Jumat, 11 Juni 2010

KONSEP ISYRAQ

Konsep tasawuf falsafi yang paling orisinil diantara konsep-konsep yang lain adalah al-Isyraq ini. Paham ini dimunculkan dan dikembangkan oleh al-Suhrawardi yang memiliki nama lengkap Abu al-Futuh Yahya bin Habsyi bin Amrak, bergelar syihabuddin, dikenal juga dengan sebutan al-Hakim, yang terlahir di Suhrawad pada tahun 549 H. Kehidupannya digunakan untuk mengembara menuntut berbagai ilmu; Fiqh, Teologi, Ilmu Hikmah, Filsafat Yunani, Filsafat India dan Persia, dan sebagainya. Dihukum mati oleh Salahuddin Al-Ayubi pada tahun 587 H/1191 M, akibat rasa iri dan dengki sebagian orang ketika melihat kemampuannya dan kedekatannya dengan putra mahkota, al-Zahir, serta kekhawatiran dia akan mempengaruhi akidah sang putra mahkota .
Isyraq berarti bersinar atau memancarkan cahaya dan nampaknya searti dengan al-Kasyf. Tetapi nampaknya, jika dilihat dari ajarannya maka akan lebih tepat jika diartikan penyinaran atau illuminasi. Corak perenungan yang dikombinasikan dengan pemikiran spekulatif ini, merupakan gabungan dari tasawuf dan filsafat dari berbagai aliran, yang kesemua ajarannya seperti tertera pada kitab Hikmatu al-Isyraq .
Paham isyraq ini menyatakan, bahwa alam ini diciptakan melalui penyinaran atau illuminasi. Kosmos ini terdiri dari susunan bertingkat-tingkat berupa pancaran cahaya. Sedangkan cahaya yang paling tinggi dan sebagai sumber dari segala cahaya itu dinamakan Nurul Anwar atau Nurul ‘A’dzam dan inilah Tuhan yang Azali. Cahaya ini memancar dengan sedemikian terangnya yang disebut Nurul Qahir. Setelah cahaya ini terlepas menjadi cahaya sendiri, maka terjadilah proses saling memandang, dimana sumber cahaya ke dua ini merasa gelap jika dibandingkan dengan sumber cahaya pertama. Dari proses saling memandang ini, maka pada pertemuan cahayanya memunculkan energi, maka muncullah materi pertama atau barzakhul awal. Selanjutnya melalui proses yang sama maka terbentuklah cahaya-cahaya lain yang lebih redup, namun tetap berada dalam limpahan daya dari Nurul Anwar. Maka dalam hal ini, Nurul Anwar merupakan penggerak dan pengausa . Jadi dasar filsafat ajaran Isyraq adalah, bahwa Allah adalah cahaya di atas cahaya dan sumber dari segala yang ada. Dari Nur Allah itulah keluar nur-nur lain, yaitu tiang-tiang alam jasmani dan alam ruhani . Secara lebih jelas bisa dilihat pada Skema III.
Dari uraian tersebut jelas sekali nampak bahwa al-suhrawardi sangat terpengaruh oleh berbagai ilmu dan pemikiran filosofis yang telah dipelajarinya. Lebih jelasnya, bahwa konsep Isyraq tidak lepas dari kecenderungan pada aliran “Phytagorean-Platonis”, duz ajaran nabi-nabi terdahulu, tradisi Hermenetis, bahkan dari ajaran Zoroaster. Bahkan dikatakannya, bahwa konsepnya sangat universal dan bahkan ilmu ini telah memiliki juru bicaranya sendiri, semisal: Plato, Hermes, Empedocles, Phytagoras, Agathadaimon, Ascelpius, Aristoteles dan lain-lain di barat; serta Jamasp, Farashaustra, Buzujumhr, Zoroaster, dan lain-lain di Timur. Ia mengakui bahwa konsep yang didapatkannya diperoleh melalui “penglihatan spiritual” dan praktek “jalan mistik” , yakni jalan iluminasi (isyraq). Meskipun ada perbedaan-perbedaan ungkapan atau metode penguraian, namun bijaksanawan-bijaksanawan di atas telah memberikan andil yang cukup besar dalam membuahkan kebijakan universal dan perennial, yang mulanya diwahyukan kepada Hermes (menurut sumber Muslim disebut Idris atau Nuh), yang berkesinambungan pada al-Bustami, al-Hallaj dan memuncak dalam al-Suhrawardi sendiri . Dengan demikian, konsep yang disampaikan oleh al-Suhrawardi merupakan penggabungan dari berbagai pemikiran filosofis yang ada.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa al-Suhrawardi berusaha melakukan kompromi pemikiran terhadap kenyataan adanya berbegai pemikiran filosofis yang ada dikombinasikan dengan ajaran Islam, sehingga yang dihasilkan adalah konsep pemikiran ontologis-filosofis yang paling logis dan universal. Dikatakannya, paham isyraq ini tidak sama dengan ajaran kaum filosof, mutakallimin ataupun sufi itu sendiri, meskipun memiliki tujuan yang sama yaitu mencari cahaya dari segala cahaya, yaitu Allah SWT. Kesemuanya memiliki jalan atau cara yang berbeda-beda. Filosof, lebih mementingkan akal semata dengan tidak mementingkan kepercayaan. Mutakallimin, disamping mempergunakan akal, juga mempertimbangkan ajaran agama. Sufi, hanya mementingkan perasaan dengan menakwilkan nash-nash yang tidak sesuai dengan perasaan (dzauq) sufistik. Sedangkan kaum isyraq tidak hanya mementingkan perasaan tapi juga menolak segala yang bertentangan dengan nash yang shahih dengan mempertimbangkan rohani dan akal . Dengan demikian, al-Suhrawardi berusaha untuk mengatakan bahwa konsep tasawufnya berbeda dengan ajaran-ajaran atau konsep pemikiran yang lain.
Selanjutnya dikatakan oleh al-Suhrawardi, berkaitan dengan proses illuminasi tersebut, maka adalah kenyataan bahwa manusia juga berasal dari Nurul Anwar, sehingga hubungan manusia dengan Tuhan merupakan hubungan bolak-balik. Namun demikian, manusia yang terjadi dari pletikan cahaya ini harus bisa kembali ke asalnya. Hal ini bisa dilakukan melalui beberapa proses tingkatan, yaitu:
1. La Ilaha Illallah; harus ada ikrar dengan lidah dan pengakuan dalam hati bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Jadi orang itu harus beriman terlebih dahulu.
2. La Ilaha Illa Huwa; hanya Allah yang berhak disebut Dia. Yang sungguh-sungguh ada hanya Allah SWT. Sedangkan yang selain-Nya hanyalah cahaya dari Yang Ada (Allah SWT).
4. La Ilaha Illa Anta; hanya Allah yang berhak disebut disebut Engkau. Pada term Anta (Engkau) dalam kalimat ini, menunjukkan bahwa pada saat yang demikian sudah terjadi syuhud dalam posisi saling berhadapan sehingga terbuka dialog antara manusia dengan Tuhannya.
5. La Ilaha Illa Ana; hanya Allah yang disebut Aku. Hal ini berarti bahwa pada fase ini yang memiliki personality atau syakhsyiyah hanya Dia Allah. Sedangkan akunya manusia lebur dalam kesadaran fana’, tidak ada jarak antara manusia dengan Tuhan, sehingga yang terjadi adalah percakapan monolog.
6. Kullu Syai’in Halikun Illa Wajhahu; selain Allah sudah lebur (fana’) dan yang tinggal abadi hanya Dia. Karena manusia sudah fana’ fillah, maka dia memasuki alam Ilahiyah sehingga kekal bersama Dia. Pada fase inilah terjadi kesatuan wujud, karena segala sesuatu telah fana’, mengalir kepada asalnya yaitu Nurul Anwar .
Konsep ini secara lebih jelas bisa dilihat pada Skema IV.
Semua tingkatan tersebut harus dilalui dengan latihan yang keras sampai pada tingkat kemampuan untuk mengidentifikasi eksistensi dirinya dengan Nurul Anwar. Melalui riyadloh dan mujahadah (latihan dan sungguh-sungguh) potensi ragawi akan melemah dan sirna (fana’) sedangkan ruhani menguat seiring jiwa yang meningkat kemampuan rasanya sehingga cahaya dirinya mampu bergabung kembali dengan asalnya, Nurul Anwar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar