat, masing-masing memiliki landasan filosofis sendiri dalam memandang manusia sebagai sebuah individu. Tentu saja, dalam mengatasi gangguan kejiwaan itupun tidak bisa dilepaskan dari landasan itu sendiri.

Bentuk-Bentuk Penyakit Kejiwaan

Oleh: Nashruddin Hilmi, M.Pd.I.
Penyakit-penyakit jiwa, dibagi dalam empat kelompok. Keempat kelompok adalah: Psychoneurotic, psychotic, mentally defective, dan antisocial .
a). Psychoneurotic.
Psychoneuroses merupakan kekacauan kepribadian yang relatif lebih ringan namun meresahkan dan tidak menyenangkan pasien tetapi tidak sampai merusak penyesuaiannya dengan kehidupan sosialnya atau mengganggu aktivitas sehari-harinya sehigga tidak membutuhkan pengawasan atau diharuskan masuk ke rumah sakit jiwa. Ciri-ciri gejala secara umum meliputi: keinginan yang berlebihan, merasa selalu dalam ketegangan, gelisah, selalu merasa kekurangan, ketakutan yang berlebihan, kelelahan yang berlebihan.
Bentuk lain dari psychoneurosis ini, sebagaimana dikemukakan oleh James D. Page dalam bukunya Abnormal Psychology, adalah hysteria (bisa berupa gangguan kontrol anggota tubuh, ketidakmampuan sensorik: hipersensitif, sensasi yang berlebihan; ketidakmampuan motorik: kelumpuhan sebagian anggota badan, tidak mampu berdiri atau berjalan pada posisi tertentu, pergerakan yang hiperaktif, bicara gagap, hilang suara, kulit mengelupas, keringat berlebihan, dsb); anxiety (degup jantung kacau, instabilitas emosi, perasaan rendah diri/kalah, sakit kepala yang sangat, kebingungan, intoleransi, ingin bunuh diri, ketakutan yang aneh, dsb.); neurastenia (adalah akibat perasaan emosional yang berlebihan karena kegagalan memecahkan masalah pribadi, merasa bodoh dan depresi, hilangnya interes, sangat sulit untuk berpikir), obsesive yang luar biasa, compulsvei (tidak mampu mengontrol aktifitas, mengulang-ulang suatu tindakan secara otomatis, seperti mencuci tangan, mengangkat bahu, mengusap wajah seolah-olah selalu ebrdebu, dsb.); pobia (ketakutan yang berlebihan tanpa alasan), trauma, dan sebagainya; Nervouse (sangat mudah resah dan gelisah, sangat menderita, mudah tersinggung dan marah, dsb.); Traumatic (gejala-gejala psychoneuroses yang menyertai sakit fisk yang dialami atau kecelakaan, dsb.)
Termasuk juga dalam kategori ini adalah Hypochondria (kerisauan hati yang dibesar-besarkan atau dilebih-lebihkan pada kesehatan pribadi, merasa yakin betul bahwa dirinya mengidap suatu penyakit yang serius, setiap kesakitan dirasakan sebagai bencana yang hebat, menganggapnya sebagai tragedi yang besar dan bisa menyebabkan kematiannya); Psychosomatisme (bentuk-bentuk penyakit jasmani yang disebabkan oleh kombinasi faktor organis dan psikologis, merupakan kegagalan sistem saraf dan sistem fisik, kecemasan-kecemasan dan gangguan mental), misalnya hipertensi, effort syndrome (merasa sangat kelelahan meski hanya sedikit bekerja, kesulitan bernafas, dan perasaan mau jatuh pingsan), Post Power Syndrome (sindrom purna kuasa); dan Peptic Ulcer (luka pada lambung akibat asam lambung yang terlalu banyak yang disebabkan oleh konflik batin, kegagalan sistem organik akibat gangguan sistem saraf).
Menurut Fahmi, psiko-neurosa ini merupakan penyakit jiwa dalam taraf sebagai gangguan jiwa. Orang yang mengalami psiko-neurosa ini mengalami gejala jiwa yang mempengaruhi perilakunya, namun tidak sampai mengganggu kehidupan dan sosialnya, mereka juga menyadari akan permasalahannya tersebut. Bentuk gangguan ini bersifat lunak dan tidak berbahaya. Dengan demikian, psikoneurosa merupakan bentuk gangguan jiwa berada pada taraf biasa namun bisa mengganggu stabiltas kesehatan fisik. Konsep individu dalam menghadapi kehidupan nampak sangat dominan dalam menciptakan konflik batin yang pada akhirnya menjadi gangguan jiwa.
b) Psychoses
Penyimpangan mental yang mengkhawatirkan yang cenderung menghancur-kan integritas kepribadian dan mengganggu hubungan sosial individu. Bentuk-bentuknya antara lain: Schizophrenia, yaitu gejala-gejala yang muncul meliputi: Penyimpangan emosional: reaksi emosional yang menunjukkan kebencian, bahkan dia tidak mau bergaul atau berhubungan dengan masyarakat umumnya; Halusinasi: merasa mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang bisa diakuinya sebgaai keluarga, teman, atau bahkan Tuhan. ; Gangguan berbicara: ketidakmampuan mengontrol pembicaraannya, antara stimuli dan respon pembicaraan tidak sambung; Kesulitan menulis, menggambar, atau mengkonsentrasikan gerakan tangan; penyimpangan berpikir, tidak bisa fokus, tida bisa mengurutkan sesuatu; kerusakan atau kelemahan intelegensi. Bentuk lain adalah Manic-depressive psychosis, misalnya adalah: Maniac psychomotor activity: perilaku yang sangat berlebihan; ide-ide dan halusinasi yang berlebihan, keinginan-keinginan, gangguan emosionalyang ekstrim, suasana yang terus bergerak antara menangis dan tertawa, sampai pada depresi, sedih, putus asa, dsb. Bentuk berikutnya adalah: Paranoia: bisa mengendalikan diri, akan tetapi pada kondisi-kondisi tertentu ia bisa sangat membahayakan, diantaranya disebabkan karena kegagalan-kegagalan yang dialaminya; alcoholic Mental disorder; penggunaan obat-obatan terlarang, dan Epilepsy. Dengan demikian, psikosa merupakan suatu penyakit mental yang parah, dimana ditandai dengan disorientasi pikiran, gangguan emosional, disorientasi ruang dan waktu, serta pribadi; dan pada beberpa kasus disertai halusinasi dan delusi-delusi.
Dari uraian di atas, bila dibandingkan antara psiko-neurosa dan psikosa, maka kondisi psikosa jauh lebih berat dari pada psiko-neurosa. Perbedaan penting antara psychoneouroses dengan psychoses diantaranya bisa dilihat pada tabel berikut ini:
Psychoneouroes Psychoses
berpikir dengan ucapan wajar, logis dan padu; tidak ada khayalan, halusinasi, dan kebingungan mental berpikir dengan ucapan tidak logis/ tidak bertautan, kebingungan mental, khayalan, dan halusinasi yang dominan
mampu mengendalikan diri baik secara parsial atau sepenuhnya, kondisi diri mendukung; jarang ada kasus bunuh diri tidak mampu mengendalikan diri; sering ada komitmen untuk bunuh diri, wajib dibawa ke rumah sakit jiwa
hubungan dengan kelompok sosial masih bisa bertahan, Perilaku di dalam penyesuaian umum dengan standard masyarakat bisa diterima Kebiasaan sosial hilang; perilaku tidak sesuai dengan standard masyarakat pada umumnya


c) Mental Deficiency
Menurut James D. Page, merupakan kondisi mental di bawah rata-rata normal manusia pada umumnya. Tingkat IQ manusia diklasifikasikan kedalam empat tingkatan, yaitu: Superior, yaitu IQ di atas 130; Bright, yaitu IQ antara 110 - 130; Normal, yaitu IQ antara 90 - 110; Dull, yaitu IQ antara 70 - 90; dan Defectife, yaitu IQ di bawah 70. Kondisi mental di bawah 70 ini merupakan IQ di bawah rata-rata yang diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu: Idiocy, yaitu IQ di bawah 20; Imbecility, yaitu IQ antara 20 - 50; dan Moronity, yaitu IQ antara 50 - 60. Sementara IQ antara 60 - 70 juga termasuk dalam kategori Mental Deficiency ini.
d) Antisocial Personalities and Crime
Merupakan perilaku yang anti sosial dan bertindak kriminal. Meliputi: Treason (Pengkhianatan), jenis yang paling jarang dan merupakan kejahatan yang merugikan, misalnya melawan negeri sendiri atau memberi bantuan dan berkhianat untuk membela mush negara; Felonies (kejahatan pidana) adalah kejahatan serius seperti pembunuhan, pemalsuan, penipuan, perampokan, pencurian, dan perkosaan, dapat dihukum mati, hukuman penjara, atau hukuman berat lainnya; dan Misdemeanors (pelanggaran hukum ringan) adalah kejahatan karena kondisi rasa sakit hati. Beberapa contoh misalnya adalah pencurian ringan, mabuk-mabukan, gelandangan, dan sebagainya.
Dari uraian di atas, maka bisa disimpulkan bahwa penyakit jiwa pada umumnya bukanlah penyakit yang bersifat kodrati. Faktor kemampuan manusia dalam mengendalikan diri merupakan faktor utama penyebab penyakit jiwa ini, disamping faktor perkembangan individu sejak kecil dan pengalaman-pengalaman selama hidupnya.

Pengertian Penyakit Kejiwaan; antara Gangguan Kejiwaan dan Sakit Jiwa

Oleh: Nashruddin Hilmi, M.Pd.I.
Antara gangguan kejiwaan dan sakit jiwa, menurut para ahli, tidak berbeda dalam macamnya, tapi pada tingkatnya saja, dimana gangguan kejiwaan lebih ringan dari pada sakit jiwa. Orang yang mengalami gangguan kejiwaan mengetahui kesukarannya atau persoalannya, dalam perilakunya dan kepribadiannya tidak nampak adanya perubahan yang besar, dan mereka pada umumnya bisa hidup pada umumnya di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan orang yang sakit jiwa tidak mengetahui persoalan dirinya dan keadaannya, kepribadiannya dalam berbagai segi (pengenalan, perasaan, dorongan) mengalami kegoncangan dan tidak serasi. Dengan demikian, gangguan jiwa lebih ringan dari pada sakit jiwa.
Menurut Kartini Kartono, pribadi yang normal dengan mental yangs sehat akan bertingkah laku adekuat (serasi, tepat) dan bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya; sikap hidupnya sesuai dengan norma dan pola hidup kelompok masyarakat, sehingga ada relasi interpersonal dan intersosial yang memuaskan. Dalam dirinya terdapat integritas jasmaniah-rokhaniah yang ideal. Kehidupan psikisnya stabil, tidak banyak memendam konflik internal; suasana hatinya tenang dan imbang, jasmaninya selalu sehat. Sementara pribadi abnormal pada umumnya dihinggapi gangguan mental, baik yang tunggal maupun yang ganda, dengan kelainan-kelainan atau abnormalitas pada mentalnya; selalu diliputi banyak konflik batin, jiwanya miskin atau tidak stabil, tidak punya perhatian pada lingkungan sekitar, terpisah hidupnya dari masyarakat, dan selalu merasa gelisah dan takut. Biasanya mereka selalu sakit-sakitan. Pribadi yang abnormal mempunyai atribut: secara relatif mereka jauh dari status integrasi, dan punya atribut "inferior" dan "superior".
Selanjutnya, Kartini Kartono ketika meluruskan pengertian penyakit jiwa menjelaskan bahwa:
a. penyakit jiwa bukanlah penyakit keturunan semata, namun lebih banyak disebabkan oleh tekanan-tekanan batin dan faktor-faktor sosial;
b. penyakit jiwa bukan tidak bisa disembuhkan, kemungkinan kesembuhannya masih bisa diusahakan;
c. penyakit mental tidaklah datang secara tiba-tiba, tapi bibit-bibitnya telah ada sebelumnya, sebab-sebab yang bersifat kompleks dari kejadian-kejadian masa lalu. Misalnya, kematian seorang yang dikasihi, kebangkrutan finansial, dan sebagainya.
d. penyakit mental bukanlah noda hitam dari suatu dosa, sebab penyakit mental merupakan akibat dari sebab-sebab sosial yang lumrah; merupakan produk dari tekanan kehidupan sehari-hari, dan umum terjadi.
e. penyakit mental bukanlah penyakit tunggal, tapi banyak penyebabnya dan saling terkait. Misalnya gangguan psiko-neurosa biasanya bertalian dengan anxiety-neurosis, ketakutan-ketakutan yang riil; reaksi dissosiasi terhadap lingkungan, histeria konversia, fobia-fobia, kompulsif, obsessif, dan sebagainya.
f. seks bukanlah sebab penyakit mental, tapi menjadi salah satu unsur saja. Yang utama adalah perasaan bersalah, ketakutan, ketidak-puasan, yang menyertainya. Perasaan itu sendiri bisa terjadi oleh perilaku-perilaku lain, bukan hanya disebabkan seks.
Dari uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud penyakit jiwa bukanlah semata kondisi mental yang ditandai perilaku yang "berbeda" dengan orang pada umumnya. Keadaan kalut, gelisah, marah, dan sebagainya, juga merupakan bentuk perilaku jiwa yang abnormal, mengalami gangguan jiwa. Peristiwa-peristiwa yang menimbulkan kekalutan mental perlu diwaspadai karena bisa menjadi penyebab timbulnya penyakit jiwa yang lebih serius.

Urgensi Agama dalam Bimbingan Psikologi dan Terapi Medik

Oleh: Nashruddin Hilmi, M.Pd.I.
Para ahli sependapat bahwa manusia bukanlah makhluk bio-psiko-sosial semata, melainkan juga bio-psiko-spiritual. Pandangan bahwa dimensi spiritual merupakan aspek penting dalam upaya pembentukan manusia modern telah menjadi fenomena global. Pada tahun 1984, Organisasi kesehatan dunia (WHO) dalam sidang umumnya telah merekomendasikan bahwa dimensi spiritual setara pentingnya dengan dimensi-dimensi fisik, psikologik, dan psiko-sosial . Bahkan hubungan antara bidang Psikologi dengan agama ini telah mulai diprogramkan secara formal dan dengan dasar-dasar ilmiah sejak meletusnya perang dunia II pada tahun 1941. Organisasi Kedokteran Jiwa se-Dunia (World Psychiatric Association) dalam Kongres IX di Rio de Janiero, Brazil pada tahun 1993, telah membentuk seksi khusus, yakni "Psychiatry and Religion". Demikian pula Ikatan Dokter Ahli Jiwa Amerika (American Psychiatry Association / APA), sejak tahun 1995 telah membentuk komite khusus: Committe on Psychiatry and Religion.
Pendekatan agama menjadi alternatif yang sangat penting dalam proses terapi medik dan psikoterapis. Di New York ada satu klinik yaitu "Religio-Psychiatric clinic" yang menempatkan agama sebagai peran penting dalam prakteknya. Pemeriksaan dan pengobatan pasien-pasien dilakukan oleh ahli-ahli kedokteran dan ahli-ahli agama bersama-sama . Sementar itu Prof. Dr. C.C. Jung dalam bukunya "Modern man in search of a soul" mengisyaratkan akan arti penting agama dalam ilmu kedokteran. Ia mengatakan, diantara sekalian pasien saya yang tuanya sudah lebih dari separo umur - lebih dari 35 tahun - tidak ada seorangpun yang faktor kejiwaan penyakitnya pada akhirnya tidak berhubungan dengan agama . Sementara Dr. D.B. Larson dalam pelbagai penelitian, menyimpulkan: dalam memandu kesehatan manusia yang serba kompleks ini komitmen agama sebagai sesuatu kekuatan tidak bisa diabaikan .
Lebih lanjut Prof. J.G. Mackenzie menegaskan, "The success of the psychotherapist are achieved not because he has a thorough knowledge of general medicine, nor even because of his knowledge of neurology but in virtue of his pastoral ability". Hasil-hasil baik ahli pengobatan-kejiwaan tidak diperolehnya karena pengetahuannya yang sempurna, tentang ilmu kedokteran umum, malahan juga tidak karena ia ahli dalam ilmu penyakit saraf, melainkan karena kecakapannya di lapangan agama .
Di Florida, Amerika Serikat ada sebuah lembaga penelitian tentang penyembuhan penyakit jiwa melalui daya pengaruh bacaan al-Qur'an dalam berbagai kasus penelitian atau percobaan yang terdiri dari kelompok orang yang mengerti bacaan al-Qur'an dan kelompok yang tidak mengerti bacaan al-Qur'an yang harus mendengarkan bacaan al-Qur'an. Hasilnya, kelompok pertama dapat memperoleh kesembuhan secara bertahap, sedangkan kelompok kedua bisa memperoleh kesembuhan pula tapi tidak seintensif kelompok pertama. Hal ini membuktikan bahwa pendekatan agama sangat berpengaruh dalam bimbingan psikologi.
Dr. Hadfield setelah bertahun-tahun melakukan praktek pengobatan-kejiwaan menyimpulkan, "I have attemted to cure nervous patients with suggestion with quietness and confidence, but without success until I have linked these suggestions on to that faith in the power of God". Saya telah mencoba menyembuhkan penderita kerusakan keseimbangan saraf dengan jalan memberikan dorongan ketenangan dan kepercayaan, tetapi usaha ini baru berhasil baik sesudah ia berhubungan dengan keyakinan akan kekuasaan Tuhan .
Dr. Elmer Hess, seorang ketua Perhimpunan Dokter Amerika tahun 1954 menyatakan, "A physician who walks in to a sick room is not alone. He can only minister to the ailing person with the material tools of medicine - his faith in higher Power does the rest. Show me the doctor who denies the existence of the Supreme Being and I wil say that he has no right to practice the healing art". Seorang dokter yang masuk kamar-sakit tidaklah seorang diri. Ia hanya dapat menolong seorang penderita dengan alat kedokteran - keyakinannya akan Kekuasaan yang lebih tinggi mengerjakan sekalian yang ada. Kemukakanlah seorang dokter yang menyangkal adanya Dzat Yang Maha Tinggi itu maka saya akan katakan bahwa ia tidak berhak mempraktekkan ilmu kedokteran .
Pentingnya faktor agama di bidang psikiatri dan kesehatan jiwa juga bisa dilihat dari pernyataan Prof. Daniel X. Freedman. Menurutnya, di dunia ini ada dua lembaga besar yang berkepentingan dengan kesehatan manusia: profesi kedokteran jiwa dan lembaga keagamaan. Kedua lembaga ini dapat bekerjasama secara konstruktif guna meningkatkan taraf kesejahteraan dan kesehatan jiwa .
Dr. Robert C. Peale, seorang doketr ahli bedah menyatakan manfaat agama, ia mengatakan, "Because of the abdding faith and trust the injured or sick person has in Almighty God, as a surgeon I consistantly see recoveries that were thought imposssible. I also poor results because of an attempted cure by religion or science alone. I am therefore cinvinced that there is a definite and fixed relationship between religion and science and that God has given us both as weapon nite and fixed between religion and against desease and unhappines, but administered together for the benefit of minkind , their possibilities are unlimited". Berkat kepercayaan si luka atau si sakit yang bersangkutan, saya sebagai seorang dokter ahli bedah selalu melihat penyembuhan-penyembuhan yang disangka tidak mungkin. Saya melihat pula hasil-hasil yang tidak menyenangkan karena percobaan penyembuhan dengan agama saja atau dengan ilmu pengetahuan saja. Oleh karena itu saya berkeyakinan bahwa ada hubungan yang pasti dan tetap antara agama dan ilmu pengetahuan, dan Tuhan telah memberikan kepada kita kedua-duanya sebagai senjata untuk melawan penyakit dan kesedihan. Bila kedua-duanya dipakai bersama-sama untuk kepentingan manusia, maka kemungkinan-kemungkinan - akan hasil yang baik - tidak ada batasnya . Di Lourdes, jelas dirasakan bahwa terjadi penurunan keberhasilan pengobatan dikarenakan penderita yang datang bukan lagi orang-orang yang khusyu' dalam beragama . Hal ini mengindikasikan bahwa agama memiliki peran penting dalam keberhasilan suatu pengobatan medis.
Sementara itu, Dadang Hawari mengatakan bahwa terapi psikologi religius berupa do'a dan dzikir memegang peran penting untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit . Fenomena yang saat ini kita lihat, khususnya di Indonesia adalah bahwa masyarakat sudah mulai menyadari akan arti penting pendekatan religius ini sebagai salah satu jalan bagi penyembuhan. Munculnya berbagai jama'ah dzikir dalam upaya penyembuhan dan mencapai ketenangan jiwa banyak merebak, misalnya yang dipimpin oleh Ilham Arifin.
Sering dijumpai, bahwa pada saat-saat terakhir hayatnya, keimanan pasien berubah disebabkan persuasi agamawan . Dalam konteks ini bisa diterapkan terapi religius: kematian bagi seorang Muslim tidak perlu dicemaskan karena semua manusia akan mengalaminya. Ketentraman hati dapat diberikan kepada pasien dengan mengingat firman Allah dalam Surat Al-An'am ayat 162.
Artinya:
"Sesungguhnya salatku, ibadahku, dan matiku semata-mata hanya untuk Allah, tuhan Semesta Alam" .

Dari uraian di atas, jelas bahwa pendekatan keagamaan sangat diperlukan dalam kegiatan psikologi atau bimbingan guna menuju kesembuhan pasien di sebuah rumah sakit. Hal ini karena agama merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia.

B. PENYAKIT KEJIWAAN
Pada bagian ini, akan dikemukakan tentang pengertian penyakit jiwa, antara gangguan kejiwaan dan sakit jiwa itu sendiri, serta macam-macam penyakit jiwa.

Bimbingan Psikologi bagi Pasien; Hubungan antara Aspek Fisik dan Psikis

Oleh: Nashruddin Hilmi, M.Pd.I.
Bimbingan Psikologi sangat penting dilakukan di setiap rumah sakit. Seseorang yang sakit secara fisik secara otomatis akan mempengaruhi kondisi psikisnya. Kondisi fisik yang terganggu jelas akan berpengaruh terhadap sirkulasi peredaran darah dan mengarah pada stabilitas kondisi psikis. Sejak pertengahan abad 20, para ilmuwan kimia organik, secara berturut-turut, telah menemukan bahwa setiap kekuatan akal, emosi, dan perilaku yang kita pelajari sekarang - yang disebut dengan gejala psikologis, penyakit kejiwaan, dan pikiran - tidak lain merupakan hasil berbagai intervensi dan pengaruh yang bersifat fisikal melalui sejumlah materi biokimiawi. Materi bio kimiawi itu kemudian disaring oleh seluruh sel yang ada dan masuk semuanya ke dalam darah ataupun pembuluh-pembuluh darah. Materi biokimiawi itu mengalir ke seluruh angota tubuh dan segera akan mengekspresikan emosi dan perilaku yang kita sebut dengan faktor kejiwaan; baik yang sehat (positif) seperti perasaan gembira, senang, dan lega; ataupun yang sakit (negatif) seperti perasaan marah, takut, gelisah, mengalami halusinasi, dan merasa teralienasi . Di sinilah letak penyebab mengapa orang yang mengalami sakit secara fisik, psikisnyapun akan ikut pula terganggu.
Omar Ali Syah, dalam buku Terapi Sufi mengemukakan, bahwa keadaan lingkungan berpengaruh terhadap jiwa dan kesehatan tubuh. Lingkungan itu telah menyebarkan ion-ion baik positif maupun negatif yang kemudian masuk ke dalam tubuh, menimbulkan situasi kejiwaan. Air terjun, sumber air, air yang mengalir; dengan kata lain, lintasan dan kontak unsur alam organik dengan unsur alam organik lain, akan menghasilkan ion negatif, artinya tidak ada pergesekan, tidak ada panas. Alat-alat listrik, kipas angin, kontak antara akrbon dan lilitan kabel yang berputar mengelilinginya, menimbulkan ion positif, artinya menimbulkan gesekan dan panas. Kesemuanya itu merupakan unsur lingkungan yang menghasilkan ion-ion yang terserap ke dalam tubuh. Dengan demikian, dalam tubuh sebenarnya mengalir ion-ion, positif maupun negatif, yang akan mempengaruhi kondisi psikis dan fisik seseorang. Artinya, kondisi psikis maupun fisik seseorang dipengaruhi juga oleh kondisi fisik lingkungan yang menghasilkan ion-ion dan masuk ke dalam tubuh. Oleh karena itu penciptaan lingkungan yang sehat dan alamiah sangat penting bagi kesehatan fisik dan mental seseorang.
Sejak tahun 60-an, ilmu pengetahuan telah menemukan ratusan materi kimiawi di dalam maupun di luar tubuh. Semuanya berperan dan memunculkan berbagai gejala dan penyakit kejiwaan; semuanya mengalir, mewujud, atau merasuk ke dalam darah. Materi-materi kimiawi itu mengalir ke seluruh anggota tubuh yang segera akan memperlihatkan gejala lahiriah kejiwaan. Dengan demikian, gejala kejiwaan merupakan fenomena psikis maupun fisik yang disebabkan oleh adanya materi-materi kimiawi dalam darah . Artinya, fenomena fisik mempengaruhi keadaan psikis seseorang.
Sebaliknya, adakalanya, seorang yang sakit bukanlah disebabkan oleh suatu penyakit phisik, tapi psikis (psikosomatis). Dari istilah psikosomatis ini, mengisyaratkan adanya hubungan yang erat antara jiwa dan badan yang saling mempengaruhi. Bila badan ditimpa suatu penyakit, jiwa ikut kesusahan. Demikian pula kalau jiwa ditimpa kesulitan maka badan turut menderita . Jadi, seseorang yang nampaknya sakit secara fisik, bisa jadi disebabkan oleh kekacauan psikisnya.
Dadang Hawari menyatakan, modernisasi, industrialisasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan-teknologi (iptek) menimbulkan perubahan-perubahan sosial yang sangat cepat. Namun tidak semua orang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan itu sehingga dapat menimbulkan stres. Stres merupakan faktor pencetus penyebab atau akibat dari suatu penyakit. Akibatnya kesehatan fisik dan jiwa orang bersangkutan menurun. Perubahan-perubahan tersebut yang kerap bercorak sekuler telah mengakibatkan dehumanisasi, yaitu menurunnya nilai-nilai kemanusiaan, yang pada gilirannya dapat mengakibatkan seseorang jatuh sakit . Keadaan jiwa yang kacau telah melahirkan berbagai penyakit fisis pada seseorang.
Dalam beberapa puluh tahun terakhir, para ilmuwan yang biasa melakukan penelitian terhadap fungsi-fungsi dari sistem syaraf menemukan bahwa pemikiran, perasaan, dan perilaku merupakan aktifitas kehidupan yang digerakkan oleh aktifitas fisiologis sistem syaraf dan unsur-unsur kimiawi. Di dalam beberapa makhluk hidup yang dibekali sistem syaraf ditemukan pula adanya beberapa pusat syaraf yang berpengaruh terhadap munculnya penyakit, ketakutan, kenikmatan, kemarahan, gerak, serta bentuk-bentuk emosi dan perilaku lainnya. Pusat-pusat syaraf ini disebut dengan kumpulan otak hewani atau otak nabati .
Sementara Alfred Adler, sebagaimana dikemukakan oleh Olga Brody Oller, menekankan bahwa adalah absurd untuk belajar kondisi mental dan pergerakan jasmani secara terpisah tanpa hubungan terhadap seseorang secara utuh. Menurut Oller, tidak ada keraguan bahwa pasien yang tak dapat menyesuaikan diri selalu mengalami berbagai kesulitan dalam menanggulangi suatu penyakit fisik dibanding dengan seseorang yang mampu menyesuaikan diri dengan baik. Dengan demikian, adalah sangat dianjurkan agar perawatan fisik dilakukan bersamaan dengan teknik psychotherapeutic .
Dalam bidang kedokteran kini dikembangkan suatu cabang ilmu baru, yakni "psiko-neuro-endokrinologi". Ilmu ini menjelaskan hubungan antara faktor psikis, sistem persyarafan, dan kelenjar endokrin (sistem hormonal). Jika ketiga sistem tersebut terganggu maka terjadilah penyakit. Karena itu keseimbangan ketiga sistem hormonal amat penting bagi imunitas tubuh.
Virchow menambahkan bahwa pendekatan psikologis ilmiah terhadap permasalahan pribadi yang mungkin muncul pada diri seorang pasien merupakan sesuatu yang sangat penting dan mulia. Menurutnya upaya penyembuhan kekacauan jasmani dapat dihargai hanya ketika faktor emosional diselidiki sebagai tambahan terhadap orang yang sakit secara fisik . Bahkan, menurut Oller, secara statistic bisa diketahui bahwa hampir 50 persen pasien yang membutuhkan pengobatan medis adalah disebabkan oleh permasalahan neurosis . Prof.Dr. Aulia, dalam buku Agama dan Kesehatan Badan / Jiwa mengemukakan bahwa di Amerika pada taun 1957 telah ada hampir dua uluh juta orang yang menderita psikosomatik. Lebih lanjut, dalam berbagai pengalaman praktik kedokterannya, dia banyak menemukan kasus serupa, dimana orang-orang yang datang kepadanya, setelah dilakukan pemeriksaan medis tidak ditemukan adanya penyakit, namun setelah dilakukan pendekatan psikologis, ditemukan adanya permasalahan psikologis yang menyebabkan terganggunya fungsi fisik, menimbulkan penyakit fisik .
Dari uraian di ats, bisa disimpulkan bahwa bimbingan psikologi bagi pasien di rumak sakit merupakan sesuatu yang urgen dilakukan agar terapi penyembuhan bisa secara menyeluruh menyentuh segenap aspek pada diri pasien, baik fisik maupun psikis. Sehingga tercapai tujuan pengobatan, yaitu sehat fisik dan psikis, yang yang seutuhnya.