Senin, 14 Juni 2010

DZIKIR; MENUJU YANG HAKIKI

MUQADDIMAH
Dimana-mana orang-orang berdzikir. Berbagai nama dan bentuk kegiatan berdzikir di-laksanakan. Bahkan akhir-akhir ini kegiatan berdzikir banyak ditayangkan di televisi. Feno-mena ini menunjukkan bahwa dzikir memiliki posisi penting di hati umat Islam. Suatu kesadaran bahwa segenap aktifitas kehidupan haruslah dibarengi dengan dzikir.
Dzikir adalah inti ibadah, merupakan bagian penting dari segenap aspek religiusitas yang memberikan dampak bagi umat. Berbagai fakta dan pendapat para ulama' dan ilmuwan menunjukkan bahwa kondisi religiusitas seseorang sangat berpengaruh terhadap kehidupannya, baik psikis maupun fisis. Bahkan PBB (WHO) secara tegas merekomendasikan bahwa dimensi psiritual setara dengan dimensi fisik, psikologik dan sosial. Dimensi spiritual merupakan aspek penting dalam rangka membentuk manusia modern.

DZIKIR; SIAPA DIRI KITA?
Dzikir adalah mengingat Allah SWT, Rabb al 'Izzati. Untuk bisa mengingat Allah SWT maka harus mengenal-Nya. Untuk bisa mengenal-Nya maka kita harus mengenal siapa diri kita. Artinya, dzikir berarti menyadari siapa diri kita, untuk selanjutnya mengenal-Nya, mengingat-Nya bahkan "berhadapan" dengan-Nya.
Lalu siapakah diri kita? Marilah kita lihat diri kita, seberapa besar diri kita, seberapa pandai diri kita, seberapa hebat diri kita, apa yang kita punyai, apa yang kita banggai. Kita amati diri kita dari luar melalui dunia makro kosmos. Mula-mula dari jarak 1 meter. Lalu semakin menjauh, 10 meter, 101 meter, sebesar apa diri kita. Semakin menjauh, 102 meter, 103 meter, 104 meter. Semua tentang kita telah lenyap, bahkan tempat kita berada-pun terlihat seperti titik yang sangat kecil diantara gugusan pulau-pulau. Semakin menjauh, 105 meter, 106 meter, 107 meter, 108 meter dan seterusnya kita semakin menjauh, melampaui batas ukuran tahun cahaya. Kita hanya bisa melihat planet kita, kemudian kita hanya melihat tata surya kita, kita hanya melihat berjuta-juta tata surya, pada akhirnya kita tinggalkan galaksi kita, kita lihat galaksi tempat kita berada, lalu semakin menjauh, kita hanya melihat gugusan galaksi-galaksi, sampai batas kemampuan akhir kita. Pada akhirnya kita hanya bisa bersujud di tengah-tengah jagad raya ciptaan-Nya, dunia makro kosmos yang begitu teratur dalam penciptaannya. Sehingga kita hanya mampu berucap:
"Ya Allah, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia".
Dalam ketakjuban atas segenap fenomena alam yang luar biasa tersebut, terucap kata-kata:
Maha Suci engkau, Ya Allah
Segala puji hanya bagi-Mu semata, Ya Allah
Ya Allah, Engkau Maha Besar
Selanjutnya, pada diri kita akan muncul kesadaran tentang Ta'alluh Allah SWT (Kekuasaan-Nya yang mutlak dalam kepemilikan dan pengaturan seluruh makhluk). Kesadaran yang muncul teriring ucapan:
Tidak ada Tuhan selain Engkau,Ya Allah
Dia adalah wujud yang hak dan hakiki, sedang selain Dia, akan lenyap binasa. Ternyata, diri kita telah lenyap dalam ke-Agungan-Nya. Betapa Allah SWT telah menunjukkan ke-Agungan-Nya melalui ciptaan-Nya. Pada saat itu lenyap kesombongan kita, lenyap ke"AKU"an kita, yang ada hanya Allah SWT.

Kita amati diri kita kembali, ke dalam diri kita melalui dunia mikro kosmos. Mula-mula pada jarak 1 meter, terlihat tubuh kita keseluruhan. Kemudian semakin dekat, pada daging kita, tulang kita. Lalu semakin mendekat pada jarak 0 meter, 1/101 mikron, yang terlihat adalah bahwa tubuh kita merupakan jaringan-jaringan sel. Semakin jauh ke dalam, pada jarak 1/102 mikron, 1/103 mikron, 1/104 mikron, dan seterusnya. Kita temui bahwa diri kita tidak lebih hanya merupakan kumpulan molekul-molekul, lebih jauh lagi, hanya terlihat kumpulan atom-atom, semakin ke dalam lagi pada batas kemampuan mikroskop elektron kita, pada diri kita ternyata hanya terlihat kumpulan proton, elektron dan neutron. Lalu, apakah wujud itu adalah diri kita. Tentu tidak. Karena hanya sampai di sini kemampuan kita, para fisikawan-pun belum mampu menjelaskan apa sebenarnya diri kita dan apa yang membuat kita hidup. Sampai pada batas ini, kita hanya mampu tersungkur dan bersujud, sadar betapa kecilnya diri kita dan betapa besar ke-Agungan Allah SWT. Sekali lagi kita mengucapkan:
Maha Suci engkau, Ya Allah
Segala puji hanya bagi-Mu semata, Ya Allah
Ya Alah, Engkau Maha Besar

Dalam kesadaran terdalam kembali kita berucap:
Tidak ada Tuhan selain Engkau,Ya Allah


DZIKIR; MENUJU YANG HAKIKI
Ketika muncul kesadaran bahwa betapa diri kita tidak ada artinya, maka kita akan dengan suka rela melepaskan segenap dimensi lahiriyah kita. Sadar bahwa yang lahiriyah ternyata bukan diri kita yang sebenarnya. Yang lahiriyah hanyalah tempat kita, yang suatu saat pasti akan kita tinggalkan. Yang pada akhirnya harus kita pertanggungjawabkan penggunaannya di hari kemudian.
Akhirnya, dengan berdzikir, berarti kita berusaha melepaskan diri dari jeratan-jeratan dimensi lahiriyah kita. Kita sucikan hati dan pikiran kita dari segala hal yang bersifat lahiriyah. Kita lepaskan "nasut" kita, sifat lahiriyah kita, menuju "lahut", menuju ke-Ilahian. Bertemu dengan-Nya. Inilah tujuan hidup kita. Jika kita sucikan diri kita, maka kita akan bertemu dengan Yang Maha Suci.
Ketika diri kita telah berada pada puncak kesadaran di atas, maka saat itulah kita yakin bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa kita andalkan selain-Nya, keagungan-Nya, ke-Maha Kuasaan-Nya. Kita menghadap kepada-Nya tanpa ada sesuatupun yang menghalangi dan mengotori pikiran serta hati kita. Kepada-Nya kita hidup dan mengabdi, kepada-Nya kita meminta pertolongan, dan kepada-Nya kita akan kembali. Saat itu kita betul-betul berhadapan dan merasa dekat dengan-Nya, sehingga kita bisa berucap:
"Kepada-MU kami menyembah dan kepada-MU kami meminta pertolongan"
Kitapun berucap:
Tidak ada Tuhan selain ENGKAU, Ya Allah
Kalimat ini menuntut adanya suatu kesadaran yang tinggi bahwa kita tengah berdialog dengan-Nya, kita yakini bahwa Dia senantiasa mengawasi kita, dekat dengan kita.

DZIKIR; REORIENTASI TUJUAN HIDUP
Jika pada diri kita telah ada kesadaran tentang Ta'alluh Allah SWT, dan betapa bahwa diri kita dan segenap yang melekat pada diri kita adalah sesuatu yang tidak kekal, akankah kemudian kita meninggalkan seluruh aktifitas dan dimensi fisik kita? Meninggalkan kehidupan duniawi? Tidak!
Berdzikir berarti menyadari akan hakikat diri dan posisi kita yang sebenarnya. Yakni sebagai makhluk yang tiada daya, tiada kekal, hanya mengandalkan ke-Murahan-Nya. Makhluk yang diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya. Makhluk yang diciptakan untuk menjadi Khalifah di atas bumi-Nya. Inilah diri kita sebenarnya. Makhluk yang menyadari hakikat dirinya, tujuan dirinya, melaksanakan tugas-tugas duniawiyah tanpa harus terjebak dalam keduniawian tersebut.
Sebenarnya diri kita bernama "abdullah". Sedangkan dunia kita, jabatan kita, kekayaan kita, profesi kita, keluarga kita, dan segala yang melekat dan menjadi identitas diri kita adalah peran-peran yang diberikan oleh Allah SWT semata. Peran yang harus kita jalani sebagai wujud pengabdian kepada-Nya, tanpa melupakan bahwa diri kita sebenarnya adalah "abdullah". Menjadi aktor yang tidak lupa akan dirinya yang sebenarnya, aktor yang tidak terseret pada peran yang dimainkannya.
Jika demikian kesadaran kita, maka kita membutuhkan teladan sebagai pijakan dalam segenap aktifitas kita, Rasulullah SAW. Pada diri Rasul terdapat keseimbangan yang serasi antara kehidupan ruhiyah dan jasadiyahnya, antara kehidupan ukhrowiyah dan duniawiyahnya. Pada dirinya terdapat kesadaran untuk senantiasa mengarahkan diri pada dimensi "lahut" dengan tetap menyadari adanya dimensi "nasut" tanpa harus terjebak di dalamnya.
Dengan kesadaran inilah kita mengucap:
Muhammad adalah utusan-Mu, Ya Allah. Muhammad adalah pembimbing umat manusia dalam menjalani kehidupan duniawi.
Dengan demikian, kehidupan yang kita jalani senantiasa berada pada jalur yang sebenarnya. Bukan jalur yang menyesatkan dan mengarahkan kita pada dimensi jasadiyah semata, dimensi duniawiyah semata. Bukan jalur yang menjerat diri kita sehingga kita tidak mampu keluar dari dimensi jasadiyah, dimensi yang nisbi dan tidak kekal, dimensi yang kosong.

PENUTUP
Dengan berdzikir kita menyadari hakekat diri kita. Dengan berdzikir kita menghadap kepada-Nya. Dengan berdzikir kita perbaiki kembali tujuan hidup yang sebenarnya.
Mungkin dalam setiap nafas dan detak jantung kita berdzikir. Mungkin dalam setiap tindakan kita berdzikir. Mungkin hanya pada setiap ibadah mahdzah kita berdzikir. Bahkan mungkin hanya pada waktu tertentu berdzikir. Bahkan mungkin hanya pada waktu malam menjelang tidur kita berdzikir. Dzikir, berarti belajar menjadi diri yang sebenarnya. Wallahu a'lam bi Ash-Shawaab

Jumat, 11 Juni 2010

KONSEP WAHDATU AL-WUJUD

Secara bahasa wahdatul wujud berarti: kesatuan wujud, unity of existence. Merupakan paham yang dibawa oleh Muhiddin Ibnu Arabi (560 H/1165 M - 638 H/1240 M). Paham ini merupakan kelanjutan dari paham lainnya yang terdahulu, karena memiliki dasar konsep filosofis yang sama, yaitu teori emanasi dalam proses penciptaan alam. Jika dihubungkan dengan konsep al-Hallaj dan yang lainnya, boleh dikatakan bahwa pemikiran Ibnu Arabi merupakan puncak konsep tasawuf falsafi yang paling sempurna. Perbedaannya adalah bahwa jika al-Hallaj menggunakan istilah lahut, maka diganti oleh Ibnu Arabi dengan istilah al-Haqq, sedangkan nasut diganti dengan istilah al-Khalq.
Sebagaimana uraian Ibnu Arabi dalam kitab-kitabnya, maka yang pertama-tama harus dipahami dalam konsep Wahdatul Wujud ini adalah bahwa pada mulanya keberadaan Tuhan adalah dalam kesendiriannya yang mutlak. Tidak dikenal dan tidak mempunyai sifat. Keadaan ini disebut “’ama”atau “ahadiat” . Selanjutnya, sebagaimana dijelaskan pula oleh Ibnu Arabi dalam kitab al-futuhat al-Makkiyah, Allah adalah Dzat Yang Awal. Keberadaan yang tidak disebabkan oleh suatu apapun.Tidak ada sesuatupun yang awalbersama-Nya, Dia adal dengan sendiri-Nya, tidak membutuhkan sesuatu apapun selain Dia. Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak berhajat pada alam semesta . Kemudian ia berada dalam keadaan-Nya yang potensialagar dapat terlihat oleh diri-Nya sendiri. Keadaan ini disebut “huwiyyah”. Barulah Ia ingin dikenal dan bertajalli kepada makhluk-Nya dengan menciptakan alam. Keinginan Tuhan untuk dapat melihat dirinya dan agardapat dikenali melalui ciptaan-Nya didasarkan pada Hadits Qudsi: Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk dan merekapun kenal pada-Ku melalui diri-Ku . Dikatakannya juga bahwa adapun yang pertama sekali wujud dari Nur Ilahi ini adalah Nur Muhammad atau Haqiqah Muhammad. Dari padanyalah terbitnya alam ini .
Selanjutnya, dalam proses penciptaan alam semesta ini, sebagaimana dijelaskan Ibnu Arabi dalam Kitab Fusus al-Hikam, melalui tahapan-tahapan yang bisa disimpulkan sebagai berikut:
a. Wujud Tuhan sebagai Wujud Mutlak, yaitu Dzat yang mandiri tanpa disebabkan/ berhajat wujud-Nya kepada sesuatu apapun.
b. Wujud al-Haqiqah al-Muhammad, sebagai emanasi pertama dari Wujud Tuhan, dan dari padanya melimpah wujud-wujud lainnya.
c. Wujud al-‘ayan al-Sabitah (wujud yang ada pada ilmu Tuhan) yang disebut ‘Alam Ma’ani.
d. Realitas-realitas ruhaniah (wujud-wujud ruhani) yang disebut alam arwah.
e. Realitas-realitas an-Nafsityah (wujud-wujud jiwa) yang disebut alam al-Nafs al-Natiqah.
f. Wujud-wujud jasad materi yang disebut dengan ‘Alam al-Misal.
g. Wujud-wujud jasad bermateri yang disebut dengan ‘alam al-Jism al-Madliyah atau ‘Alam al-Syahadah atau ‘Alam al-Hissi .
Secara lebih jelas lihat skema V.
Dari uraian di atas, maka bisa dikatakan bahwa Muhammad SAW adalah prototype alam semesta dan manusia, bahwa Nur Muhammad merupakan cermin alam secara keseluruhan yang masing-masing dapat melihat yang lain. Nur Muhammad merupakan sesuatu yang memancar dari Tuhan sebagai cerminan kesempurnaan-Nya sehingga Ia dapat menampakkan diri . Itulah sebabnya esensi alam ini adalah Tuhan, sedanglahirnya berupa materi hanyalah bayang-bayang, yang sebenarnya tidak ada. Ibnu Arabi menyatakan, sesungguhnya para muqarrabin telah menetapkan bahwa tidak ada wujud yang sesungguhnya dalam alam ini, melainkan Allah. Dan kita meskipun ada, sesungguhnya adanya adalah dengan Dia. Sesuatu yang tergantung wujudnya pada-Nya, sebenarnya sesuatu itu dihukumkan tidak ada. Jadi, adanya makhluk hanyalah bayang-bayang bagi yang punya bayang-bayang dan merupakan gambar dalam cermin dimana wujud yang
diluar cermin jualah yang sebenarnya ada. Oleh karena itu makhluk seluruhnya hanyalah bayang-bayang belaka.
Pendapatnya ini tampak dalam sya’irnya:
Wujud yang hakiki hanyalah wujud Allah, sedangkan wujud makhluk hanyalah bayag-bayang dari yang punya bayag-bayang (Tuhan) atau gambaran dari kaca yang mengaca.
Maka makhluk adalah baying-bayang sedangkan al-Haqq adalah Yang Maha Suci dan makhluk adalah tiruan .

Lebih jauh dikatakan oleh Ibnu Arabi:
Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin, ia menjadi banyak

Senada dengan hal ini adalah ucapan Parmenides
Yang ada itu satu, yangbanyak itu tak ada. Yang kelihatan banyak dengan panca indera adalah ilusi .

Dikatakan juga oleh Ibnu Arabi:
Wahai Pencipta segala sesuatu dalam diri-Mu. Pada-Mu terhimpun segala yang Engkau jadikan. Engkau ciptakan apapun yang ada dengan tak terbatas dalam diri-Mu. Sebab Engkau adalah yang unik meliputi seluruhnya .

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa teori emanasi dalam proses penciptaan alam telah mengisi dan mendasari system pemikiran Ibnu Arabi, yang menjelaskan bahwa alam ini bersumber dari yang satu, Tuhan. Dalam hal ini nampaknya Ibnu Arabi berusaha menolak adanya teori filsafat yang mengatakan bahwa alam ini berasal dari tiada kepada ada (creatio ex nihilo) sebagaimana pendapat Gorgias. Lebih lanjut, dikatakan oleh Ibnu Arabi, bahwa tidak ada wujud kecuali wujud yang satu (Tuhan). Dengan kata lain tidaklah alam ini dalam bentuknya yang beraneka ragam ini melainkan manifestasi wujud Allah Ta’ala. Dan manifestasi yang paling sempurna adalah Nur Muhammad yang merupakan wujud pertama yang kemudian tercermin sebagai wujud manusia, sebagai Nabi Muhammad yang merupakan Insan Kamil. .
Menurut Ibnu Arabi, manusia harus bisa mencapai derajat Insan Kamil yang merupakan wujud dasarnya. Hal ini bisa dilakukan melalui jalan sebagai berikut:
a. Fana’, yaitu sirna di dalam wujud Tuhan sehingga sang sufi menjadi satu dengan-Nya.
b. Baqa’, yaitu kelanjutan wujud bersama Tuhan sehingga dalam padanya, wujud Tuhanlah pada kesegalaan ini .
Dengan kata lain, seorang sufi bisa mencapai derajat Insan Kamil (sebagai hakekat diri yang sebenarnya) jika benar-benar telah membersihkan dirinya, sehingga yang nampak dalam dirinya adalah aspek al-Haqqnya. Di sini ia telah merasa keluar dari aspek al-Khalqnya. Dalam keadaan demikian ia dapat menjadi penampakan lahir asma Allah SWT, af’al (perbuatan) Allah SWT, dan sifat Allah SWT, bahkan lebih jauh lagi, akan menjadi nampakan lahir wujud Allah SWT .
Namun dalam kenyataan ini, Prof. HA. Rivay Siregar menegaskan bahwa yang dimaksud penyatuan adalah suatu keadaan “bangunnya”jiwa particular serta sadar akan penyatuan yang pada hakekatnya telah ada diantara jiwa particular dengan jiwa universal itu. Sehingga tujuan akhir dari pengalaman mistis dan sasaran akhir dari usaha-usahanya bukanlah untuk menjadi satu dengan Tuhan – karena ia benar-benar telah bersatu, tetapi adalah untuk menyadari makna penyatuan itu. Dari penegasan ini terlihat bahwa manusia tidak pernah menjadi Tuhan dan tidak ada manusia Tuhan. Dengan demikian, maka pengetahuan sufi yang diperoleh melalui pengahayatan esoteris, bukanlah dimaksudkan dalam pengertian riil, tetapi muncul langsung dari jiwa particular itu sendiri . Di sinilah dipahami bahwa Wahdatul Wujud bukanlah penyatuan dalam arti riil/jasmaniah atau universal, tapi particular semata.

KONSEP ISYRAQ

Konsep tasawuf falsafi yang paling orisinil diantara konsep-konsep yang lain adalah al-Isyraq ini. Paham ini dimunculkan dan dikembangkan oleh al-Suhrawardi yang memiliki nama lengkap Abu al-Futuh Yahya bin Habsyi bin Amrak, bergelar syihabuddin, dikenal juga dengan sebutan al-Hakim, yang terlahir di Suhrawad pada tahun 549 H. Kehidupannya digunakan untuk mengembara menuntut berbagai ilmu; Fiqh, Teologi, Ilmu Hikmah, Filsafat Yunani, Filsafat India dan Persia, dan sebagainya. Dihukum mati oleh Salahuddin Al-Ayubi pada tahun 587 H/1191 M, akibat rasa iri dan dengki sebagian orang ketika melihat kemampuannya dan kedekatannya dengan putra mahkota, al-Zahir, serta kekhawatiran dia akan mempengaruhi akidah sang putra mahkota .
Isyraq berarti bersinar atau memancarkan cahaya dan nampaknya searti dengan al-Kasyf. Tetapi nampaknya, jika dilihat dari ajarannya maka akan lebih tepat jika diartikan penyinaran atau illuminasi. Corak perenungan yang dikombinasikan dengan pemikiran spekulatif ini, merupakan gabungan dari tasawuf dan filsafat dari berbagai aliran, yang kesemua ajarannya seperti tertera pada kitab Hikmatu al-Isyraq .
Paham isyraq ini menyatakan, bahwa alam ini diciptakan melalui penyinaran atau illuminasi. Kosmos ini terdiri dari susunan bertingkat-tingkat berupa pancaran cahaya. Sedangkan cahaya yang paling tinggi dan sebagai sumber dari segala cahaya itu dinamakan Nurul Anwar atau Nurul ‘A’dzam dan inilah Tuhan yang Azali. Cahaya ini memancar dengan sedemikian terangnya yang disebut Nurul Qahir. Setelah cahaya ini terlepas menjadi cahaya sendiri, maka terjadilah proses saling memandang, dimana sumber cahaya ke dua ini merasa gelap jika dibandingkan dengan sumber cahaya pertama. Dari proses saling memandang ini, maka pada pertemuan cahayanya memunculkan energi, maka muncullah materi pertama atau barzakhul awal. Selanjutnya melalui proses yang sama maka terbentuklah cahaya-cahaya lain yang lebih redup, namun tetap berada dalam limpahan daya dari Nurul Anwar. Maka dalam hal ini, Nurul Anwar merupakan penggerak dan pengausa . Jadi dasar filsafat ajaran Isyraq adalah, bahwa Allah adalah cahaya di atas cahaya dan sumber dari segala yang ada. Dari Nur Allah itulah keluar nur-nur lain, yaitu tiang-tiang alam jasmani dan alam ruhani . Secara lebih jelas bisa dilihat pada Skema III.
Dari uraian tersebut jelas sekali nampak bahwa al-suhrawardi sangat terpengaruh oleh berbagai ilmu dan pemikiran filosofis yang telah dipelajarinya. Lebih jelasnya, bahwa konsep Isyraq tidak lepas dari kecenderungan pada aliran “Phytagorean-Platonis”, duz ajaran nabi-nabi terdahulu, tradisi Hermenetis, bahkan dari ajaran Zoroaster. Bahkan dikatakannya, bahwa konsepnya sangat universal dan bahkan ilmu ini telah memiliki juru bicaranya sendiri, semisal: Plato, Hermes, Empedocles, Phytagoras, Agathadaimon, Ascelpius, Aristoteles dan lain-lain di barat; serta Jamasp, Farashaustra, Buzujumhr, Zoroaster, dan lain-lain di Timur. Ia mengakui bahwa konsep yang didapatkannya diperoleh melalui “penglihatan spiritual” dan praktek “jalan mistik” , yakni jalan iluminasi (isyraq). Meskipun ada perbedaan-perbedaan ungkapan atau metode penguraian, namun bijaksanawan-bijaksanawan di atas telah memberikan andil yang cukup besar dalam membuahkan kebijakan universal dan perennial, yang mulanya diwahyukan kepada Hermes (menurut sumber Muslim disebut Idris atau Nuh), yang berkesinambungan pada al-Bustami, al-Hallaj dan memuncak dalam al-Suhrawardi sendiri . Dengan demikian, konsep yang disampaikan oleh al-Suhrawardi merupakan penggabungan dari berbagai pemikiran filosofis yang ada.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa al-Suhrawardi berusaha melakukan kompromi pemikiran terhadap kenyataan adanya berbegai pemikiran filosofis yang ada dikombinasikan dengan ajaran Islam, sehingga yang dihasilkan adalah konsep pemikiran ontologis-filosofis yang paling logis dan universal. Dikatakannya, paham isyraq ini tidak sama dengan ajaran kaum filosof, mutakallimin ataupun sufi itu sendiri, meskipun memiliki tujuan yang sama yaitu mencari cahaya dari segala cahaya, yaitu Allah SWT. Kesemuanya memiliki jalan atau cara yang berbeda-beda. Filosof, lebih mementingkan akal semata dengan tidak mementingkan kepercayaan. Mutakallimin, disamping mempergunakan akal, juga mempertimbangkan ajaran agama. Sufi, hanya mementingkan perasaan dengan menakwilkan nash-nash yang tidak sesuai dengan perasaan (dzauq) sufistik. Sedangkan kaum isyraq tidak hanya mementingkan perasaan tapi juga menolak segala yang bertentangan dengan nash yang shahih dengan mempertimbangkan rohani dan akal . Dengan demikian, al-Suhrawardi berusaha untuk mengatakan bahwa konsep tasawufnya berbeda dengan ajaran-ajaran atau konsep pemikiran yang lain.
Selanjutnya dikatakan oleh al-Suhrawardi, berkaitan dengan proses illuminasi tersebut, maka adalah kenyataan bahwa manusia juga berasal dari Nurul Anwar, sehingga hubungan manusia dengan Tuhan merupakan hubungan bolak-balik. Namun demikian, manusia yang terjadi dari pletikan cahaya ini harus bisa kembali ke asalnya. Hal ini bisa dilakukan melalui beberapa proses tingkatan, yaitu:
1. La Ilaha Illallah; harus ada ikrar dengan lidah dan pengakuan dalam hati bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Jadi orang itu harus beriman terlebih dahulu.
2. La Ilaha Illa Huwa; hanya Allah yang berhak disebut Dia. Yang sungguh-sungguh ada hanya Allah SWT. Sedangkan yang selain-Nya hanyalah cahaya dari Yang Ada (Allah SWT).
4. La Ilaha Illa Anta; hanya Allah yang berhak disebut disebut Engkau. Pada term Anta (Engkau) dalam kalimat ini, menunjukkan bahwa pada saat yang demikian sudah terjadi syuhud dalam posisi saling berhadapan sehingga terbuka dialog antara manusia dengan Tuhannya.
5. La Ilaha Illa Ana; hanya Allah yang disebut Aku. Hal ini berarti bahwa pada fase ini yang memiliki personality atau syakhsyiyah hanya Dia Allah. Sedangkan akunya manusia lebur dalam kesadaran fana’, tidak ada jarak antara manusia dengan Tuhan, sehingga yang terjadi adalah percakapan monolog.
6. Kullu Syai’in Halikun Illa Wajhahu; selain Allah sudah lebur (fana’) dan yang tinggal abadi hanya Dia. Karena manusia sudah fana’ fillah, maka dia memasuki alam Ilahiyah sehingga kekal bersama Dia. Pada fase inilah terjadi kesatuan wujud, karena segala sesuatu telah fana’, mengalir kepada asalnya yaitu Nurul Anwar .
Konsep ini secara lebih jelas bisa dilihat pada Skema IV.
Semua tingkatan tersebut harus dilalui dengan latihan yang keras sampai pada tingkat kemampuan untuk mengidentifikasi eksistensi dirinya dengan Nurul Anwar. Melalui riyadloh dan mujahadah (latihan dan sungguh-sungguh) potensi ragawi akan melemah dan sirna (fana’) sedangkan ruhani menguat seiring jiwa yang meningkat kemampuan rasanya sehingga cahaya dirinya mampu bergabung kembali dengan asalnya, Nurul Anwar.

KONSEP HULUL

Ajaran Hulul dikembangkan oleh Husain bin Mansur al-Hallaj (244-309 H). Beliau adalah tokoh yang paling kontriversial di dalam sejarah tasawuf yang akhirnya menemui ajalnya di tiang gantungan . Doktrin Hulul adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan lanjut dari al-ittihad. Keduanya memiliki persamaan, yaitu bahwa segala sesuatu pada hakekatnya adalah satu, Yang Hakiki. Adapun perbedaanya, jika dalam Ittihad manusia naik menyatu dengan Ilahi, maka dalam Hulul ini Tuhan turun dan mengambil tempat dalam diri manusia.
Al-Hulul memiliki pengertian bahwa Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat kemanusiaannya melalui fana dan ekstase . Menurut al-Hallaj, manusia memiliki sifat ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut), demikian juga dengan Allah. Hal ini didasarkan kepada peristiwa yang digambarkan dalam al-Qur’an tentang proses penciptaan Adam as, dimana Malaikat dan Iblis disuruh Allah untuk bersujud kepada Adam (Q.S. Al-Baqarah 34). Al-Hallaj berpendapat bahwa sebab keduanya disuruh bersujud adalah karena pada diri Adam as terdapat bentuk yang disebut lahut, artinya Adam as adalah Allah SWT . Pemahaman ini juga didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim dan Ibnu Hanbal yang berarti “Sesungguhnya Allah SWT menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya” .
Diungkapkan oleh Harun Nasution, sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri ( ). Dalam kesendirian-Nya itu, terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dialog yang didalamnya tak terdapat kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian Dzat-Nya ( ). Allah melihat Dzat-Nya dan Ia-pun cinta pada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tidak bisa disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab yang banyak ini. Ia-pun mengeluarkan dari yang tiada (ex nihilo) bentuk (kopi) dari diri-Nya ( ) yang mempunyai segala sifat dan nama-Nya. Bentuk (kopi) itu adalah Adam (melalui proses emanasi dalam berbagai tahap/tingkatan yang akan diuraikan lebih lanjut – pen.). Setelah menjadikan Adam dengan cara ini, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam ( ). Pada diri Adamlah Allah muncul dalam bentuknya ( ). .
Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat ketuhanan (lahut), demikian sebaliknya, pada diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Adam pada kenyataannya adalah Dia. Teori ini memberikan asumsi bahwa al-Hallaj telah terpengaruh oleh dogma Kristen tentang inkarnasi, semakin terbukti ketika al-Hallaj menggunakan istilah lahut “devine nature” dan nasut “human nature”, walaupun teori al-Hallaj ini nampak lebih kompleks untuk dikatakan sama .
Konsep lain, yang merupakan perincian dari konsep pemaparan tentang kejadian Adam di atas, sebagaimana diungkapkan oleh Simuh adalah bahwa dalam persoalan terjadinya alam semesta melalui proses emanasi atau faidl (memancar, melimpah). Dalam hal ini, Abdul Hakim Hassan dalam kitab-Nya al-Tasawwuf fi al-Syi’ri al-‘arabi menyatakan sebagai berikut:
Al-Hallaj adalah orang yang mula-mula mengajarkan adanya Nur Muhammad, yaitu suatu konsep yang kemudian kadang disamakan dengan logos dan kadang pula disebut Insan Kamil (manusia sempurna). Al-Hallaj mengajarkan bahwa mula pertama yang diciptakan Allah SWT adalah Nur Muhammad, terciptanya segala apa yang ada (dalam alam semesta) ini. Dan Nur Muhammad ini bersifat Azali dan Qadim. Adanya mendahului segala maujud (alam semesta) ini. Maka Muhammad itu (dalam bentuk hakikinya) adalah Nur Allah, bersifat Azali dan Qadim mendahului setiap makhluk. Sedang kedudukannya sebagai Rosul Allah adalah manusia bersifat baharu, menjadi penutup segala Nabi. Diantara segala nur, tidak ada nurnya segala nur yang amat terang dan qadim selain Nur nya Muhammad yang adanya mendahului Adam dan namanya mendahului Kalam, lantaran wujud sebelum adanya segala makhluk.

Menurut al-Hallaj, sebagaimana diungkapkan oleh Hamka dalam buku Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, kejadian manusia terbentuk dari dua rupa. Pertama, rupanya yang Qadim dan Azali, yaitu dia telah terjadi sebelum terjadinya segala yang ada. Ke dua, ialah rupanya sebagai manusia, sebagai seorang nabi dan Rosul yang diutus Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan mengalami maut, tetapi rupanya yang Qadim akan tetap ada meliputi alam . Paham tentang Nur Muhammad ini berpangkal dari hadits yang sangat popular di kalangan sufi yaitu: Aku berasal dari cahaya Tuhan dan seluruh dunia berasal dari cahayaku
Dari uraian di atas, maka jelas bahwa paham al-Hallaj menjelaskan adanya immanensi Tuhan dalam diri manusia. Teori ini identik dengan emanasi untuk menjelaskan adanya pancaran Nur Ilahi yang berwujud alam semesta. Pada dasarnya manusia memiliki anasir keilahian yang immanen dalam dirinya., Dan orangyang mampu mengungkapkan sifat keilahian dari tabiat kemanusiaannya (nasutnya) berarti mencapai tingkat Insan Kamil atau Jadi Waliyullah yang suci.
Ajaran ini semakin tergambar jelas melalui sya’irnya:
Maha suci dzat yang sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang,
Kemudian kelihatan pada bentuk lahiriahnya pada wujud manusia yang makan dan minum

Agar manusia memahami kesadaran ini dan dapat bersatu dengan Tuhan, ia harus lebih dahulu menghilangkan sifat kemanusiaannya melalui fana’. Kala sifat-sifat kemanusiaan itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat ketuhanan dalam dirinya, disitulah Tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya, dan ketika itu keadaan adalah bahwa yang ada pada diri manusia adalah sifat-sifat ketuhanan. Sehingga dalam kesadarnnya manusia itu adalah Tuhan itu sendiri. Hal ini nyata dalam sya’irnya:
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci.
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.
Berikutnya ia berkata pula:
Aku adlah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh.
Jika engkau lihat aku engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami .

Dari ungkapan di atas jelas bahwa masih ada wujud manusia dan sama sekali tidak sirna atau hancur. Jadi hulul hanyalah sebuah figurative (penggambaran keadaan) bukan riil, karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam keadaan fana’dan dalam iradah Allah SWT . Atau dengan kata lain, sesuai dengan terminology yang dipergunakannya, hululnya lahut dengan nasut. Lebih lanjut digambarkan oleh al-Hallaj bahwa pada hulul terkandung kefana’an total, kehendak manusia dalam kehendak Ilahi, sehingga setiap tindakan manusia berasal dari kehendak Allah SWT. Manusia, menurutnya, “sebagaimana dia tidak memiliki asal tindakannya, begitu juga dia tidak memiliki tindakannya” . Karena segala sesuatu adalah dari Allah semata. Konsep bertasawuf Hulul ini secara lebih jelas bisa dilihat pada Skema II.
Tidak adanya penyatuan dalam arti riil ini lebih jelas sebagaimana dinyatakannya dalam sya’irnya:
Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, aku satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami .

Dengan demikian, sebagaimana halnya dengan Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj ketika menyatakan an al-haqq ( ) bukanlah ruh al-Hallaj yang mengucapkan hal itu, tetapi ruh Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya. Dalam suatu kesempatan, sebagaimana diungkapkan oleh at-Taftazani dalam buku Madkhal Ila al-Tasawwuf al-Islamy, al-Hallaj menyatakan:
Barangsiapa mengira bahwa lahut (ketuhanan) berpadu jadi satu dengan nasut (kemanusiaan) ataupun nasut berpadu dengan lahut, maka kafirlah dia. Sebab Allah mandiri dalam Dzat maupun Sifat-Sifat-Nya, berbeda dengan dzat dan sifat makhluk-Nya; dan merekapun sama sekali tidak menyerupai-Nya.
Dan katanya pula …
Seperti halnya nasutku lebur dalam lahut-Mu, tanpa berpadu dengan-Nya, Lahut-Mu menguasai nasutku, tanpa berpadu dengannya .

Di sini al-Hallaj secara tegas meniadakan segala macam bentuk dan unsur anthropomor-phisme, walaupun pada awalnya seolah ada kontradiksi pada pernyataan tentang hulul, di satu kesempatan seolah ada pernyataan tentang penyatuan tapi pada sisi lain dia menegasikan penyatuan itu. Akhirnya, adalah sangat tidak logis apabila seorang sufi yang sepanjang hidupnya merindukan dan mencari Tuhan, mengaku dirinya Tuhan.

KONSEP ITTIHAD

Ittihad secara bahasa berarti bergabung, menyatu; unity. Sebagaimana Fana’ dan Baqa’, Ittihad diperkenalkan oleh Abu Yazid Al-Busthami sebagai stage yang menyusul Fana’ dan Baqa’. Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan Fana’ dan Baqa’, maka pada saat itu ia telah menyatu dengan Tuhan; suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga bisa saling memanggil. Karena yang dilihat dan dirsaakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang dicintai atau antara sufi dan Tuhan, identitas telah hilang melebur dalam satu wujud dan karena fana’nya sehingga tidak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara dengan nama Tuhan .
Abu Yazid adalah pencinta sejati terhadap Tuhannya. Dia adalah seorang yang senantiasa berusaha mencari jalan untuk bisa selalu dekat kehadirat Allah SWT. Sampai suatu saat dia berkata:
Aku bermimpi melihat Tuhan. Akupun bertanya: Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu? Dia menjawab: Tinggalkan dirimu dan datanglah .

Maka selanjutnya, dengan fana’ Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi menghadap kehadirat Tuhan. Keadaan ini ditandai dengan syathahat yang diucapkannya ketika mencapai gerbang ittihad. Ucapan itu misalnya:
Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina,
Tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku, karena Engkau Raja Maha Kuasa .

Inilah ucapan Abu Yazid yang menggambarkan kegembiraan hatinya karena cinta Tuhan telah terlimpahkan pada dirinya, padahal dia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang hamba yang hina.
Lebih lanjut, Abu Yazid menggambarkan proses ittihadnya, sebagaimana diungkapkan Al-Thusi dalam kitab al-Luma’, dia berkata:
Pada suatu ketika saya dinaikkan kehadirat Allah seraya Ia berkata kepada saya, Hai Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihatmu. Aku menjawab, hiasilah aku dengan ke-Esaan-Mu, pakaikanlah aku sifat-sifat ke-dirian-Mu, dan angkatlah aku ke dalam ke-Esaan-Mu sehingga apabila makhluk-Mu melihat aku mereka akan berkata: “Kami telah melihat Engkau”. Tapi sebenarnya yang mereka lihat adalah Engkau karena sesungguhnya pada saat itu aku tidak berada di sana .

Lebih jelas dikatakan oleh Abu Yazid:
Tuhan berkata: Semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Äkupun berkata: Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.

Selanjutnya Abu Yazid berkata:
Percakapanpun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun berkata: Hai engkau. Aku dengan perantara-Nya menjawab: Hai Aku. Ia berkata: Engkaulah yang satu. Aku menjawab: Akulah yang sati. Ia berkata selanjutnya: Engkau adalah Engkau. Aku menjawab: Aku adalah Aku.

Namun dalam kesempatan lain setelah shalat Subuh, Abu Yazid berkata:
Sesungguhnya aku, Aku adalah Allah, Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku

Ia juga berkata:
Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku

Senada dengan hal tersebut, lebih lanjut Abu Yazid berkata:
Diceritakan, pernah seorang laki-laki dating ke rumah Abu Yazid seraya mengetok pintunya, Abu Yazid bertanya: Siapa yang engkau cari? Orang itu menjawab: Abu Yazid. Selanjutnya Abu Yazid berkata: Pergilah, dirumah ini tidak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.
Pada kesempatan lain dia berkata:
Yang ada dalam baju ini hanya Allah

Tentang ungkapan-ungkapannya tersebut di atas, Abu Yazid berkata:
Sebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya sedangkan saya sendiri dalam keadaan fana’ .

Dengan demikian, dari ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh Abu Yazid di atas, maka bisa disimpulkan bahwa dikarenakan kesadaran dan penglihatan kepada selain Dia telah musnah (fana) maka terjadilah penyatuan dirinya kepada Dzat Yang Maha Tinggi, suatu kesadaran bahwa tidak ada lagi yang lain dalam kenyataan ini selain Dia, bahkan dirinya adalah Dia. Namun, dia tidaklah mengakui bahwa dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.
Menurut Abu Yazid, pencapaian ittihadnya melalui latihan berat dan intensif selama bertahun-tahun, dalam hal ini dia berkata:
Dua belas tahun lamanya aku menjadi pandai besi bagi diriku. Kulemparkan diriku dalam rungku riyadlah (latihan). Kubakar dengan api mujahadah (perjuangan). Kuletakkan di atas alas penyesalan. Kupukul dengan martil pengutukan diri sehingga dapatlah kutempa sebuah cermin diriku sendiri. Lima tahun lamanya aku menjadi cermin diriku yang selalu kukilapkan dengan bermacam-macam ibadah dan ketakwaan. Setahun lamanya aku memandangi cermin diriku dengan penuh perhatian. Ternyata kulihat diriku terlilit sabuk takabbur, kecongkakan, ria, ketergantungan pada ketaan dan membanggakan amal-amal. Aku lalu beramal selama lima tahun sampai sabuk itu terputus dan aku memeluk Islam kembali. Kupandangi para makhluk dan kulihat mereka semua mati sehingga aku bertakbir empat kali untuk mereka dan aku kembali dari jenazah mereka semua. Aku sampai kepada Allah dengan pertolongan Allah sendiri tanpa perantara makhluk.

Dari ucapan Abu Yazid tersebut, bisa dipahami betapa keinginan yang kuat telah membawanya pada suatu kesadaran akan hakekat hidup dan tujuan hidup. Keinginannya tersebut telah terpenuhi melalui pertemuannya dengan Yang Hakiki dan Maha Tinggi. Itulah sebabnya, ketika seseorang bertanya tentang umurnya ia berkata: Umurku hanya empat tahun, aku telah tertabiri oleh dunia selama tujuh puluh tahun dan baru melihat-Nya selama empat tahun . Inilah gambaran perjuangan Abu Yazid dalam upayanya untuk mencari Yang Hakiki dalam hidup ini. Konsep Ittihad ini secara lebih jelas bisa dilihat pada Skema I.

TASAWWUF FALSAFI DAN KONTROVERSINYA

Tasawuf falsafi, sepanjang sejarahnya telah menimbulkan pro dan kontra, baik dilihat sebagai bagian dari tasawuf maupun sebagai ilmu tasawuf yang berdiri sendiri. Kontroversi ini berupa; Pertama, Tasawuf, konsep dasarnya secara umum yang menyatakan bahwa dunia ini fana’, cermin, unreal, appearance, kecenderungan pada sikap rasionalis-metafisis dan kasyf, dus menjadikan manusia cenderung bersikap apatis terhadap kehidupan, berusaha menghindar dari hal-hal duniawiyah, dan yang lebih parah lagi adalah kemandegan dalam kreatifitas berpikir, dijadikan sebagai kambing hitam atas kemunduran dunia Islam, terutama dalam dataran epistimologis . Kalau demikian, bukankah justru melalui tasawuf falsafi inilah manusia diasah pemikirannya agar memiliki ketajaman analitis dalam melihat sesuatu dengan tetap melandaskan pada moralitas ketuhanan yang tinggi. Dalam tasawuf falsafi yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk berpikir filosofis sebagai sarana untuk memahami konsep-konsepnya yang memang filosofis itu. Karena filsafat sebagai modal dasar ilmu pengetahuan tetap merupakan aspek penting dalam mendorong progresifitas pemikiran manusia menuju kemajuan ilmu pengetahuan. Maka dengan adanya tasawuf falsafi tidak akan ada ketakutan lagi terhadap pengaruh berfilsafat bagi keimanan seseorang. Berarti akan memunculkan manusia-manusia yang memiliki ketajaman berpikir dengan berlandaskan moral ketuhanan yang tinggi.
Kedua, di kalangan umat Islam sendiri, akibat adanya konsep tasawuf (terutama falsafi) seolah-olah tidak mementingkan syari’at agama, apalagi konsep al-Hallaj yang terkenal dengan Syuhud al-Adyan, misalnya, mendapat reaksi keras dari kalangan yang lain . Walaupun, bisa jadi dalam hal syari’at ini, karena begitu hati-hatinya kaum sufi falsafi dalam menanggapi setiap fenomena, agar tidak terjebak pada kemusyrikan, menjadikan pula perubahan pandangan terhadap syari’at agama. Syari’at adalah wahana untuk mencapai Tuhan. Namun kenyataannya, begitu banyak pergesekan-pergesekan yang terjadi di kalangan umat manusia, baik internal dalam suatu agama apalagi pergesekan antar agama, dimana mereka menjadikan syari’at sebagi berhala yang menjustifikasi kekerasan, demi keberlangsungan syari’atnya dan atas nama agama bahkan Tuhan mereka saling tikam, suatu fenomena yang jauh dari misi agama itu sendiri. Kalau demikian, apalah artinya agama jika ternyata malah menimbulkan pergesekan-pergesekan dan bahkan menimbulkan kerusakan. Karena pada dasarnya yang lebih utama adalah bagaimana menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis dengan tetap memiliki spirit ketuhanan.
Perbedaan pandangan ini telah memunculkan gap antara kaum sufi dengan sunni/syar’i. Di sinilah eksistensi al-Ghazali berada, dengan kemampuannya ia berusaha untuk melakukan perpaduan yang bersifat dialogis dan kompromistis antara sufisme dan sunni. Perpaduan antara berbagai aspek tatanan sufistik, metafisis dan moral yang didalamnya ia berusaha merujukkkan tasawuf kepada ajaran sunni . Kemampuannya dalam melakukan internalisasi moral pada konsep-konsep sufisme dan sunni menjadikannya sebagai al-Hujjat al-Islam, tokoh besar sepanjang sejarah.
Ketiga, kontroversi terhadap munculnya Tasawuf Falsafi dalam sejarah juga dikarenakan pada kesalahpahaman terhadap konsep yang ditawarkan para tokohnya, terutama pada kalimat-kalimat syathohatnya . Dus harus diakui pula bahwa para tokoh Tasawuf Falsafi adalah tokoh-tokoh yang cenderung secara politis menentang pemerintahan saat itu (terutama al-Hallaj), sehingga penolakan lebih dikarenakan hal politis dan kharisma . Fenomena ini nampak wajar, karena bagi manusia yang telah memiliki kesadaran ketuhanan yang tinggi, apapun terasa tidak ada artinya dan tidak ada ketakutan selain terhadap tuhannya. Sehingga sikap kritisnya dan pembelaannya terhadap kebenaran tidak akan mampu dibendung oleh siapapun dan apapun, baik ancaman, siksaan bahkan kematian .
Dari uraian kritis tersebut, maka bisa diambil beberapa hal sebagai berikut: Pertama, berpikir dan berfilsafat merupakan fitrah manusia, apalagi di era kemajuan ilmu pengetahuan saat ini yang sangat membutuhkan ke dua hal tersebut. Paradigma ketuhanan dan bertasawuf yang ditawarkan Tasawuf Falsafi merupakan alternatif yang bisa diterima pada umat yang memiliki kedalaman berfilsafat.
Kedua, yang perlu diambil dari ajaran Tasawuf Falsafi adalah pendekatan konseptual terhadap ketuhanan yang begitu rasional dan bisa disentuh oleh rasionalitas manusia. Serta metode bertasawufnya yang tinggi, yang mampu mengasah akal dan hati manusia, sehingga manusia mampu memiliki ketajaman akal dan hati yang luhur sehingga berimbas pada perilaku yang senantiasa dihiasi ketuhanan. Dengan demikian, jika hal ini mampu diterapkan di era saat ini, maka yang muncul adalah manusia-manusia yang memiliki perilaku yang senantiasa hatinya berhiaskan ketuhanan.
Ketiga, disamping juga sebagai upaya memperjuangkan nilai-nilai tauhid dalam setiap gerak dan dimensi kehidupan manusia dan memberikan alternatif “pelarian” umat manusia dari rutinitas kehidupan yang semakin kompleks permasalahannya. Dalam arti, bertasawuf yang bisa mencapai puncak pemikiran dan dzauq yang tinggi akan menghindarkan diri dari keterjebakan pada rutinitas duniawiyah dan sekaligus merupakan wahana menyegarkan akal dan hati dari kompleksitas permasalahan hidup. Dengan demikian, kaum sufi merupakan pendekar tauhid sejati, yang keberadaan pemikiran dan gerakannya tidak saja harus dipelajari sebagai historical scientific semata, tapi juga disikapi secara arif untuk diambil sebagai pelajaran yang sangat berharga dalam menghadapi berhala-berhala jahiliyah di abad modern ini. Betapa damainya dunia jika dipenuhi oleh manusia-manusia yang mabuk ketuhanan.
Keempat, konsep tasawuf falsafi jika digabungkan dengan tasawuf amali dan akhlaki, akan menghasilkan manusia-manusia yang memiliki ketinggian keimanan, kedalaman filsafat, dan keluhuran budi pekerti serta memiliki prinsip hidup yang kuat, baik sebagai Hamba maupun Khalifah Allah SWT.
Demikianlah, sebagai sebuah fakta sejarah eksistensi Tasawuf Falsafi merupakan fenomena yang sangat menarik, dan bahkan boleh dikatakan harus ada. Hal ini dikarenakan adanya modal dasar yang menjadi potensi munculnya pemikiran-pemikiran sufistik, baik internal maupun eksternal. Terutama sekali munculnya pemikiran filosofis, adalah suatu yang tidak terelakkan, baik dikarenakan asimilasi dan akulturasi maupun fitrah manusia yang memiliki potensi berpikir, sehingga keberadaan Tasawuf Falsafi terasa relevan dan wajar. Tinggal bagaimana secara bijaksana mampu diarahkan agar tetap dalam frame moral dan nilai ajaran Islam.

ANTARA FANA' DAN BAQA'

Secara bahasa, Fana’berarti hilang, hancur; disappear, annihilate, extinction. Sedangkan Baqa’ berarti tetap, terus hidup; subsistence, duration, to remain, persevere. Arti tersebut bisa dilihat dari beberapa paham-paham sufistik berikut:
- Jika kejahilan (ignorance) dari seseorang hilang, yang akan tinggal ialah pengetahuan
- Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan tinggal ialah takwanya
- Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak) yang buruk, tinggal baginya sifat-sifat yang baik
- Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya mempunyai sifat-sifat Tuhan.

Paham tersebut terdapat juga dalam At-Takhallaq bi akhlaq Allah (mempunyai akhlak Allah) .
Yang pertama kali menimbulkan faham Fana’ dan Baqa’ dalam tasawuf adalah Abu Yazid Al-Busthami (814 M –875 M). Pada perkembangannya yang awal, ada dua aliran Fana’, moderat yang diwakili Al-Junaid Al-Baghdadi (meninggal 910 M), disebut Fana’ Fi at-Tauhid. Yaitu kalau seseorang telah larut dalam ma’rifatullah dan ia tidak menyadari segala sesuatu selain Allah, maka ia telah fana’ dalam tauhid. Aliran ke dua, dipelopori oleh Abu Yazid Al-Busthami sendiri yang mengartikan Fana’ sebagai penyatuan dirinya dengan Tuhan .
Lebih jelas dikatakan oleh Abu Yazid, Fana’ adalah sirnanya segala sesuatu selain Allah dari pandangannya, dimana seorang sufi, tidak lagi menyaksikan kecuali hakekat yang satu, yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang disaksikannya . Fana’ dan Baqa’ ini merupakan stage untuk mencapai Ittihad dengan Tuhan. Dengan Fana’; ia meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, sedangkan dengan Baqa’; ia tetap bersama Tuhan . Gambaran ini semakin jelas melalui ungkapannya;
Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku Fana’
Kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup…

Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati;
Kemudian ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup…..
Aku berkata: gila pada diriku adalah kehancuran
dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup

Ibnu Arabi mendefinisikan Fana’ kepada dua pengertian, yakni:
a. Fana’ dalam pengertian mistis, yaitu “hilangnya” ketidaktahuan dan tinggallah pengetahuan sejati yang diperoleh melalui intuisi tentang kesatuan esensial keseluruhan itu.
b. Fana’ dalam pengertian metafisika, yang berarti “hilangnya’ bentuk-bentuk dunia fenomena dan berlangsungnya substansi universal yang satu, pada saat Tuhan memanifestasikan (tajalli) dirinya dalam bentuk lain
Di sisi lain, Al-Junaid mendefinisikan Fana’ sebagai berikut:
Hilangnya daya kesadaran Qalb dan hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indera

Sedangkan al-Qusyairi mendefinisikan sebagai berikut:
Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya terjadi karena hilangnya kesadaran seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya itu. Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya .

Bagaimanakah seorang sufi ketika dalam kondisi Fana’? Reynold A. Nicholson dalam The Mystic of Islam, mengatakan tentang tiga tingkat Fana’, yaitu:
1. A moral transformation of the soul through the extinction of all its passions and desires.
2. A mental abstraction or passing-away of the mind from all objects of perception, thought, actions, and feelings through its concentration upon the thought of God. Here the thought of God signifies contemplation of the divine attributes.
3. The cessation of all conscious thought. The highest stage of fana’ is reached when even the consciousness of having attained fana’ disappears. This is what the Sufis call “the passing-away of passing-away” (fana al-fana). The mystic is now raptin contemplation of the divine essence .

Secara kejiwaan (mental abstraction), dalam kondisi Fana’ dijelaskan sebagqai berikut:
Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifat pribadinya lantaran telah mengahayati sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah mulai menyaksikan keindahan Zat Allah; kemudian akhirnya lenyap kesadaran akan kefana’annya itu sendiri lantaran telah merasa lebur menyatu dalam wujud Allah .

Ibnu Arabi dalam Kitab Fushush al-Hikam, menggambarkan tingkatan Fana’ dalam tujuh proses pentahapan, yaitu:
a. Fana’an ma’ashi, meninggalkan dosa,
b. menjauhkan diri dari perbuatan apapun,
c. menjauhkan diri dari sifat-sifat dan kualitas-kualitas dari wujud-wujud kontingen, segala macam bentuk adalah kepunyaan Tuhan,
d. menyingkirkan personalitas dirinya sendiri,
e. mengabaikan dan menghentikan penglihatan terhadap aspek fenomena dunia, yang riil adalah hakekat fenomena,
f. kesadaran bahwa Tuhan itu sendiri yang melihat dan dilihat, dirinya bukan pelihat atau pemirsa,
g. kesadaran akan penghayatan esensi, semua adalah satu esensi
Lebih lanjut digambarkan oleh Ibrahim Basyuni, dalam proses Fana’ ada empat situasi getaran psikis yang dialami seorang sufi, secara singkat bisa dipaparkan disini, yaitu: al-sakr, yaitu situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya. Sathohat, yaitu dipahami sebagai suatu ucapan yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan sakr. Kemudian al-zawal al-hijab, diartikan sebagai kondisi bebas dari alam materi dan telah berada dalam alam ilahiyat sehingga getar jiwanya mampu menangkap cahaya dan suara Tuhan. Selanjutnya diikuti dengan ghalab al-syuhud, yang merupakan tingkatan kesempurnaan musyahadah, pada tingkatan mana ia lupa pada alam sekitarnya, yang ada dan dirasakan serta diingat hanya Allah semata . Inilah proses yang terjadi secara bertingkat sebagai wujud pencapaian pada Yang Hakiki.