Kamis, 26 Januari 2012

Sebab-Sebab Penyakit Kejiwaan

Oleh: Nashruddin Hilmi, M.Pd.I.
Banyak faktor yang menyebabkan penyakit jiwa, mulai dari pendidikan anak, konsep pribadi yang salah, sampai lingkungan yang kurang kondusif.
Kartini Kartono menjelaskan, ada beberapa kejadian yang bisa menjadi sebab timbulnya konflik batin yang perlu diperhatikan sejak dini pada individu atau seorang anak, yaitu:
1. Kegagalan; kegagalan seorang anak yang bright meraih cita-cita, atau tuntutan yang terlalu besar pada seorang anak yang kemampuannya terbatas, tuntutan yang terlalu besar dari orang tua terhadap prestasi anak, bisa menyebabkan anak menjadi individu yang memiliki konflik batin, gangguan mental, putus asa, grogi, bingung, pusing, merasa tidak mampu dan sebagainya.
2. Kebimbangan; adanya fenomena yang kontras yang dihadapi anak, misalnya antara nasehat orang tua dan kenyataan orang tua sebagai suri tauladan yang keduanya tidak saling mendukung. Fenomena kehidupan yang berbeda dengan konsep moralitas, juga menyebabkan kebingungan anak, bagaimana harus bersikap. Anak menjadi individu yang apatis, menyusun fantasinya sendiri, masa bodoh dan putus asa, serta tidak memiliki prinsip hidup dan serba kebingungan
3. Norma, pantangan dan adat istiadat yang terlampau ketat; Penanaman norma, adat-istiadat yang tidak bijaksana bisa menyebabkan potensi dan dorongan keingin-tahuan anak menjadi terdesak, tenggelam, menjadi unsur kompleks-terdesak. Pada akhirnya timbulnya rentetan konflik batin.
4. Ove-protection yang kurang bijaksana; Kasih sayang yang melimpah, selalu dibantu, diawasi, menyebabkan anak menjadi individu yang kurang mandiri, serba ketakutan, ragu-ragu, kurang percaya diri, rapuh dan kurang berani berfikir. Sementara perlindungan yang berlebihan menyebabkan anak menjadi individu yang penakut, munafik, kepatuhan yang mengandung pemberontakan, ekstrim, yang pada gilirannya menjadi individu yang penuh dendam, ingin berkuasa, dominan, ingin menjajah setiap orang, egois, mau menang sendiri dan mementingkan diri sendiri.
5. Ditolak orang tua; Orang tua yang tidak memiliki tanggung jawab sebagai orangtua, keinginannya adalah kondisi sebagaimana mereka sebelum berkeluarga. Kehadiran anak bagi mereka adalah beban. Pada akhirnya anak mereka menjadi individu yang merasa kehadirannya tidak dikehendaki, merana, kecewa, penuh dendam, penuh penyesalan, tidak betah dirumah, dan sebagainya.
6. Broken Homes; Keluarga yang berantakan menyebabkan anak menjadi bimbang, tidak punya figur teladan, susah, dan memunculkan konflik batin.
7. Cacat jasmaniah; Kekurangan fisik pada anak perlu disikapi dengan bijaksana. Jika tidak maka anak menjadi individu yang mudah tersinggung, mudah sedih, terhina, merasa berdosa, dan sebagainya.
8. Lingkungan sekolah yang buruk; Disipilin yang sangat ketat, aturan-aturan yang sangat mengikat dengan tuntutan kegiatan yang padat,menyebabkan anak menjadi individu yang serba ketakutan, pasif, tidak memiliki pemikiran yang kreatif, dan sebagainya.
9. Pengaruh buruk orang tua; Orang tua adalah suri tauladan dan menjadi pusat figur anak. Kegagalan orang tua menjadi teladan menyebabkan anak menjadi bingung, dan pada akhirnya mencari figur lain yang menurut seleranya disukainya yang bisa jadi adalah figur yang tidak baik.
Lebih lanjut dikatakan oleh Kartini Kartono, sebab-sebab kekalutan mental tersebut adalah: Terbentur pada standar-standar dan norma-norma sosial tertentu, dimana norma-norma itu dianggap sebagai pengikat yang membelenggu kebebasannya, dirasakan sebagai himpitan beban; Konflik kebudayaan, baik individual maupun kolektif, mempengaruhi daya adaptasi dan tingkah laku seseorang, memunculkan sikap yang ambivalen dan pertentangan batin; Masa transisi, dari agraris ke industrial, dari tradisional ke modern, dari feodalisme ke demokrasi, dari masyarakat urban ke masyarakat perkotaan; Meningkatnya aspirasi pada kemewahan materiil, dimana kebahagiaan diukur dari materi dan status sosial, yang memunculkan sikap kompetitif, kejam keras, individualistis, bahkan menggunakan segala cara untuk meraihnya. Di sini, seorang individu yang telah berada di tengah-tengah masyarakat dengan segenap kompleksitas kehidupan dibenturkan pada berbagai fenomena, tuntutan dan keinginan. Memunculkan konflik batin ketika konsep diri dan kepribadiannya tidak kuat. Oleh karena itu, faktor lingkungan luas mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Pandangan ini nampaknya didasarkan pada pendapat behaviorisme yang mengasumsikan bahwa manusia berkembang berdasarkan stimuli yang diterimanya dari lingkungan. Dengan demikian, konflik yang terjadi juga tidak bisa dilepaskan dari kondisi lingkungan yang ada. Artinya, lingkunganlah yang menyebabkan suatu konflik kejiwaan muncul.
Alfred Adler mengatakan bahwa munculnya gangguan kejiwaan disebabkan oleh kegagalannya menyikapi lingkungan dan kehidupan sekitarnya, kebebasannya memilih dan bertingkah laku terhalangi, kebingungan bersikap yang bisa jadi merupakan gejala yang telah ada semenjak kecil dalam hubungannya dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan Freud, melalui psikoanalitisnya, mengatakan bahwa masa bayi sampai usia 5 tahun merupakan masa yang sangat menentukan dan berpengaruh terhadap perilaku dan kepribadian individu. Dari berbagai penelitian yang dilakukan, perilaku menyimpang yang muncul pada individu, meskipun belum bisa secara pasti positif, akan tetapi ada kemungkinan disebabkan juga oleh faktor genetis. Dengan demikian, faktor yang mempengaruhi perilaku menyimpang pada seorang individu bukan saja dari faktor pendidikannya, pengalaman-pengalamannya sejak kecil, bahkan ketika masih bayi, tapi juga ada indikasi faktor keturunan. Faktor-faktor tersebut bisa langsung berpengaruh pada perilaku, bisa juga mengendap dan menjadi bibit-bibit penyimpangan perilaku pada masa dewasa.
Sementara, menurut Maslow, konflik kejiwaan dan perilaku yang menyimpang adalah karena terhalanginya atau tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar, aktualisasi diri, munculnya ancaman terhadap kehidupannya, integritas utama organismenya, serta adanya ancaman terhadap nilai-nilai luhur. Artinya, terdapat ancaman terhadap tujuan-tujuan dasar, nilai-nilai atau kebutuhan dasar sebagai organisme. Sedangkan menurut Frankl, konflik jiwa adalah disebabkan oleh kegagalan individu dalam mendapatkan makna dan rasa tanggung jawab dalam eksistensinya, frustasi pada "keinginan untuk memaknai". Dengan demikian, dari kedua pendapat ini, konflik yang muncul adalah karena frustasi-frustasi yang muncul akibat kegagalan-kegagalan yang dialaminya dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan dalam hidupnya. Berbeda dari kesemuanya, Albert Ellis menyatakan bahwa pemikiran manusia sendirlah penyebab gangguan emosional. Dengan pemikiran rasional, manusia bisa terbebas dari gangguan emosional.
Dari uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa dalam menentukan sebab-sebab gangguan kejiwaan, para ahli berbeda pendapat, masing-masing memiliki landasan filosofis sendiri dalam memandang manusia sebagai sebuah individu. Tentu saja, dalam mengatasi gangguan kejiwaan itupun tidak bisa dilepaskan dari landasan itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar